“The Company Man”
Pernah
menonton “The Company Man”, yang dibintangi oleh Ben Affleck, Chris Cooper, Tommy
Lee Jones, dan Kevin Costner. Dirilis pertama kali pada 2010, film yang meraih 2
penghargaan dan 10 nominasi ini menurut saya mampu memberi gambaran tentang
bagaimana kenyataan hidup sesungguhnya.
Memerankan
tokoh utama dalam film ini, Ben Affleck diceritakan adalah karyawan sebuah
perusahaan yang menduduki jabatan penting dan dikenal luas oleh bawahnya
merupakan pekerja keras yang cerdas inovatif. Hasilnya dia mendapatkan promosi
jabatan lebih cepat dibandingkan lainnya karena mampu mendatangkan keuntungan maksimal
bagi perusahaannya. Tak ayal lagi, dengan jabatan dan pendapatan yang
diperolehnya, Ben mampu menjadi orang yang dengan begitu mudah mendapatkan
apa-apa yang menjadi keinginannya.
Tapi. Dia
harus menerima kenyataan dipecat oleh perusahaan karena terjadi kerugian
besar-besaran pada suatu hari. Hidupnya berbalik 180 derajat. Dari kemudahan,
kenyamanan, dan kekayaan. Dia menjadi orang yang tidak punya apa-apa dan tidak
menjadi apa-apa.
Sebagai
mantan karyawan yang sudah belasan tahun mengabdi di perusahaan, paradigma pemikiran
Ben secara penuh memberi gambaran bahwa pekerjaan yang terbaik dari dunia
adalah menjadi karyawan yang memiliki puluhan anak buah yang bisa diperintah. Pekerjaan
yang lain hanyalah pekerjaan yang tiada arti. Keberhasilan perusahaan adalah
keberhasilan dirinya.
Tentu
saja, sebagai upaya mencari pengganti pendapatan yang hilang Ben berusaha terus
untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya di perusahaan lainnya. Namun
nihil. Di keterpurukan dan keputusasaan, dia mengikuti komunitas para pencari
kerja untuk mendapatkan semangat kembali. Namun nihil juga.
Hingga
di tengah kehancurannya, Ben memutuskan untuk membantu kakak iparnya dengan
menjadi kuli bangunan di proyek yang dikerjakan. Dari atasan yang memimpin anak
buah, yang melahirkan berbagai ide, yang mengkonseptor program. Dalam kurun
waktu yang tidak sangat lama, menjadi orang yang diperintah, orang yang harus
menjalankan, dan orang yang tidak memiliki tanggung jawab atas sebuah proyek.
Ini malapateka.
Disini,
sama sekali tidak diceritakan atau digambarkan apakah Ben seharusnya mencoba
menjadi wiraswasta atau pedagang saja. Namun dari sini, menurut saya, bisa
diambil kesimpulan, bahwa secara penuh Ben masih menganggap pekerjaan sebagai
karyawan adalah pekerjaan paling terbaik di dunia. Karena itulah, hasrat
terbesarnya adalah kembali menjadi karyawan di sebuah perusahaa. Tidak peduli
perusahaan apapun itu.
Sama seperti
film-film lainnya, semua berakhir dengan bahagia. Hingga pada suatu hari, dia
diundang oleh salah satu rekannya atau jika tidak salah mantan bosnya untuk
membantu membesarkan usaha yang baru didirikan. Tentu saja, dia bersemangat. Karena
itulah hasrat terbesarnya.
Jadi kau
masih mau mendengar ceritaku atau cukup di sini saja? Karena apa yang terjadi
dalam film itu persis seperti yang dialami banyak orang yang sudah tidak
menjadi karyawan perusahaan, entah dipecat entah mengundurkan diri. Semua takut
akan masa depan. Semua takut meninggalkan kenyamanan. Tapi terkadang, ketika
sudah tidak ada jalan keluar di sudut keadaan, terkadang pilihan terbaik harus
diambil.
Komentar
Posting Komentar