Dusta dan Etika Media

Indonesia pernah mengalami gegar budaya (culturl shock) yang menjadi perhatian bagi para ahli sosiologi nasional maupun internasional. Benturan budaya lokal dengan kebudayaan dari luar, terutama dari Amerika Serikat menjadi pertarungan sengit yang membawa keprihatinan pemerintah dan  akademis. Dalam pengamatan kondisi ini masih terjadi, namun dengan berbagai kebudayaan yang sudah baru yang mencoba mencari tempat untuk berkuasa dan diperlakukan sebagai budaya sendiri.
            Memasuki era internet di awal abad milenium, masyarakat juga mengalami hal yang sama, namun ini terkait dengan media. Bagaimana tidak, dengan semakin masuknya perangkat komunikasi pada ruang pribadi setiap individu “gegar media” terutama menyangkut berita yang benar atau dusta, selebihnya disebut hoax” menjadi begitu luas. Sehingga diperlukan kebijakan dari pemerintah maupun individu untuk meluluskan atau mengakui bahwa berita yang didapatkan sesuai dengan kode jurnalistik.
            Loncatan budaya yang terjadi di masyarakat begitu luar biasa, Bre Redana dalam tulisan ringannya di Kompas (8/1/17) melihat bagaimana masyarakat kita yang sebelumnya berbasis pada pertanian (agraris), kemudian belum tegak sempurna dalam budaya literasi melalui membaca barang cetakan seperti koran, majalah, dan buku. Secara tiba-tiba harus terlempar ke dunia digital yang mampu menciptakan jarak setiap individu.
            Kehadiran media sosial yang terus meningkat keberadaannya membawa dampak yang begitu nyata. Entah karena dasar politik maupun ekonomi, kehadiran berita yang sepenuhnya tidak sesuai fakta menjadi rujukan bagi para pengguna. Berada dan berkomunikasi seperti yang terjadi di Facebook dan lainnya, masyarakat merasakan semakin memburuknya tingkat kepercayaan pada berita-berita yang disajikan di sana.
Garis besar yang tampil dalam kasus ini, media sosial menyajikan berita-berita yang dibagikan pengguna tanpa ada subtasi penyaring yang sesuai dengan etika media massa. Dengan algoritma yang dirancang sedemikian rupa, seharusnya Facebook dan media sosial lainnya lebih banyak memiliki fungsi untuk menghibur dibandingkan dengan menginformasikan.
Kehadiran hoax, dalam laporan Forum Editor Dunia, World Editor Forum (WEF) menjadi kutukan yang terbukti hadir dalam bisnis ini. Kutukan ini seperti mengingatkan kepada seluruh individu yang hidup dalam organisasi pemberitaan untuk lebih meningkatkan pemeriksaan fakta dan banyak melibatkan masyarakat untuk membantu melakukan pemilihan atas dasar fakta maupun fiksi.
Dalam bisnis media, perubahan adalah satu-satunya yang bersifat konstan, tanpa melakukan perubahan media akan ditinggalkan pembacanya. Dengan segala sesuatu yang berubah begitu cepat dan drastis, kantor berita juga harus beradaptasi dan lebih mencerminkan peran baru, keterampilan baru dan alur kerja baru, namun tidak mengesampingkan nilai-nilai jurnalistik dan prinsip pelaporan berita. Kehadiran internet menghadirkan paradigma baru bagi organisasi media dalam proses pencarian pendapatan atau monetisasi.
Kenyataan inilah yang memaksa wartawan untuk lebih belajar dan melakukan adaptasi dalam pencarian maupun penyajian berita. Dimana sekarang ini sebuah berita idealnya, selain disajikan dalam cetak, namun juga memuat item-item yang terhubung pada audio, video, maupun grafik yang tentu saja akan menjadi kata kunci bagi pembaca untuk mendapatkan data serta fakta yang lebih valid.
Etika dan penerapan prinsip jurnalistik penting untuk ditekankan kembali. Karena dalam penyajian berita di internet, tugas-tugas editorial dalam dalam kurasi dan pengumpulan data lebih banyak digantikan mesin. Mesin mengambil alih tugas penulisan berita dan melengkapi dengan ketidak adaan hubungan dengan data yang didapatkan di lapangan.
Institusi media, seharusnya memiliki perspektif idealisme, yaitu memberikan informasi yang benar. Dengan idealisme semacam itu, media ingin berperan sebagai sarana pendidikan. Pemirsa, pembaca dan pendengar akan semakin memiliki sikap kritis, kemandirian dan kedalaman berpikir.
Hanya dengan mempertahankan aktualitas, keuntungan ekonomi bisa diperoleh. Keuntungan ini yang akan menjamin keberlangsungan sebuah media. Aktual, cepat dan ringkas mendefinisikan logika waktu pendek. Kecepatan memperoleh berita belum cukup untuk menjamin posisi keberlangsungan suatu media. Agar tidak ditinggal oleh konsumen, maka media harus selalu mampu mempertegas kekhasannya dan memberi presentasi yang menarik
Tapi di atas semua, itu cerita, berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik yang solid akurat, seimbang (tidak benar-benar terpisah), dan etika pengumpulan berita dan pelaporan. Para pelaku media dituntut untuk menemukan model pendapatan berkelanjutan, kemudian fokus bagaimana mempertahankan pembaca baik pada situs maupun dan media sosial.
Sekali lagi, etika sangat penting ketika menyebarkan informasi yang sebagian atau seluruhnya yang dihasilkan mesin dan bagaimana mendapatkan penghasilan itu membentuk lanskap berita.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak