#4

            Sejak tulisannya tentang “Senja Kala Media Cetak” di Kompas, yang mendapatkan tanggapan dan sentimen beragam dari insan media. Bre Redana dalam tulisan yang termuat di ‘Undar Rasa” berikutnya terus-menerus membahas tentang bagaimana ancaman dan sikap yang harus diambil ketika berita-berita menguncur deras dari kalung gadget kita.



            Saya di sini tidak akan menghakimi, mendukung, mengkritisi, maupun membantah apa yang sudah dituliskan oleh wartawan senior media nasional ini. Siapa lah saya yang baru kemarin sore belajar menulis berani membicarakan pemikiran seorang guru yang begitu banyak mendapatkan asam garam di lapangan.
            Namun harus saya akui, pemikiran-pemikiran Bre Redana terkait dengan kondisi media sekarang ini begitu hampir sesuai dengan pemikiran saya yang selama empat tahun lebih sedikit belajar dan mendalami Ilmu Jurnalistik. Ya meskipun di kampus swasta, namun saya tetap membanggakan kampus itu karena di sanalah saya mendapatkan banyak ilmu tentang media.
            Kembali ke ‘Senja Kala Media Cetak”. Bre dengan begitu lugas memaparkan pemikirannya yang menyatakan di beberapa tahun ini dan ke depannya, media konvesional semisal media cetak, radio, dan televisi akan menemui masa di mana mereka tidak lagi dianggap sebagai sumber utama untuk mendapatkan informasi. Mereka kalah kecepatan dengan internet yang begitu cepat dan akurat menyajikan potongan-potongan data sehingga bisa dirangkai oleh pembacanya sendiri menjadi informasi yang memberitakan.
            Bre tidak berbicara tentang “Teori Konvergensi Media”. Bre tidak membicarakan tentang teori jurnalistik dalam penyajian berita. Bre secara umum membicarakan tentang bagaimana kondisi pembaca sekarang ini. Terutama di Indonesia.
            Dari masyarakat agraris yang memiliki minat baca begitu rendah, kemudian memasuki dunia industri dimana tingkat baca masyarakat masih sama. Langsung dihadapkan pada sebaran informasi yang sama sekali tidak terkendali. Terjadi perubahan spektakuler dalam sosiologi dan pola pikir masyarakat.
            Dimana mereka belum mengalami kebudayaan memamah bacaan dan diperdebatkan dengan urutan logika murni. Dimana mereka belum pernah mengkaji sebuah tulisan dengan membandingkan tulisan lain yang bertemakan sama. Sekarang dihadapkan kondisi untuk membandingkan benar atau salah sebuah tulisan. Mereka diminta segara mengambil sikap, mendukung atau menolak sebuah tulisan. Dan itu terjadi setiap saat.
            Membaca tidak lagi dalam konteks yang begitu mendalam, karena harus memahami sebenar-benarnya apa makna yang tersirat dan pemikiran apa yang ingin disampaikan penulisnya. Mereka tidak lagi usai membaca kemudian membandingkan dengan kondisi yang terjadi di lapangan.
            Dengan internet yang begitu murahnya dan mudahnya, masyarakat diminta untuk membaca tanpa perlu berpikir. Membaca tulisan seperti membaca novel atau cerita, terus mengalir tanpa ada sela pembacanya untuk memikirkan ulang apa yang ada di dalamnya. Pembaca dituntut untuk segera mengambil sikap.
            Di minggu lalu (Kompas, 29/1/17), Bre membahas bagaiamana posisi media dalam era keterbukaan informasi melalui internet.
            Bre menuliskan kecepatan informasi berlangsung bersamaan dengan ledakan jumlah penduduk dan kemudahaan mobilisasi manusia. Dimana informasi bisa diperoleh di mana saja, meskipun di tempat terpencil sama sekali. Disajikan di mana dan kapan saja, dan dikonsumsi oleh siapa saja.
            Media, dalam hal ini adalah pers, tidak lagi menjadi anjing penjaga atau dulu dalam teori komunikasi  disebut anjing penjaga, “the press is a wachingdog”.  Tapi kini media-media atau medium yang menurut pakar media Mashal McLuhan menentukan isi-telah berubah.
            Isi atau konten menurut McLuhan hanya sekerat daging yang dibawa pencuri, dalam hal ini medium yang dimaksud, untuk mengalihkan perhatian anjing penjaga di otak. Wachdog sekarang ini bukan lagi anjing penjaga yang menggonggongi pemerintah, legislatif atau hukum, melainkan anjing penjaga sebagai kesadaran otak kita. Sesuatu yang ada dalam diri kita.
            Media digital membuat yang nyata dan tidak nyata kabur batasnya. Kita harus terus-menerus memelihara kewaspadaan anjing penjaga di otak kita. The wachdog of the mind. Kesadaran haruslah diperlihara. Jangan mau otak kita dikadali oleh keadaan media sekarang ini.
            Jadi, jadilah seorang kiper yang mampu menepis gempuran informasi yang tidak penting dan membiarkan informasi yang penting masuk ke gudang penyimpanan data otak kita. Dari sanalah kewarasan otak kita akan tetap terus terjaga di jaman gila media ini.
             


Salam Mbojeh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak