#1

Selamat malam kawan, semoga hari ini engkau mendapatkan rejeki yang patut disyukuri dan berkah dari Sang Maha Perencana Kehidupan. Tentu saja, saya hanya minta engkau senangtiasa mendoakan saya juga. Meskipun engkau dan saya tidak saling kenal. Tidak saling kenal secara dekat. Karena memang kendala waktu dan jarak, kita hanya sempat bertegur sapa lewat dunia maya.
            Singkat saja, nama saya Aksara Pandu Jiwa. Usia saya sekarang memasuki 35 tahun. Kata orang, saat berada dalam usia ini, manusia akan mendapatkan cobaan yang paling berat dalam kehidupan. Tidak tentang kehilangan. Cobaan yang diberikan terkadang berhubungan dengan rejeki dan godaan yang menganggu kehidupan harmonismu. Sehingga berapa orang percaya, jika engkau mampu melalui usia ini dengan keberhasilan dan tanpa sesuatu yang ternoda, maka engkau berhasil memasuki masa dewasamu yang sesungguhnya.
            Nama adalah doa dan arti nama yang disematkan masih saya percayai sebagai sesuatu yang tidak pernah dipikirkan orang tua yang memiliki anak saat 80-an. “Huruf-huruf atau Aksara Yang Memandu Jiwa”. Itu arti harfiah dari nama saya. Tapi jika dijabarkan secara luas, nama yang saya sandang bermakna bahwa setiap manusia haruslah terus belajar untuk memandu jiwanya menjadi lebih baik dibandingkan dengan orang lain.
Jika engkau sadar selama hidupnya, setiap manusia diwajibkan terus belajar. Tentu saja, belajar itu capek dan melelahkan. Namun jika engkau mampu memenangkannya, engkau akan mendapatkan sesuatu yang sangat berharga.
            Malam ini saya ingin berbagi cerita yang selama ini terus mengambang di otak. Keinginan terbesar saya adalah menghadirkan cerita bersambung yang menarik dan bisa dijadikan ajar pengalamanan bagi orang lain. Saya akui tidak bisa seperti Arswendo, Puthut EA, R Toto Sugiharto, atau penulis yang selama ini saya kagumi. Tapi saya akan terus belajar untuk berusaha menyamai mereka atau jika tidak, saya bisa menghadirkan sebuah cerita yang memiliki alur berbeda sehingga menghasilkan para pengagum tersendiri.
            Susah memang. Tapi dengan berlatih terus, saya akan mendapatkan dunia dan genre dalam tulisan saya.
            Cerita pertama yang saya ingin bagi di sini adalah cerita masa kecil yang bagi saya adalah masa paling bahagia. Masa yang selalu ingin saya ulang, bahkan dengan menukar tubuh dengan anak kecil yang sekarang hidup. Saya rela. Tidak apa-apa menjadi anak kecil, karena dalam otaknnya menghasilkan berbagai imajinasi yang tiada akan pernah habis.
            Kawan, engkau masih ingat tentang uang seratus rupiah jaman dulu. Yang terbagi dalam dua jenis yaitu kertas dan koin perunggu tebal. Masih sama seperti sekarang, tapi bentuknya lebih besar dan berat, jika engkau lempar ke kaca maka pecahlah. Saya memiliki banyak kenangan akan uang senilai seratus rupiah tersebut.
            Di jaman dulu, dengan uang seratus rupiah kita bisa mendapatkan empat bungkus kerupuk yang berisikan 10 kerupuk dalam sebungkus. Dengan seratus rupiah kita bisa mendapatkan empat jajanan pasar. Bahkan dengan seratus rupiah, kita bisa mendapatkan 32 kartus bergambar yang dipotong akan menjadi satu sarana permainan yang mengasyikan.
            Kenangan terbaik saya akan seratus rupiah adalah di bawah bantal kakek. Hingga saya menamatkan sekolah dasar, bantal kakek adalah jujugkan pertama ketika sampai rumah. Tidak usah makan siang, karena memang tidak ada jadwal makan siang. Saat itu, kita makan jika kita lapar. Di bawah bantal, kakek selalu menaruh satu koin uang seratusan buat cucu-cucuknya untuk jajan. Karena cucu yang masih sekolah dasar ada tiga, maka ada tiga koin di sana.
Anehnya, ketika salah satu dari kami mengambil lebih dari satu koin, maka besoknya kakek tidak akan menaruh tiga koin lagi dan melarang cucu yang tertuduh masuk ke kamar.
            Hebatnya, kakek akan tahu siapa yang mengambil jatah lebih. Sebagai hukuman, saat yang dituduh tidak jujur, maka besoknya uang jatah akan dihilangkan selama satu minggu penuh. Karena takut kehilangan jatah jajan harian, maka tertuduh akan mengaku dan meminta maaf atas tindakan serakahnya itu.
            Kami diajari untuk jujur, dipercaya dan tidak serakah. Kami memang tidak sadar. Tapi pelajaran ini tenyata membekas begitu dalam dalam kehidupan kami. Dari ajaran itu, kami mengambil sari patinya, bahwa dengan kejujuran dan kepercayaan kami akan selalu diterima oleh siapa saja dan di mana saja. Setiap orang pasti mendapatkan jatahnya sesuai apa yang sudah digariskan, maka jangan jadi orang serakah. Dari apa yang kita peroleh, sebagian bisa jadi milik orang lain. Berbagilah.
            Terima kakek. Semoga engkau selalu bahagia di alam sana.
            Anak-anak jaman itu lebih suka uang koin dibandingkan uang kertas, karena jika jumlahnya banyak maka terlihat lebih tebal. Uang kertas, sebanyak-banyaknya tidak terlihat menonjol di saku. Koin dan kartu bergambar jelas menjadi kenangan yang paling saya ingat sampai sekarang.
            Dengan seratus rupiah, kami bisa mendapatkan satu kartu bergambar besar yang berisikan 32 kartu bergambar kecil dengan seri-seri tertentu. Ada seri wayang, seri Gundala, seri Flash Gordon, seri Voltus, maupun seri lainnya. Jika dipotong, maka didapatkan 32 gambar yang berurutan seperti kartu remi. Inilah yang menjadi modal bermain.
            Ketika musim kartu datang, saya dan teman sebaya akan bertemu untuk bermain taruhan. Permainan seperti cap jie kie, ada bandar ada petaruh. Bandar bertugas untuk mengocok kartu dan menyusunnya sama tebal. Susunaan biasanya berdasarkan jumlah petaruh yang hadir, tapi aturan tegasnya berapapun banyaknya petaruh bandar hanya menyediakan maksimal tujuh susunan kartu berjajar.
            Jika sudah dibagi, petaruh memasang sesuai dengan pilihannya dan hanya menyisakan satu bagian untuk bandar. Karena kartu memiliki angka 1-32, maka permainan hanya melibatkan 1-9 sehingga angka di depannya tidak dipakai.
Ketika semua sudah ditaruh bandar akan membuka susunan kartu untuk melihat angka yang muncul. Yang mendapat angka yang lebih kecil dari kartu bandar, maka dia kalah, demikian sebaliknya. Tapi bila mendapatkan 9, maka bandar wajib membayar dua kali lipat dari nilai taruhan. Demikian pula bila bandar mendapat angka 9, semua taruhan menjadi milik bandar tanpa terkecuali.
            Di sini keseruannya. Saat kalah dan ingin terus bermain, terkadang kita tidak ingin membeli kartu baru  yang hanya berisikan 32 nomor. Kita lebih suka membeli kartu dari yang memiliki stok banyak dan biasanya adalah bandar. Dengan uang bernilai seratus, kita bisa mendapatkan kartu dengan tinggi tumpukan dari ujung jari manis sampai ujung jari jempol jika direntangkan secara berdiri. Ukuran jari yang dipakai adalah jari penjual.
Semakin tinggi rentangan jari bandar, maka semakin tinggi pula tumpukan kartu bergambar yang dapat dibeli. Bahkan pembeli bisa membeli hanya dengan dua puluh lima rupiah untuk mendapatkan seperempat ukuran rentangak telapak tangan penjual. Semua dilakukan terbuka dan tidak ada manipulasi atau tipu-tipu. Toh nanti juga jika kalah kartu akan kembali ke bandar.
            Sportifitas dan kejujuran berdagang menjadi pelajaran dalam permainan ini. Dengan sportifitas kita akan dihormati oleh orang lain meskipun saat itu kita kalah.
            Terakhir, koin seratus rupiah berkaitan dengan judi di dalam kelas. Empat atau lima orang sepakat untuk judi. Aturan pertama adalah mencari dinding kelas yang tidak terhalang apapun di depannya dan aman dari perhatian guru. Kedua, membuat garis batas melempar yang disepakati bersama.
            Diundi dengan hompipa dan dilanjutkan ping sut, maka pemenang pertama mendapatkan hak untuk melempar koinnya ke arah dinding dan berusaha mendekatkan koinnya sedekat mungkin koinnya dengan dinding. Kemudian disusul pemenang berikutnya.
            Pemenang adalah pelempar yang memiliki jarak paling dekat ke dinding. Pemenang berikutnya juga didasarkan hal yang sama.
Pemenang berhak menentukan gambar mana dari sisi koin yang menjadi andalannya dan melempar semua koin. Jika ada koin yang sama dengan gamabr andalannya, maka dia berhak mengambil. Semakin banyak koin bergambar sama, maka semakin besar yang bisa dimasukkan saku.
            Setiap pemain memiliki kesempatan satu lemparan. Bila gambar andalan tidak keluar, dilanjutkan pelempar berikutnya. Demikian seterusnya sampai koin yang dilempar habis diambil pemenang dan permainan dilanjutkan kembali dengan koin yang baru. Terkadang, dalam satu permainan pemain kedua dan seterusnya tidak sempat mendapatkan giliran melempar karena pemain pertama sudah memenangkan semua.
            Tentu saja pelajaran yang dapatkan dari permainan ini adalah jangan pernah lagi berjudi. Karena jika kalah, maka akan membuat sengsara. Sebab uang saku buat jajan habis buat judi. Selama pelajaran berlangsung, terus menahan lapar karena tidak bisa jajan.          

Semoga cerita di atas sama seperti ceritamu di masa kecil. Selamat malam kawan dan saya doakan engkau besok mendapatkan rejeki yang banyak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak