Sekilas Tentang Kematian Media Cetak
Mendengar
info yang terkonfirmasi dengan awak medianya, tentang akan ditutupnya biro
daerah sebuah koran nasional, maka keprihatinan yang pertama kali muncul dalam
pikiran saya. Bukan tentan matinya media cetak itu, namun keprihatinan ini
terkait dengan awak media yang jumlahnya belasan itu. Bagaimana mereka akan
berjuang melanjutkan hidupnya. Ditengah usia yang tidak lagi mudah, saya kira
akan sangat berat untuk bisa kembali ke dunia pemberitaan.
Namun
saya berharap mereka menemukan solusi yang tepat. Semisal diarahkan ke
pemberitaan online yang saat ini bekembang pesat. Atau mereka masuk ke kantor
pusat. Saya hanya bisa berdoa dan memberi dukungan apapun keputusan yang
diambil oleh rekan-rekan media itu.
Tapi
memang begitulah kondisi permediaan yang sekarang ini sudah murni ke bisnis.
Jika sebuah biro sudah tidak bisa memberikan keuntungan lagi, maka likuidasi
adalah solusi yang terbaik. Untuk para awak medianya, solusi pengunduran diri
atau penempatan yang jauh dari tempat asal adalah pilihan terberat yang harus
diambil.
Membicarakan
kematian media memang dalam beberapa tahun terakhir ini sedang panas-panasnya.
Ditengah persaingan kue iklan yang semakin kecil, media cetak dihantam dengan
keras oleh media-media online yang berkembang pesat.
Dalam
kasus ini tidak ada yang bisa disalahkan. Dengan tuntutan pemberitaan yang
cepat dan tidak terkekang deadline, media online mampu menyajikan berbagai
pemberitaan dari begitu banyak sudut pandang. Pembaca tinggal memilih mana yang
mereka kehendaki dan diinginkan. Sedangkan media cetak, terengah-engah untuk
mengejar kecepatan, tapi mereka terkendala dengan deadline yang menuntut harus
terus berpikir kreatif dan inovasi dalam penyajian berita.
Dengan
kondisi seperti ini, ketika tehnologi hadir sangat cepat dan tidak ada sekat
dalam pengunaan. Media cetak seperti menghadapi buang simalakama. Ketika
melawan mereka akan ditinggalkan pembaca karena berita yang disajikan tidak
memiliki isi. Tapi ketika tidak melawan, media cetak akan mati juga karena
tidak menuruti perkembangan.
Lantas
apa yang harus dilakukan media cetak?
Sekali
lagi ini adalah opini saya yang bersifat subyektif, jika ada yang melihat
secara obyektif saya akan persilahkan. Dahulu, saya mencoba merumuskan
bagaimana media cetak seharusnya bertahan. Saya berpikir ada dua kemungkinan
yang harus dilakukan oleh media cetak terutama koran untuk bertahan melawan
serangan media online.
Pertama
adalah dengan memberikan porsi yang lebih besar dan mendalam kepada pemberitaan
lokal. Dengan pemberian porsi besar pada pemberitaan lokal, maka peluang untuk
menjaga kedekatan media dengan pembacanya (Teori Proximity) akan terbuka lebar.
Ini menjadi sebuah peluang untuk dikerjakan secara kontinu. Bisa dimulai dengan
memilih isu-isu yang sederhana namun mengena. Bisa juga memberitakan berita
besar secara lengkap dengan sudut pandang berbeda.
Pemilihan tokoh daerah juga
menjadi alternatif untuk tetap hidup. Sadar atau tidak sadar pemberitaan
tokoh-tokoh atau orang-orang tertentu di daerah, terutama menyangkut apa saja
keberhasilan dalam hidup begitu menarik bagi masyarakat yang mengenal tokoh
itu. Mau tidak mau mereka akan membeli koran.
Dalam konsep pertama ini saya
juga membuka peluang kerjasama dengan pemerintah. Karena saat ini hanya
pemerintah saja yang masih memiliki anggaran besar untuk media cetak. Namun hal
ini tidak bisa dilakukan secara personal tenaga marketing. Dibutuhkan kerjasama
yang kuat dengan para wartaawan di lapangan yang sudah dekat hubungannya dengan
berbagai pimpinan pemerintahan.
Tapi yang perlu menjadi
pedoman, bahwa kerjasama yang dilakukan harus memiliki batasan kuat yang tidak
boleh dilanggar oleh wartawan. Jika mereka dilibatkan dalam pemasaran. Semisal
dalam pemberitaan advetorial, wartawan tidak sepenuhnya harus menurut dengan
permintaan dari konsumen. Pemberitaan yang ditampilkan harus berimbang, dengan
melakukan klarifikasi atau pengamatan langsung ke lapangan. Sehingga
pemberitaan akan tetap hidup sesuai obyektifitas.
Pemikiran saya yang kedua,
adalah media merubah posisi mereka di palung media massa ke yang lebih rendah.
Seperti yang disampaikan banyak ahli komunikasi, media cetak terutama koran
berada dalam posisi paling atas dari palung media, sama seperti televisi.
Dengan merubah posisi mereka, setidaknya sama seperti majalah, media cetak akan
mampu mereduksi produk jurnalistik mereka dengan tampilan yang sangat mendalam
dan jelas. Sehingga tidak ada lagi bahan yang ditanyakan atau direka-rekan oleh
pembaca.
Tapi ini juga memerlukan
pergorbanan yang cukup besar, terutama dalam hal sumber daya baik manusia
maupun pembiayaan. Sebab dengan kondisi deadline harian yang tidak bisa ditawar
lagi, pendalaman berita memerlukan waktu peliputan yang sangat panjang. Tidak
cukup hanya satu hari, bahkan untuk liputan satu halaman dibutuhkan waktu
validasi informasi mungkin sampai dua tiga hari. Namun bagi saya ini adalah
solusi terbaik untuk bertahan.
Seperti yang sudah kita
ketahui bersama, media online sekarang mampu menyajikan berita cepat dan ada
kemungkinan bahwa berita yang disampaikan itu adalah kebohongan atau fitnah. Kemudian
dengan sifat kesegarannya, intesitasnya, serta adiktifnya cenderung membuat
orang bersikap hati-hati, apalagi kritis. Sekarang ini ini hanya dengan membaca
sebuah berita pendek yang belum tentu kebenarannya, pembaca tergopoh-gopoh
menyebarluaskan.
Ditengah-tengah kondisi
masyarakat yang masih rendah tingkat literasinya, minat baca nol, maka moral
berkembang melampui batas dan berubah menjadi prasangka. Kondisi ini
menyisihkan logika dan rasionalitas yang kadung tak terlatih. Logika rasionalitas
yang berkembang penuh karena buku dan media cetak kian tersingkir tergantikan
fundamenta moral.
Dengan perkembangan yang
begitu pesat, media cetak bukan lagi menjadi rujukan informasi seperti 20 tahun
yang lalu. Namun media cetak dianggap sebagai hiburan semata. Saya sangat
berharap, media cetak yang mampu bertahan sekarang ini berani menyajikan
sesuatu yang berbeda sesuai dengan pemikiran saya. Jika mereka setuju.
Sekali lagi, ini adalah buah
pemikiran saya yang sangat, sangat bersifat subyektif.
Salam Jengirat Tangi
Komentar
Posting Komentar