Masih Ada Tugas Yang Belum Diselesaikan Kang Anas

Seperti yang sudah saya perkirakan dan sering kali saya utarakan kepada banyak orang ketika membicarakan pemilihan gubernur Jawa Timur 2018. Bahwa Bupati Banyuwangi, Azwar Anas akan maju memperebutkan kursi yang ditinggalkan gubernur petahana sebelumnya Soekarwo.

PDI-P secara resmi memasangkan Syaifullah Yusuf, sebelumnya wakil gubernur, dengan Anas yang dalam dua masa periode kepemimpiannya berhasil membawa kabupaten di ujung timur pulau Jawa menjadi terkenal baik nasional maupun internasional. Gus Ipul oleh PDI-P dijadikan Gubernur dan Anas menjadi wakilnya.

Saya memang tidak tinggal lagi di Banyuwangi sejak 17 tahun yang lalu. Namun setiap mudik saya selalu mencoba melihat perkembangan terakhir kabupaten terluas kedua di Jatim setelah Malang itu. Dengan 25 kecamatan yang secara kebudayaan terbagi atas tiga suku bangsa Madura, Jawa, dan Osing tidak mudah membawa Kabupaten Tapal Kuda itu dikenal banyak orang.

Perhatian besar secara nasional maupun internasional terhadap Banyuwangi terakhir kali saya alami saat kasus pembunuhan dukuh santet yang terjadi pada 1997 silam. Selebihnya biasa-biasa saja perhatian kacamata dunia.

Selama dua kali kepemimpinannya, Anas mampu membawa Banyuwangi memiliki tingkat perekonomian yang baik di mata Bank Indonesia dengan tingkat pertumbuhan mencapai 5,3 persen dan dinilai sesuai jalur.

Anas dengan visi misi membangun ekonomi Banyuwangi dengan potensi alamnya sebagai kawasan wisata sebelum Bali dinilai berhasil dan layak dijadikan contoh kabupaten lainnya di Jatim.

Anas mampu menjadikan Ijen, Plekung, Pantai Pulau Merah, dan pantai lainnya menjadi destinasi unggulan nasional. Bahkan Banyuwangi menjadi pilihan liburan warga perkotaan besar dengan dibukannya jalur penerbangan dari Jakarta maupun Surabaya di bandar Blimbingsari. Tercatat dua kali jadwal penerbangan dari dan ke Banyuwangi dibuka.

Bahkan even besar seperti Tour de Ijen, Ijen Jazz Festival dan gelaran Gandrung Sewu yang diadakan setiap tahunnya menjadi agenda nasional yang menjadi promosi gratis bagi bumi Lare Osing untuk lebih dikenal dunia.

Namun, setiap hasil pekerjaan tidak selalu bisa sempurna dalam hasil. Demikian juga dengan apa yang sudah dilakukan Anas hampir 10 tahun masa kepemimpinannya.

Membangun Banyuwangi, tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik saja. Namun juga membangun SDM serta sarana penunjang sosial lainnya.

Dilihat secara fisik, selain pembangunan yang begitu pesat di ibukota kabupatennya. Anas mampu menyulap berbagai lapangan di kecamatan menjadi ruang publik masyarakat untuk berinterksi sosial. Anas juga mampu mendatangkan investor untuk menanamkan modalnya dalam bentuk pabrik gula yang direncanakan terbesar se-Asean Tenggara.

Tapi bagi saya pekerjaan Anas belum selesai.

Sebagai kawasan yang memiliki dua jalur transportasi negara dan pintu masuk internasional ke Bali. Pembangunan di Banyuwangi belum sepenuhnya dikatakan selesai. Pemberdayaan SDM dan pembangunan kawasan perekonomian di kecamatan maupun desa masih belum nampak.

Hanya perbandingan saja. Kecamatan Genteng tempat saya dilahirkan dan dibesarkan selama 20 tahun lalu masih belum banyak berubah dalam 17 tahun terakhir.

Sebagai kota kedua penyumbang ekonomi perdagangan di Banyuwangi, Genteng seperti dianak tirikan. Pembangunan hanya sekedarnya saja. Itu bisa dilihat dar banyaknya jalan-jalan perkotaan di Genteng yang rusak dan kondisi itu sudah berlangsung sejak 17 tahun lalu.

Bahkan megaproyek terminal Genteng yang digadang-gadang menjadi pintu masuk kawasan selatan hingga sekarang berhenti tanpa ada kelanjutan. Padahal terminal Genteng, dengan tingkat masuk keluarnya penumpang sangatlah tinggi. Keberadaan terminal ini menjadi salah satu urat nadi membangkitkan ekonomi selain dari sisi perdagangan di pasar wetan.

Genteng juga tidak berkembang lebih luas. Banyak ruang publik yang hingga sekarang masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Kehadiran pusat pembelanjaan kiranya tidak menjadi pemantik perekonomian berkelanjutan. Namun malah menyisakan berbagai masalah sosial pada kawula mudanya.

Pertumbuhan cafe-cafe yang bak jamur di musim hujan memang menjadi Genteng lebih hidup di malam hari. Tapi kondisi itu juga mengakibatkan hadirnya degradasi moral bagi para pemudanya karena lebih banyak menghabiskan waktu di pinggir jalan dibandingkan di belakang meja belajar.

Beralih ke persoalan sampah. Apa yang bisa kita andalkan dari dua tempat pembuangan sampah (TPS) yang tersedia di kota Genteng. Dua tempat yang berada di belakang dua pasar besar di Genteng kiranya hanya sebuah tanda kehadiran pemerintah tanpa makna. TPS tidak bisa memenuhi keinginan warga Genteng untuk menjadikan wilayahnya bersih sampah.

Dampaknya, pembuangan sampah liar masih begitu marak di berbagai sudut kota. Bahkan sungai Setail yang dijadikan area rekresasi murah oleh pemerintah dengan menaburkan ribuan benih ikan sekarang menjadi seperti bak sampah raksasa.

Kondisi ini membuat saya trenyuh ketika memandang sungai yang dulunya begitu bersih dan menjadi arena main saat. Tidak peduli musim kemarau maupun musim hujan, sungai Setail adalah kolam renang terbersih dan teraman yang bisa kita temukan di kota yang begitu menerima kedatangan orang asing.

Limbang rumah tangga yang menjijikan, seperti bangkai, pampers, pembalut, dan limbah-limbah plastik lainnya hadir bersama dengan derasnya aliran sungai. Kondisi itu menjadi saya sakit tapi tak berdarah.

Genteng hanyalah contoh kecil saja. Ini belum kecamatan lainnya yang memiliki waktu tempuh lebih dari satu jam setengah ibukota kabupaten. Mungkin kondisinya lebih memprihatikan lagi.

Kecamatan dengan tingkat perekonomian tertinggi kedua setelah Kota Banyuwangi tidak mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Tentu saja yang perlu kita pertanyakan bagaimana kondisi kecamatan lainnya.

Disitulah saya melihat tugas Anas belum terselesaikan sesuai dengan janji kampanyenya.

Secara umum, di bawah kepemimpinan Anas, Banyuwangi masih belum bisa keluar dari tiga besar kabupaten di Indonesia yang memiliki angka perceraian tertinggi. Indramayu duduk di kursi pertama, Banyuwangi di belakangnya.

Faktor utama tingginya angka penceraian, bahkan pernah mencapai 500 perbulan, disebabkan tingginya angka pernikahan dini. Penceraian berbanding lurus dengan angka pernikahan dini.

Di kabupaten memiliki perguruan tinggi yang kurang dari jari satu tangan. Rendahnya pemahaman akan pernikahan yang matang adalah dampak terburuk yang pernah ada. Terlebih lagi ketika berbagai tempat yang menawarkan kesenangan sesaat dibangun hampir disemua lokasi. Maka ini memudahkan generasi muda untuk berinteraksi dan berjenjang ke tingkat lebih lanjut.

Satu blunder yang saya kita menjadi insiden terburuk dalam kepemimpinan Anas. Yaitu menghadirkan pantai syariah pertama di Indonesia. Saya tidak memungkiri bahwa keputusan itu tidak lebih dari mencari peluang ekonomi di tengah tren yang terjadi.

Tapi seharusnya keputusan itu juga seharusnya dibandingkan dengan sejarah masyarakat Banyuwangi.

Dalam sejarah. Banyuwangi adalah satu-satunya kawasan di Jawa yang belum pernah dikuasi dinasti Mataram. Banyuwangi adalah satu-satunya kawasan yang masih menjaga berbagai kebudayaan Jawa Kuno yang mulai terkikis bersamaan kehancuran Majapahit.

Masyarakat Osing, penduduk asli Banyuwangi memang dikenal sebagai suku yang sangat berbuka dengan kehadiran masyarakat suku lainnya. Sampai sekarang, terdapat tiga sub suku besar yang menghuni tiga bagian wilayah Banyuwangi.

Jika anda ke Banyuwangi lewat Jembe maupun Situbondor, beberapa daeah di didominasi kebudayaan Suku Madura. Kemudian berkunjunglah ke beberapa kecamatan yang berada di bagian tengah atau sepanjang Sungai Setail. Maka anda akan menemukan kehadiran masyarakat Jawa. Baru sisi timur Banyuwangi adalah wilayah suku Osing.

Ada suku Bali. Namun keberadaan mereka tidak terlalu besar. Tapi kehadiran mereka semakin menambah keberagaman Banyuwangi.

Hadirnya pantai syariah, bagi saya adalah sebuah tindakan yang mencenderai keterbukaan sosial masyarakat Banyuwangi. Saya menganggap Banyuwangi adalah wilayah yang ekstra toleran dan tidak pernah mengunggulkan satu agama, budaya, maupun suku lainnya. Banyuwangi tumbuh bersama dengan satu langkah dari seluruh warganya yang multi heterogen.

Satu lagi. Maafkan jika saya terlalu nyinyir.

Maraknya fungsi peralihan lahan produktif untuk komoditas yang tidak memberikan dampak besar bagi Banyuwangi. Sebagai gambaran saja, dalam lima tahun terakhir, kawasan selatan Banyuwangi banyak lahan-lahan produktif persawahan untuk padi dijadikan lahan tanam komoditas jeruk maupun buah naga.

Saya berpikir, dengan masa produksi jeruk dan buah naga yang tidak bisa terjadwalkan dalam waktu dekat. Apakah itu membawa kebaikan bagi masyarakat.

Ini berbeda dengan komoditas bahan pangan seperti padi. Dengan potensi luasnya lahan yang masih belum termanfaatkan, Banyuwangi ketika memutuskan untuk tetap mempertahankan kawasan persawahan itu maka peluang menjadi lumbung padi nasional akan terbuka lebar.

Sekarang Banyuwangi hanya dikenal sebagai sentra jeruk. Sama seperti Jember yang dikenal sebagai sentra tembakau. Padahal kedepan, komoditas pangan utama kondisinya begitu sungguh penuh tantangan yang disebabkan bertambahnya jumlah manusia dan sempitnya lahan.


Meski tidak di Banyuwangi. Saya tetap Laros. Anggapan ini sebagai kritik pribadi saja. Tidak lebih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak