Hoaks Di Sekitar Kita
Laporan
terakhir Assosiasi Penyelenggaran Jasa Internet Indonesia (APJII), hingga akhir
semester I 2017, pengguna internet meningkat 10 persen dibandingkan akhir tahun
lalu. Sebelumnya, di 2016 jumlah pengguna internet di Indonesia menyentuh angka
132,7 juta penduduk.
Jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 256 juta jiwa, maka
persentase pengguna internet sudah menembus angka 51,5 persen. Dari jumlah itu,
hampir 66,6 persen pengguna internet memanfaatkan dunia maya untuk mengakses
informasi, urusan profesi, sosialisasi maupun menghibur diri setiap saat.
Ditengah
penggunan internet, akses ke media sosial untuk melakukan empat aktifitas di
atas tergolong tinggi. Bahkan media sosial sudah masuk ke ranah personal masyarakat
Indonesia seiring dengan murahnya teknologi gawai. Gawai adalah sarana paling
dominan untuk mengakses internet saat ini.
Dengan
gawai, pengguna internet berupaya terus untuk memperbarui informasi dan isu
terbaru. Tidak hanya itu keaktifan di media sosial, juga merupakan wahana
indentifikasi diri dan sosialisasi bagi pengguna. Sehingga gawai saat ini kitab
suci ke dua masyarakat Indonesia.
Saat ini
media sosial adalah sumber informasi primer. Media sosial menjadi area terbuka
untuk mencari dan menyebarkan berbagai informasi tanpa batas karena bersifat
terbuka. Pengguna tidak pernah memiliki tanggung jawab terkait kebenaran maupun
upaya melakukan verifikasi terhadap informasi itu.
Menariknya,
di media sosial berbagai informasi diunggah oleh pihak yang menginginkan
perubahaan sikap terhadap kelompok. Ini tidak bisa dipungkiri karena ini adalah
efek nyata dari jebolnya bendungan informasi. Sayangnya, hadirnya keterbukaan
informasi ini tidak diimbangi oleh kesadaran akan fungsi informasi dan sikap kritis.
Sehingga
munculan berbagai berita penuh kebohongan (Hoaks) yang dibuat oleh salah satu
pihak dengan tujuan untuk menebarkan kebencian dan tentu saja tanpa proses
tindak lanjut lebih jauh diyakini kebenarannya oleh pembaca yang satu
pandangan.
Pengguna
internet di Indonesia, dari survey terbaru yang dilakukan Masyarakat Telematika
Indonesia (Mastel) terpapar berita hoaks sebanyak sekali dalam sehari. Hoaks
yang disebarkan melalui media sosial didominasi oleh tulisan
Berbicara
mengenai hoaks. Dengan sifat kesegarannya, intensitasnya, serta adiktifnya
hoaks di media sosial menjadikan individu cenderung bersikap hati-hati apalagi
kritis. Terlebih lagi dengan kondisi masyarakat yang memiliki minat baca
rendah, hoaks seperti mendapatkan tempat.
Penyebarnya
hoaks ketika dipadukan dengan kepentingan kelompok maka akan sangat bahaya.
Sebab dengan produksi kebohonan secara terstruktur dan sistematis, mengakibatkan
sumber aslinya kabur. Dari sinilha, kehadiran hoaks mampu melemahkan filter
konigtif seseorang sehingga kebohongan disampaikan menyelinap masuk dan
dianggap sebagai kebenaran.
Yang
mengerikan hoaks menciptakan pertikaian di dunia maya. Pertikaian antara
pendukung dan pembenci sebuah pemberitaan. Dan yang mengerikan dari pertikaian
itu adalah efek ketidaktahuan karena kurangnya pemahaman akan informasi. Tidak
semua masyarakat mengerti dan memaknai informasi.
Lantas
seperti apa tantangan kehadiran hoaks dalam pandangan studi komunikasi,
terutama jurnalistik? Apakah kehadiran informasi yang disajikan kalangan media
mampu menangkal hoaks terutama di tengah rendahnya minat baca terutama di
Indonesia?
Dalam
sebuah artikel, Cherian George dari Departemen Jurnalisme Universitas Hongkong
Baptis melihat kehadiran hoaks di masyarakat akan sangat membahayakan dalam
jurnalistik. Hoaks meruntuhkan premis jurnalistik yakni akal sehat. Jika akal
sehat sudah mati, bisa dipastikan penyajian berita yang sesuai dengan logika
akan mati.
Tapi
apakah jurnalistik akan mati tanpa perlawanan terhadap hoaks?
Di
Jurnalistik, fakta dan kebenarannya adalah pondasi tunggal yang tidak bisa
digantikan dalam menghasilkan produk berita. Karya jurnalistik tidak boleh
berpihak pada satu kubu, sehingga memunculkan suka dan tidak suka. Terlebih
lagi ketika sebuah berita itu didasarkan pada steoritip atau isu belaka, tanpa
melakukan verifikasi, maka itu adalah
aib di jurnalistik.
Jurnalistik
selamanya harus netral dan berimbang. Melepaskan fakta dengan opini. Ini
merupakan satu kode etik jurnalistik.
Pencampuran
adukan opini dan fakta dalam pemberitaan, bagi banyak ahli komunikasi, dianggap
cenderung memberi kesempatan bagi ‘penumpang gelap’ untuk mengarahkan
pemberitaan pada sudut pandang tertentu sehingga publik tidak memiliki
kesempatan untuk mencerna, memilih, dan menilai sebuah berita.
Kecenderungan
mengarahkan pada suatu perspektif terntu itulah yang mengantarkan sebuah
institusi media jatuh dalam bingkai pemberitaan yang menjatuhkan satu pihak dan
menyenangkan pihak lainnya.
Fakta
adalah stimulus. Makna yang dikandung dalam fakta bisa berbeda-beda tiap
individu maupun kelompok. Semuanya tergantung atas pengalaman, wawasan dan
nilai yang dianutnya. Tapi juga perlu bahwa fakta bisa diseret ke dalam
generalisasi yang seolah-olah bisa berlaku secara keseluruhan.
Karena
itulah, jurnalistik memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan fakta-fakta
menjadi stimulus yang menutup peluang terjadinya peluang berita bohong. Salah
satu cara yang disarankan adalah dengan membuat produk berita tidak mengerucut
pada satu prespektif saja. Namun harus seinovatif dan sevariatif mungking agar
tidak memungkinkan menjadi bahan maupun disusupi data palsu.
Untuk
mendapatkan fakta, yang seinovatif dan sevariatif mungkin, jurnalistik
menerapkan proses verifikasi sebagai solusi utama dan mutlak dalam pembuatan
produk berita. Verifikasi adalah kunci dari untuk mendapatkan kebenaran.
Media
massa dengan kekuatan verifikasi atau klarifikasi menjadi peluru utama dalam
perlawanan terhadap hoaks. Disiplin verifikasi dan klarifikasi akan
menghasilkan akurasi produk berita.
Ditengah
era yang dimana banyak informasi bertebaran bebas dan tanpa sumber yang jelas,
jurnalistik haruslah berpegang teguh pada prinsipnya yakni disiplin dalam
verifikasi dan klarifikasi. Dua prinsiplah yang selama ini menjadikan media
massa tetap kredibel dan menjadi pilihan publik.
Dalam
bukunya ‘Sembilan Elemen Jurnalistik’, Bill Kovach dan
Tom Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi. Pertama, jangan menambah
atau mengarang apa pun. Kedua, Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa,
maupun pendengar. Ketiga, bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang
metode dan motivasi dalam melakukan reportase. Berikutnya adalah bersandarlah, terutama
pada reportase sendiri. Dan keenam atau
terakhir, selalu bersikaplah rendah hati.
Tentu saja
kehadiran media massa, terutama media cetak berhubungan dengan minat baca
masyarakat.
Membaca
adalah kegiatan yang membutuhkan konsentrasi tersendiri. Membaca adalah
kegiatan mengisolasi diri. Membaca memang membutuhkan waktu dan terkesan
lambat. Namun inilah intinya dari proses membaca. Dengan keterlambatan, manusia
mampu mengembangkan akal pikiran dan logika.
Kelambatan
inilah yang menjadi salah satu penyeimbang melawan hoaks. Dengan membaca,
seseorang akan dibawa ke kedalaman informasi, keutuhan informasi serta
pemikiran kritis yang menyertainya.
Membaca
membuat seseorang akan memilih mana yang akan dibaca dan tidak.
Dengan
buku, seseorang mendapatkan kedalaman, keutuhan informasi, berikut dengan
konteks yang menyertai sebuah masalah. Buku menawarkan dialog antara
pengarangnya dengan pembacanya, serta kekritisan menyertai mereka yang masih
melakukan tradisi klasik ini.
Berbeda
dengan membaca di internet yang menampilkan hiperteks dan mengakibatkan otak
manusia terframengtasi dan mudah buyar konsentrasinya. Melihat sesuatu tidak
pernah utuh, tidak memiliki kedalaman dan memperpendek ingatan manusia.
Komentar
Posting Komentar