Menyelam Di Kedinginan, Otak Sulit Berpikir


Bagaimana rasanya ketika harus menyelam di perairan yang terletak di bongkahan es Laut Antartika. Dengan suhu minus 1,8 derajat, rasanya tidak akan banyak manusia yang akan melakukannya. Meskipun dia berasal dari Siberia, rasanya menyelam di lautan bawah es adalah salah satu jalan menuju kematian.

Sebagai manusia yang hidup di wilayah yang memiliki dua musim saja. Cuaca dengan suhu pada kisaran 16-24 derajat saja rasanya seperti tusukan jarum tajam pada seluruh kulit. Saya tidak berani membayangkan hidup di kawasan memiliki musim dingin hingga di bawah 10 derajat. Saya memang wong ndeso.

Tapi menilik pengalaman dari Laurent Ballesta, ahli biologi dan fotografer dari Perancis rasanya saya tidak usah bepergian ke Antartika untuk merasakan dinginnya air laut bawah es. Selama 36 hari, Ballesta dan timnya mengadakan penelitian tentang kehidupan seperti apa yang mampu bertahan di sana.

Berbekal baju selam seberat 90 kg dan dibantu tali kuning panjang berpedar, Ballesta melakukan pengambilan sampel hewan, tumbuhan, dan berbagai potret cantik perilaku mahluk hidup di sana.

“Lambat dalam evolusi. Seluruh kehidupan mahluk di bawah permukaan bongkahan es memberikan gambaran kita tentang kehidupan jutaan tahun lalu. Masih alami,” jelas Balleta dalam tulisannya.

Membuat pintu masuk dengan mengebor bongkahan es yang memiliki ketebalan 3 meter, Balleta memasuki dunia gelap yang sama sekali belum terjamah manusia. Gelap, asing, dan misterius.

Balleta mengambarkan ketika memasuki air dingin, dengan beban peralatan, bergerak adalah sesuatu yang memerlukan banyak perjuangan. Dinginnya air mematikan rasa pada pipi yang tidak terlindungi baju renang yang terdiri dari empat lapis anti kedap air dan penghangat badan. Rasa dingin terus menerus menusuk menembus baju dan sarung tangan, semakin mengigit.

Tak tertahankan. Namun Balleta harus tetap bertahan dengan mengalihkan rasa sakit pada sesuatu yang baru ditemui di kedalaman 30-70 meter. Baginya, satu hal terpenting yang mampu menghilangkan rasa sakit yang dialami adalah sinar matahari pertama yang dilihat ketika keluar dari lautan.

Bahkan untuk menikmati sinar matahari, Balleta harus sepenuhnya berbaring di permukaan bongkahan es hingga tubuh kembali hangat seiring darah kembali mengalir. Ini disertai rasa sakit yang sangat luar biasa.

Otak terlalu sulit berpikir. Kulit terasa kaku dan berkerut. Bibir, tangan, dan kaki membengkak dan mati rasa.

Empat minggu setelahnya. Balleta tidak bisa merasakan jempol kaki, bahkan ditengah kehangatan api ungun. Dibutuhkan waktu tujuh bulan agar semua saraf yang rusak bisa pulih kembali.

“Satu hal yang kiranya menjadi sesuatu yang layak dari penyelaman ini. Cahaya pertama yang terlihat di kedalaman. Cahaya yang menembus lubang-lubang udara yang dibuat anjing laut seperti lampu jalanan. Menciptakan pendaran halus pada lanskap bawah laut. Seperti lampu jalanan,” tuturnya.

Disaring sepenuhnya dari National Geographic Indonesia-Juli2017. (Sumber Foto; https://www.youtube.com/watch?v=VJbZ8XtQsAA)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak