Menyoal Seragam Sekolah Negeri
Shinta Maharani menulis;
“Beredar surat pengumuman
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 11 dan 7 di Yogyakarta tentang penggunaan
jilbab untuk siswi muslim. Kedua kepala sekolah itu berdalih bahwa surat edaran
itu hanya imbauan, bukan kewajiban.
Penggalan surat
pengumuman tentang syarat daftar ulang bagi peserta didik yang diterima tahap
II (reguler) poin 7 itu berbunyi untuk siswa yang beragama Islam khususnya
siswa putri diminta berjilbab/tutup kepala warna putih, dan membawa
mukena/rukuhuntuk pelaksanaan sholat jama'ah. Surat bertanda tangan Kepala
Sekolah SMP Negeri 11, Sukirno itu diberi tanggal 13 Juli 2017.
Surat kewajiban berjilbab
bagi siswi muslim juga muncul pada surat pengumuman SMP Negeri 7 Yogyakarta.
Surat bertanda tangan Kepala SMP N 7, Sugiharjo itu tertanggal 13 Juli 2017.
Poin 3 dalam surat itu
berbunyi pakaian seragam yang dipakai mulai tanggal 20 Juli 2017 jika sudah
memiliki adalah: A. Hari Senin. a.2. Bagi siswi putri busana muslimah: kerudung
putih, rok putih panjang, baju putih lengan panjang. b. Hari Selasa sampai
dengan Rabu. b.2. Bagi siswi putri busana muslimah: kerudung putih, rok biru
panjang, baju putih lengan panjang”.
Masih ada waktu sebelum Brasil Vs Belgia dini
hari ini.
Membaca laporan dari Shinta Maharani, ternyata
dia adik kelas SMA. Muncul kekuatiran dan ketakutan saya, bahwa hal yang sama
akan menimpa putri tunggal saya saat memasuki sekolah dasar.
Jumat (6/7)
pagi ketakutan saya terbukti benar adanya. Kepala Sekolah SDN Bibis Y. Tri
Mulyaningsi dalam pengarahnya kepada wali murid saat penerimaan murid baru
menyatakan seragam wajib bagi perempuan adalah berlengan panjang dan bawahan
menutupi mata kaki.
Saya tidak
merekamnya, namun bukti edaran seragam perempuan yang dipakai dari sekolah
(dalam foto) bisa menjadi rujukan.
“Ibu-ibu saya
mohon anak-anaknya memakai jilbab yang mudah dilepas saja. Sebab biasanya
mereka tidak bisa memasang sendiri jilbab yang harus memakai penjepit,” katanya
dengan nada tegas yang saya kira seperti perintah.
Saya dan istri
yang hadir memutuskan tidak bertanya atau memprotes pernyataan itu. Kami sadar
dimana posisi kami berada. Saya memutuskan menuliskannya di-blog saja.
Permasalahan
ini sebenarnya lama menjadi perhatian saya pribadi. Sebelumnya saya mendengar
langsung dari dua keponakan, satu dari kakak kandung dan satu dari kakak ipar.
Keduanya siswi SMP Negeri. Bahwa memakai jilbab sebagai seragam sekolah adalah
kewajiban yang diperintahkan gurunya.
Membayangkan
seragam sekolah negeri harus menuruti simbol-simbol agama bagi saya adalah
bentuk perlawanan terhadap UU. Sekolah negeri yang seharusnya menjadi wadah
keberagaman dalam menerima siswa-siswa yang memiliki perbedaan kepercayaan. Kiranya
sudah menjadi kawah cadradimuka menghilangkan keberagaman dengan cara
menyeragamkan.
Saya tidak akan
mempermasalahkan jika kondisi itu berlaku di MI, MTS, MA atau sekolah swasta keagaman
lainnya. Karena memang kurikulum yang dianut sepenuhnya berbasis pada ajaran
agama.
Tapi ini adalah
sekolah negeri. Sekolah umum milik semua anak bangsa yang tidak membedakan
Suku, Ras, dan Agama.
Pengamatan
saya, tidak hanya di DI Yogyakarta saja
sekolah negeri yang mewajibkan siswa perempuan memakai jilbab. Di Banyuwangi
dan Magelang hal serupa juga sama. Mungkin di seluruh Jawa kondisi yang sama bisa
diketemukan.
Jujur, saya
tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan seorang siswi yang berbeda agama
diwajibkan memakai pakaian yang tidak sesuai kepercayaannya. Hak asasi manusianya
telah dilanggar.
Saya juga
melihat guru-guru perempuan sekolah negeri, yang saya kira sudah PNS tidak
mampu melawan kondisi yang jika dibiarkan menghancurkan masa depan Indonesia . Guru-guru
perempuan di sekolah negeri mendominasi penampilan mereka dengan unsur agama. Banyak
guru perempuan yang memakai jilbab dibandingkan yang tidak. Ini serius. Coba anda
amati ulang.
Saya tidak
membenci atau melarang mereka melakukan hal itu. Namun sebagai pendidik yang
melahirkan penerus bangsa ini, apa yang dilakukan itu sangat menyakitkan.
Negara membayar
para guru untuk mendidik anak-anak, salah satunya adalah menerima perbedaan Indonesia ,
terutama agama dan kepercayaan. Namun secara simbolik para guru memaksa anak
didiknya merusak keindahan keberagaman itu.
Dulu, semasa
sekolah. Dari SD-SMA, beberapa siswi ada yang memakai jilbab namun kebanyakan
tampil nasionalis. Dengan rok lima
centimetre di atas lutut dan memakai baju lengan pendek. Semua tampak indah dan
cantik-cantik, karena mereka tampil apa adanya tanpa ada yang ditutupi.
Semua sama.
Semua bisa berkawan tanpa pernah mengetahui dan mempedulikan soal agama maupun
kepercayaannya.
Sekarang semua
berubah. Berkawan harus melihat apa agama dan kepercayaannya. Perbedaan itu ditampilkan
lewat kebijakan seragam sekolah.
Ternyata Negara Mengizinkan ‘Kewajiban’ Ini.
Mari
kita lihat Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 tahun 2014
tentang Pakaian Seragam Sekolah. Aturan ini dibuat dengan tujuan memperkuat jati diri bangsa, yakni perlu diaturnya pakaian seragam
sekolah guna meningkatkan citra satuan pendidikan serta meningkatkan persatuan
dan kesatuan di kalangan peserta didik.
Padal pasal 3, disebutkan
bahwa seragam sekolah khusus SD adalah atasan putih dan bawahan merah. Kemudian
ada seragam pramuka dan seragam khas sekolah yang sepenuhnya diatur pengajar
dan disetujui wali murid. Biasanya seragam khas ini berupa batik.
Di pasal itu juga
disebutkan, khusus siswi ada pilihan menggunakan seragam umum dengan syarat
bawahan harus lima centimeter di atas lutut atau sampai mata kaki dan atasan
lengan pendek. Kemudian untuk siswa, bisa memakai celana pendek atau panjang.
Masih di pasal yang sama.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat itu juga mengatur tentang busana
muslimah. Kemeja putih lengan panjang, rok panjang sampai mata kaki, dan jilbab
putih.
Kiranya aturan inilah
yang dipakai oleh pihak sekolah menerapkan kewajiban memakai busana muslimah
bagi siswi.
Prasangka buruk saya. Melalui
sekolah negeri yang kebanyakan berasal dari golongan bawah dan sebagian
menengah. Ajaran suatu agama bisa disebarluaskan dan dimasifkan gerakkanya
sejak dini melalui pendidikan. Harapannya, kebiasaan di sekolah akan berdampak
pada kehidupan sehari-hari.
Kondisi ini tentu saja
menghadirkan perpecahan semu antar anak bangsa. Contoh, di Bali yang mayoritas
Hindu atau Minahasa yang mayoritas Kristen.
Di sana sekolah negeri sebenarnya
melarang penggunaan jilbab karena takut ada diskriminasi atas nama agama. Sekolah
berharap dengan seragam yang sama, mereka bisa berbaur dengan siswa lainnya.
Namun sekolah juga
memberi kebebasan kepada siswi muslimah untuk menggunakan jilbab sesuai kepercayaannya,
dengan resiko yang menjadi tanggung jawab sendiri. Tapi anehnya himbauan itu
dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Jika di kedua provinsi
itu dianggap pelanggaran hak asasi manusia. Lantas apa yang terjadi di seluruh
Jawa juga merupakan hal yang sama? Sayangnya tidak banyak orang yang berani
menyuarakannya. Dan akhirnya negara seperti campur tangan menghadirkan kondisi
ini.
Bagi saya, urusan memakai
simbol agama dalam kehidupan sehari-hari adalah urusan pribadi setiap warga
negara. Namun jika hal itu diatur sebagai kewajiban di lembaga negara, maka itu
bertentangan dengan aturan negara yang tertuang di pasal 29 Undang-Undang Dasar
1945.
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa.
(2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Saya
kira, Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 tahun 2014
tentang Pakaian Seragam Sekolah agenda tersembunyinya sangat jelas terbaca.
Terima
kasih.
Perlu diujikan di MK hal yg begini
BalasHapus