Catatan Ke-123; Merpati Merpati Api


“Peperangan tidak akan pernah memuaskan salah satu pihak. Sang pemenang akan terus melanjutkan peperangan dan meraih kemenangan demi nama besar. Lawan yang kalah, akan tetap menyusun kekuatan dibalik kesetiakawanan untuk membalas dendam”

Kami sudah mengepung benteng batu bata itu sejak terakhir bulan purnama muncul. Sekarang bulan baru telah tampak. Artinya sudah dua minggu kami berada di hutan gelap di belakang padang rumput rendah yang membatasi kami dari benteng itu.

Perkenalkan aku Aria Saleh. Pemimpin serdadu telek sandi dari pasukan Demak. Panglima besar perang kami bernama  Husein merupakan adik kandung Raden Patah, raja kami. Baginda yang kecilnya dulu bernama Raden Paku adalah raja pertama di tanah Jawa yang membesarkan agama suci Tuhan. Islam.

Kami bertugas membantu mendapatkan informasi bagi armada pasukan pemburu dan pemusnah mengenai sisa-sisa pemerintahan Majapahit. Anak buahku mendapatkan info yang pasti bahwa Raja Browijaya berserta pengikutnya yang tersisa berada di dalam benteng bata yang saat ini kami hadapi.

Kami berada di daerah yang posisinya di selatan dan berjarak sehari semalam jalan kaki dari Ibu Kota Majapahit. Sebuah daerah yang dikenal dengan nama Gedadang.

Warta dari telek sandi mengabarkan, Raja Browijaya yang sudah menua berada di sana di dalam benteng bata itu. Dia dikawal ketat oleh putranya yang bernama Reng’ga Permana.

Kerajaan Demak sudah belasan tahun mencari kabar keberadaan Browijaya, raja penyembah pahala. Kami harus menghilangkan dari muka bumi ini dengan tujuan kepercayaan yang dianutnya tidak merusak masyarakat baru yang sudah tertata sesuai kaidah agama suci Tuhan.

Kehancuran Majapahit sebenarnya adalah penanda kemenangan agama kami. Semua tanda-tanda kebesaran kerajaan ini sudah menjadi milik kerajaan kami. Dibawah Raden Paku tanah Jawa akan mencapai kejayaannya.

Kami tidak ingin para penyembah berhala ini merusak cita-cita kami. Kami akan mengejar hingga sampai ujung tanah ini.

Meski sudah tidak memiliki kekuatan pasukan, namun Browijaya sepenuhnya mendapatkan perlindungan dari salah satu anak Gaja Mada bernama Kiai Gedhe Seng’gara. Sebagai balas budi, Browijaya menikahkan anaknya dengan putri dari Gedhe Seng’gara dan mendapatkan hadia Gedadang sebagai hadiah perkawinan.

Kami sudah dua minggu di sini. Semua telik sandiku telah aku sebar. Semua informasi terbaru sudah aku dapatkan dan aku laporkan langsung ke Panglima Perang.

“Gedadang juga dikenal sebagai Supit Urang. Nama ini diberikan oleh masyarakat karena bentuk benteng pemukiman yang seperti penjepit pada udang,” laporku pada Panglima Husein.

Sebuah lontar bergambar terletak di meja panglima. Tergambar jelas sebuah gambar supit udang yang sangat besar. Gambaran benteng itu. Menghadap selatan, arah yang dianggap baik bagi masyarakat Majapahit, benteng bata itu seperti tidak bisa diratakan dengan tanah.

Memajang dari utara ke selatan, benteng ini memiliki panjang kurang lebih 500 meter dan lebarnya kurang lebih 300 meter. Tinggi keseluruhan benteng bata ini mencapai 8 meter.

Pintu keluar masuk ke benteng berada di bagian ujung kedua supit yang jarak antar keduanya mencapai 150 meter. Di antara dua supit terdapat kolam dalam yang menjadi pusat dari aliran parit yang mengelilingi benteng. Pertahanan terbaik yang pernah kami hadapi.

Pertahanan Supit Urang sepenuhnya dilakukan pasukan pengaman melalui atas dinding. Berbagai panah beracun dan bambu runcing dilemparkan untuk melawan kami. Mereka memenangkan perang sementara karena mampu berada di posisi yang lebih tinggi dari pasukan kami.

Supit Urang ini dikenal sebagai pusat pembuatan batu bata terbaik. Sebelum diketahui keberadaannya untuk kemudian kami kepung, banyak wilayah di sekitar Gedadang termasuk dari Seng’gara mengambil batu bata dari sana sebagai bahan baku rumah.

Benteng ini kami anggap bukti betapa mahirnya mereka membuat batu bata. Kami sudah mencoba menghantamnya dengan berbagai peralatan berat yang kami miliki namun sama sekali tidak goyang.

Dua minggu pasukan kami masih mampu bertahan dan sesekali melakukan serangan kecil sebagai ujian pertahanan mereka. Panglima sejak seminggu lalu sudah memutuskan menghentikan penyerangan besar, karena terus-terus mengalami kekalahan.

Kebutuhan logistik kami tidak akan pernah habis karena dukungan dari desa-desa yang kami taklukan masih kuat. Bagi Pangliman, meskipun tidak mempengaruhi kemenangan dalam perang, namun logistik harus selalu tersedia untuk menjamin semangat berperang. Penaklukan desa-desa inilah yang bisa kami lakukan.

Dua minggu kami berusaha menyerang untu menang. Dua minggu Browijaya dan pengikutnya mampu mempertahankan diri.

Tetapi dua minggu itu, timku yang sepenuhnya bertugas melakukan penyamaran sama sekali tidak mengetahui bagaimana Browijaya dan keturunannya bertahan hidup di sana. Semua sudah kami coba korek, dari beberapa warga yang mendapatkan ijn masuk. Namun semua mengaku tidak tahu.

Yang kami tahu bahwa pendopo dan paseban tempat Browijaya menetap bersama anaknya berada di tengah-tengah benteng. Kami juga tahu bahwa di dalam benteng terdapat 200-300 rumah penduduk yang terbuat dari kayu dan beratapkan alang-alang kering.



Pendopo utama terbuat dari batu bata pilihan. Tinggi dinding pendopo mencapai 5 meteran dan sekelilingnya mencapai 100 langkah/depa. Pendopo Browijaya dijaga khusus 7-8 prajurit pilihan yang memakai kain sutra berwarna-warni.

“Mereka masih mengamalkan ajaran-ajaran kuno Majapahit,” jelasku saat diminta mengambarkan kehidupan di dalam benten batu bata itu.

Para pria tetap mempertahankan rambut panjangnya yang seperti rumput baru tumbuh itu demikian juga Browijaya. Laporan menyebutkan, Browijaya masih mempertahankan statusnya sebagai raja dengan penampilannya.

Dia menggunakan semacam sorban dari kain sutra terbaik yang ujung-ujungnya dihiasai perhiasan seperti daun yang terbuat dari emas. Kain sutra beda warna membelit pinggangnya dan terselip pisau pendek yang indah karena bertaburan permata. Browijaya tidak pernah memakai alas kaki. Mungkin itu kebiasannya.

Bagi penduduknya, kaum pria lebih banyak bertelanjang dada dan terselip pisau pendek di pinggang. Kehidupan kuno yang tidak pernah mengenal etika. Kaum perempuan menggunakan kain dan mantel panjang untuk menutupi tubuhnya. Persis seperti apa yang diajarkan agama kami. Rambut mereka diikat dalam satu ikatan besar di atas kepala.

Kami hampir patah semangat memasuki hari ke-17. Panglima menyiapkan pasukan dan memerintahkan bersiap melakukan penyerangan besar untuk terakhir kalinya.

Tangga bambu, pelontar batu, dan kendi-kendi berisi minyak telah disiapkan. Kami tim telik sandi diperintahkan ke garis depan untuk melaporkan kondisi terakhir benteng bata itu.

“Apa yang aku laporkan. Semua dalam kondisi sama. Benteng yang tidak mudah ditembus. Dua pintu gerbang yang kokoh yang tidak bisa dijebol. Mereka masih bisa bertahan dengan sumber makanan yang tidak jelas,” aku melapor dalam keputusasaan kepada Pangliman Husein.

Kemurkaannya aku terima dengan lapang dada. Karena memang pasukanku tidak bisa mendapatkan informasi tambahan lagi tentang bagaimana meruntuhkan benteng batu bata sialan itu.

Sekoyong-koyong, muncullah Purwa salah satu anak buahku yang paling muda. Dia sudah dua hari tidak kelihatan. Dia datang dengan senyum gemilang seperti menandakan kemenangan.

“Saya mendapatkan ide untuk mengalahkan benteng itu. Silahkan romo ikut bersama saya,” katanya.

Kami berjalan menuju tanah lapang yang berada di sisi barat jauh dari benteng tanpa diketahui siapapun. Purwa dengan semangat menceritakan sebentar lagi dari dalam benteng batu bata itu akan muncul merpati-merpati yang mencari makan di tanah lapang itu. Benar, berpuluh-puluh merpati terbang dari arah benteng dan menyampai tanah lapang.

Purwa mengutarakan rencananya. Dasarnya merpati adalah burung peliharaan yang paling dilatih untuk kembali ke sarangnya meski terbang begitu jauh. Tidak berbeda dengan merpati dari benteng. Mereka pasti kembali ke rumah pemiliknya.

“Kita tangkap mereka sebanyak-banyaknya, kita ikatkan kayu bakar di kakinya dan arahkan mereka pulang ke dalam benteng. Kebakaran akan menyebabkan penduduk panik dan keluar benteng. Saat itulah kita menyerang,” ujar Purwa.

Tipu muslihat dan ide cerdas yang langsung aku sampaikan ke Panglima. Tidak butuh lama, pasukanku diperintah melakukannya.

Kami tangkap 30-an merpati. Kami ikat kayu-kayu kecil menghasilkan bara api lebih lama. Kami lepaskan kawanan burung itu di dekat benteng. Pasukan kami sudah siap sedia di belakang kami.

Kami menungu. Kami menunggu. Asap mulai terlihat. Kebakaran kecil terjadi. Kebakaran hebat benar-benar membuat panik warga.

Penjaga pintu membuka pintu masuk dan keluar bersamaan karena warga ingin meningalkan benteng. Saat itulah pasukan kami masuk dan dengan mudah memenangkan peperangan.

Sayang, Browijaya dan pengikutnya berhasil melarikan diri melalui pintu rahasia sesaat setelah kami berhasil menerobos masuk. Kami perkirakan dia melarikan diri arah timur, menuju pulau Bali. Dia masih memiliki banyak pendukung di sana.

Tapi kami puas, kemenangan besar kami raih hari ini. Benteng terkuat yang pernah dibangun pasukan Majapahit sudah kami kalahkan. Mengalahkan Supit Urang menurut Panglima Husein lebih sulit dibandingkan mengalahkan Ibu Kota Majapahit.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak