Trial By Medsos
Jadi ini adalah tulisan yang sempat saya kirimkan ke
sebuah koran lokal untuk kolom opini. Namun saya kurang beruntung karena tidak
pernah tayang sampai isu yang diangkat sudah kadaluwarsa.
Daripada terus tersimpan di file, tanpa pernah dibaca.
Maka perkenankanlah saya membaginya dengan semuanya.
Materinya sederhana. Mungkin karena sederhana itulah yang
tidak menarik minat para redakturnya.
Kematian mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) DI
Yogyakarta Dwi Ramadhani Herlangga pada Kamis (7/6) dini hari akibat bacokan
penjahat jalanan menjadi perhatian khusus masyarakat dan aparat berwajib.
Sempat tidak terdengar kabarnya dalam tiga bulan
terakhir, di bulan puasa yang suci dan penuh berkah in kejahatan jalanan atau
dikenal klitih muncul kembali.
Tidak tanggung-tanggung, korbannya mahasiswa taat yang
sesaat sebelum dibacok punggungnya dan menyebabkan kematian, selesai
mengantarkan sahur bagi masyarakat tidak mampu di Kota Yogyakarta.
Ok karena menjadi perhatian. Kepolisian fokus bergerak
dan secepat mungkin mengungkap siapa pelakunya. Dan Sabtu (9/6), kepolisian
‘mengamankan’ dua pemuda yang diduga kuat menjadi pelakunya serta beberapa
barang bukti.
Ini yang menjadi menarik. Ketika wartawan DI Yogyakarta
sibuk mencari kebenaran informasi tentang dua pemuda yang ‘diamankan’
kepolisian. Apakah mereka benar-benar pelaku pembunuhan atau tidak?
Serta merta dalam
hitungan jam, laporan tentang penangkapan sudah viral melalui linimasa dunia
maya. Juga dengan foto kedua pemuda yang belum cukup umur yang ‘diamankan’,
tersebar tanpa sensor sama sekali. Wajahnya terpapar jelas.
Serta merta pula, ragam komentar dari para warga internet
(nitizen) langsung berujung penghakiman kepada kedua pemuda itu sebagai pelaku
utama terbunuhnya Ramadhani di ruang sidang media sosial (medsos)
Padahal kepolisian sebagai pihak berwajib belum
mengeluarkan pernyataan resmi tentang siapa dan peranan kedua pemuda itu.
Dari pengalaman saya. Memang ketika seseorang diamankan
polisi terkait sebuah kasus, kemungkinan besar ketika di proses penyidikan
terbukti, dia akan menjadi tersangka. Jika bebas karena tak terbukti, pernah
terjadi namun prosentasenya sangat sangat kecil.
Dengan kondisi tanpa konfirmasi lebih lanjut, tentu saja
wartawan tidak akan pernah berani menurunkan berita tentang ‘mengamankan’ dua
pemuda itu. Pernyataan dari kepolisian adalah satu-satunya sumber resmi pemberitaan.
Padahal untuk menentukan mereka benar-benar pelaku atau
tidak? Kepolisian masih memerlukan proses lebih lanjut penyidikan maraton dan
gelar kasus. Dua proses ini wajib dilakukan kepolisian.
Sebagai mantan wartawan kriminal, ketika kepolisian belum
mengeluarkan pernyataan resmi yang menyatakan seseorang adalah pelaku, maka tidak
ada berita.
Meskipun data-data yang didapatkan sudah lengkap, namun
tanpa konformasi hal itu tidak sesuai kaidah. Jikapun dipaksa dinaikkan menjadi
berita, maka wartawan yang menulis dan medianya telah memberikan penghakiman
penghakiman.
Bahkan jika dirunut dari kacamata hukum, seseorang yang
sudah diamankan kepolisian berserta bukti kuat lainnya masih memungkinkan bebas
saat pengadilan. Namun akibat pemberitaan, meski bebas namanya tetap dicatat
dengan tinta merah.
Masih ingat tentang Iwik, warga Bantul yang ditetapkan
paksa sebagai pelaku pembunuhan wartawan Udin. Meski tidak terbukti dan bebas,
namun nama Iwik tidak akan pernah hilang dari pemberitaan kejadian yang sama
sekali tidak dia ketahui.
Dunia jurnalistik mengenal konsep ‘trial by the press’
atau penghakiman melalui pemberitaan. Konsep ini secara nyata-nyata sudah
dilarang diterapkan. Namun dalam pemberitaan kriminal masih terjadi.
Namun berbeda dengan dunia maya, trial by the press yang
dilakukan wartawan dapat dipertanggungjawabkan karena sepenuhnya informasi bersumber
dari pihak berwajib yang menangganinya dan itu resmi. Bukan berasal dari
unggahan seseorang kenalan dan belum bisa dikonformasi.
Trial By The Press dalam dunia media Indonesia sepenuhnya
diatur lewat pasal 5 UU Pers tahun 2009.
Dinyatakan “Pers nasional dalam menyiarkan informasi
tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang terlebih lagi
untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodir
kepentingan semua pihak yang terkat kasus pemberitaan tersebut”.
Bahkan di pasal 6 UU Pers, media diwajibkan melakukan
pengalian informasi yang akurat agar tidak terjadi penghakiman pembaca melalui
berita.
“Pers nasional mempunyai peranan penting dalam memenuhi
hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan
menyampaikan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Hal ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan
kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang
tertib”.
Kode Etik Jurnalistik juga meminta awak media untuk tidak
membuat berita yang mengarah pada penghakiman lewat berita. Sangat jelas
dipaparkan dalam pasal tiga;
“Wartawan Indonesia selalu menguji informasi,
memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini menghakimi,
serta menerapkan asas praduga tak bersalah”.
Disana terdapat penafsiran bahwa ‘menguji informasi’
memiliki wartawan harus melakukan check and rechek tentang kebenaran informasi
tersebut.
‘Berimbang’, memberikan ruang atau waktu pemberitaan
kepada masing-masing pihak secara proposional.
Juga ditegaskan, bahwa ‘opini’ yang menghakimi adalah
opini pribadi wartawan. Namun di lapangan kondisi sangat berbeda, karena
kepastian tentang seseorang menjadi pelaku atau tidak berasal dari kepolisian
yang cenderung tidak peduli pada asas praduga tak bersalah (Prinsip menghakimi
seseorang).
Sehingga apapun yang dinyatakan kepolisian tentang
seseorang yang diamankan sepenuhnya menjadi fakta, dan ketika disampaikan media
maka sah-sah saja menganggap seseorang pelaku utama.
Berkaca dari kasus ini. Dimana sebuah informasi penting
yang layak menjadi berita serta belum terkofirmasi secara tepat, akurat, dan
benar tersebar luas dengan beragama komentar penghakiman di media sosial.
Saya membayangkan, jika nantinya kedua pemuda yang
‘diamankan’ Polresta Kota Yogyakarta ini tidak terbukti melakukan dan sudah
mendapatkan penghakiman dari masyarakat. Bagaimana perasaan orang-orang
terdekat mereka.
Apakah hanya cukup pembersihan lewat pemberitaan di media
resmi bisa memulihkan nama baik mereka.
Dan sangat jamak di saat ini, ketika mengunggah sebuah
informasi yang tidak akurat, palsu (fake) dan hoax. Warga internet yang
mengunggah pertama kali hanya sekedar minta maaf.
Bagi saya pribadi hal itu tidaklah sepadan dengan
hancurnya nama baik dan harga diri. Penyebaran informasi tanpa keakuratan data
adalah sumber berita palsu dan hoax.
Berhatilah-hatilah dalam mengunggah sebuah informasi hai
warga internet.
Komentar
Posting Komentar