Waruga Dan Nilai Tubuh Manusia



Saya berkesempatan berkunjung ke kumpulan kubur batu masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara minggu lalu. Kubur batu yang berbentuk kotak oleh masyarakat lokal dinamakan Waruga.

Terletak di Cagar Budaya Waruga Komplek Waruga Air Madidi Bawah, Sulawesi Utara terdapat sebanyak 45 Waruga yang dirawat secara berkala dijadikan sebagai cagar budaya.

Waruga merupakan peti mati kubur batu yang digunakan untuk meletakkan mayat. Digunakan pada jaman batu (megalitik) abad 4 SM sampai 20 SM. Dalam kamus Tontemboan-Belanda.

Waruga berasal dari dua kata “Wale” yang berarti rumah dan “Ruga” yang berarti badan hancur. Waruga diartikan sebagai rumah untuk badan yang hancur. Satu Waruga bisa digunakan untuk mengubur satu orang.

Sebelum 1970-an, Waruga banyak ditemukan di lahan-lahan sekitar rumah panggung Suku Minahasa. Namun menyebarnya wabah kolera, pemerintah mengeluarkan kebijakan penguburan bagi yang mati ke dalam tanah. Akhirnya beberapa Waruga dikumpulkan di satu tempat, yang lain masih tersebar.

Menarik ketika mengamati satu-persatu Waruga yang ada di sana. Pada tutup maupun dindingnya terdapat ukiran sederhana yang melambangkan tentang siapa dan berapa orang yang dimakamkan di sana.

Simbol rumah diartikan sebagai kepala atau pembesar masyarakat. Kemudian gambar bayi diartikan bahwa yang dimakamkan di sana adalah bidan. Dan lain-lain.

Berbicara tentang Waruga, saya ingin berbicara tentang reruntuhan. Memang Waruga belum bisa masuk sebagai salah satu reruntuhan peninggalan kebudayaan manusia masa lampau.

Kamus Bahasa Indonesia mendefinisikan reruntuhan adalah sisa-sisa bangunan yang rusak atau puing-puing bangunan maupun infrastruktur masa lampau yang masih tersisa dan bisa dipakai ulang.

Saya tidak bisa memasukkan Waruga dalam definisi reruntuhan. Karena ini bukan benda sisa-sisa dari sebuah infrastruktur atau bangunan. Waruga berdiri sendiri sebagai sebuah hasil kebudayaan masyarakat yang sepenuhnya dikelilingi kebudayaan batu.

Tapi Waruga di mata saya memiliki nilai yang kurang lebih sama dengan reruntuhan. Manusia bisa belajar tentang masa lalu di sana.

Berkembangnya pengetahuan serta catatan tertulis menjadikan manusia adalah mahluk utama yang begitu tertarik dengan sejarah masa lalunya. Entah melalui peninggalan kebudayaan sosial, tulang-belulang, lukisan-artefak di berbagai tempat, dan pada akhirnya sebuah reruntuhan akan sebuah bangunan.

Dari sana manusia mencoba membedah tentang keberlangsungan kehidupan manusia di zaman itu. Mereka belajar tentang apa yang terjadi. Baik dan buruknya sebuah kejadian ditelaah secara mendalam dan dijadikan sebuah pegangan.

Dimanapun berada. Reruntuhan dan artefak peninggalan nenek moyang meninggalkan sebuah nilai. Nilai yang hanya bisa didapatkan dengan melihat secara mendalam dan menghubungkan dengan kondisi sekitar masa sekarang.

Belum tentu keduanya akan terhubung dengan benar. Namun pastinya ada benang merah yang menghubungkannya.

Reruntuhan berbicara soal masa yang berlalu Mereka memberikan peringatan sampai berlaku sampai akhir zaman, bahwa tubuh manusia suatu hari akan hancur, dan hidup adalah hal yang rapuh dan sementara.

Manusia lampau menciptakan benda yang bertahan lama lama untuk selamanya karena ingin mengingatkan kita akan sejarah mereka.
Reruntuhan membuat kita terhubung pada sejarah dan memori budaya.
Dengan keberadaannya, reruntuhan mengkritik ide-ide akan kemajuan kapitalis.
Reruntuhan membuat kita merenung dan memberi waktu hening di tengah kesibukan hidup kita.
Meski reruntuhan modern telah menjadi penampung spesifik akan ingatan yang traumatis dan mengerikan, reruntuhan masa lalu tetaplah menjadi tempat-tempat di mana waktu berhenti, dan tempat hadirnya hantu sejarah, di mana para seniman bisa menenggelamkan diri dalam mimpi.
Waruga mengingatkan saya akan kematian. Sekuat-kuatnya manusia, ibarat batu yang tidak akan terkikis, mereka pasti akan mati jua. Hanya nilai yang mereka ciptakan dalam sesuatu yang bertahan lama yang akan mengingatkan generasi selanjutnya.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak