Banyuwangi, 203 Tahun Lalu
Saat berselancar di dunia maya sore tadi. Sekilas saya
membaca berita tentang Gunung Tambora. Sebuah gunung yang tercatat sejarah
pernah menguncangkan dunia.
Coba cek : https://travel.tempo.co/read/1071905/peringati-letusan-gunung-tambora-pendaki-akan-bentangkan-bendera.
Intinya masyarakat di sekitar Gunung Tambora yang berada
di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat ini ingin memperingati 203 tahun letusan
hebat yang menghancurkan sejarah manusia di sana.
Mereka akan naik ke puncak gunung yang memiliki ketinggian
2.850 meter itu dan mengibarkan bendera raksasa berukuran 203 meter.
Saya tidak ingin mengulas panjang lebar tentang berita di
atas. Demikian juga tentang sejarah Tambora yang memiliki arti “ajakan untuk
menghilag’. Sebab sudah banyak buku yang membahasnya.
Bahkan, menyambut 200 tahun letusan maha hebat yang
disamakan dengan bencana Pompeii, Italia. Majalah National Geographic edisi
Indonesia pada Maret 2015 mengangkat laporan khusus tentang gunung yang meletus
10 April 1815.
Dalam laporan itu, NGI merangkum letusan dengan judul “Gelegar
Tambora; Dua Abad Petaka Gunung Api Terburuk Sepanjang Ingatan Manusia”.
NGI sedikit mengambarkan sebelum gunung meletus pada
malam hari itu hujan deras mendera. Bersamaan hujan, erupsi maha dashyat
terjadi. Hujan abu, pijar api kemerahan berterbangan dari dalam kawah, dalam
suasana gelap gulita, dan penuh kepanikan. Awan panas meluncur menerjang segala
hal yang ada di depannya.
12.000 jiwa melayang. Sebuah kebudayaan panjang terputus
di tengah jalan.
Banyuwangi, 203 tahun lalu.
Letusan maha dashyat Tambora menurut para ahli bisa
disamakan dengan letusan mega kolosal Krakatau. Selain menghancurkan kehidupan
dengan awan panasnya., debu yang dihamburkan mampu membuat langit gelap gulita
beberapa waktu. Tidak hanya Indonesia, namun sebagian sisi utara dan selatan
dunia.
Berjarak 702 Km dari Bima, Banyuwangi tentu saja tidak
bisa mengelak. Namun tidak banyak cerita yang bisa didapatkan tentang bagaimana
kondisinya sesaat setelah letusan.
Saya mendapatkan sekelumit cerita tentang Banyuwangi saat
Gunung Tambora meletus.
Dari ‘The History Of Java’ Thomas Stamford Rafles yang
pertama kali diterbitkan 1817. Saya sedikit mengulik kondisi Banyuwangi saat
itu.
Dari catatan kaki Bab I halaman 15 :
“Dari laporan yang saya terima, letusan Gunung Tambora
mengakibatkan Pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Celebes, dan Maluku mengalami
perubahan alam yang dasyat.
Di pulau Jawa, langit siang hari tertutupi oleh awan
panas, matahari tampak bersembunyi dari tatapan, karena tebalnya awan gelap. Hujan
abu terjadi dua tiga hari setelah letusan hingga ketebalannya mencapai beberapa
inchi. Baik di atap rumah, jalanan, ladang, dan persawahan. Banyak kerugian
yang muncul.
Letusan pada tanggal 10 itu, laporan dari Banyuwangi
menceritakan bagaimana letusan Tamboran terdengar seperti suara meriam. Getaran
yang ditimbulkan akibat letusan itu sangat terasa.
Hingga tanggal 12, kegelapan pekat masih menyelimuti
siang hari. Penduduk menyalakan lilin atau penerangan lainnya pada siang hari. Di
sini, ketebalan abu dari Tamboran adalah yang paling tebal di bandingkan daerah
lainnya.
Tercatat abu di jalanan mencapai ketebalan 8 cm.
Masyarakat Banyuwangi menyatakan letusan seperti itu
belum pernah terjadi sepanjang ingatan mereka. Saat suara letusan dan getaran
terasa, mereka mengira itu adalah suara dari Gunung Agung yang pernah meletus tujuh
tahun sebelumnya.
Banyuwangi adalah daerah yang mengalami kerusakan dan
kerugian paling parah. Hingga tanggal 14, masyarakat masih belum bisa
beraktivitas. Hujan abu tipis dan panas terik dari matahari menjadikan mereka
sulit bekerja.
Lahan pertanian rusak total. 126 kuda diketemukan mati.
86 sapi juga mengalami hal yang sama.
Tanggal 17 barulah hujan turun. Laporan menyebutkan
kerusakan yang lebih parah bisa dihindari dengan hadirnya hujan. Bersamaan
hujan yang berlangsung selama dua hari penuh, masyarakat membersihkan abu dari rumah,
jalanan, dan tanaman.
Saya sepenuhnya menaruh keprihatinan menerima laporan ini.
Soal kerugian yang dialami Banyuwangi, saat ini saya menunggu,”.
Saya pernah merasakan letusan Gunung Merapi 2012. Letusan
yang melontarkan abu ke seantero Yogyakarta. Saya pernah merasakan gelapnya
siang karena sinar matahari tidak mampu menembus ketebalan abunya.
Jadi saya bisa membayangkan Banyuwangi dari 10-17 April
1815.
Komentar
Posting Komentar