Jumali dan Gondrong Jawa


Namanya Jumali saja. Tidak ada tambahan. Kecuali jika dia menikah, nanti akan tambahan bin di belakangnya saat akad. Dia wartawan senior koran lokal bidang olahraga di Yogyakarta.

Pertama kali kenal pada 2008. Kami sempat satu kantor selama delapan tahun. Dia tidak banyak berubah. Selalu orsinilitas dalam pemikiran. Walau terkadang diremehkan, tetapi kepercayaan dirinya kuat.

Perubahan terbesar dalam hidupnya adalah pemasangan plat di tulangnya karena kecelakan di Bantul, sekarang sudah dicopot dan motornya saja. Soal wanita dia tidak banyak berubah. Selalu kandas.

Saya menyakini semua orang bisa mengenalinya dengan mudah. Hanya menyebut ciri-cirinya pasti ketemu.

“Pokoknya rambutnya gondrong dan cari di seluruh stadion Yogyakarta, pasti ketemu,” kata rekan-rekan wartawan saat ditanya bagaimana menemukan Jumali.

Saya tidak begitu yakin alasan Jumali berambut gondrong adalah mengikuti model. Rambut gondrong sekarang tidak banyak. Tetapi saya yakin kegondrongan rambutnya adalah menjaga idealis.

Dia asli Semarang.

Soal rambut gondrong, dulu saya hanya mengetahui bahwa itu produk budaya hippie yang muncul 1960-an sampai 1990-an. Semua orang di periode itu terserang gondrongnisasi. Tapi sesudahnya, menjelang millenium, hampir semua anak muda tidak menjadikan gondrong sebagai pilihan.

Banyak orang yang berpikiran pria berambut gondrong adalah sesorang yang tidak memperhatikan dirinya. Rambut terkesan awut-awutan tanpa sisiran. Tapi jika diperhatikan seksama mereka adalah orang memiliki kepedulian tinggi pada kebersihan.

Kebudayaan Jawa kuno pada dasarnya memberikan penghargaan tinggi kepada rambut gondrong. Pada masa lalu setiap pria Jawa pasti berambut gondrong. Tidak peduli Raja maupun rakyat jelata.

Di ‘Arus Baliknya’ Pramoedya Ananta Toer. Tokoh utamanya Senopati Wirang digambarkan di bagian akhir cerita harus merelakan memotong rambut panjangnya yang sudah dipelihara sepanjang usianya. Dia harus menyingkir ke Banyuwangi usai memenangkan pertarungan melawan pasukan Kerajaan Islam Demak di Tuban.

Meskipun menang, Wirang dengan keyakinan hatinya memiliki pergi ke pedalaman karena kondisi sosial budaya dan agama di pusat-pusat perekonomian maupun pemerintah usai Majapahit runtuh dikuasai Islam.

‘Bagi Wirang, rambut panjangnya adalah mahkota sekaligus kehormatan seorang pria Jawa. Dengan memotongnya, Wirang memutuskan hubungan dengan dunia lamannya. Dia menempuh dunia baru dengan melupakan masa lalu. Potongan rambutnya, terakhir kali mendapatkan kehormatan dengan upacara kecil sebelum ditanam di bawah pohon,”.

Saya mencoba mencari titik temu, apakah Jumali dengan rambut gondrongnya adalah soal kepercayaan dia sebagai pria Jawa atau hanya pelarian dari rasa frutasi belum mendapatkan jodoh. Entah rambut gondrongnya sebagai mahkota dan kehormatan. Saya belum mendapatkan jawaban.

Dalam ‘The History Of Java’, Thomas S Raffles menceritakan bahwa saat dirinya bertugas sebagai Gubernur Hindia, pria dan wanita Jawa tidak pernah memotong rambutnya. Mereka membiarkan panjang.

Kegondrongan rambut orang Jawa dinilai berbeda dengan kebudayaan orang Bugis atau Melayu yang memotong pendek rambut mereka.

Kaum laki-laki Jawa, terutama dalam upacara tertentu, biasanya melingkarkan rambut mereka di sekeliling kepala, dan menjepitnya dengan sisir sirkam di depan.

Namun di kalangan pembesar, membiarkan rambutnya terurai di hadapan pemimpin mereka adalah sebuah kehormatan yang layak ditukar dengan kematian.

Para Pangeran dan penguasa daerah dalam kesehariannya mengikat rambut gondrongnya di leher atau membiarkan terurai mengikal sampai punggung.

Sama seperti wanita, pria Jawa diharuskan merawat rambutnya agar tetap bersih dan wangi. Biasanya jenis minyak yang digunakan dalam perawatan rambut seperti minyak cendana (lang’a chadana), lang’a kanang’a, lang’a garu, lang’a gandapura, dan lang’a jeru.

Saya membayangkan jika ciri hidup tidak tersingkir karena kepentingan agama, maka pria Jawa adalah pria yang paling gagah dan terbersih di dunia. Meskipun tingginya kurang, tapi dengan kulit sawo matang, menjadi daya tarik.

Itu belum lagi jika memiliki tujuh sifat yang mengambarkan keindahan dan kesempurnaan lelaki Jawa. Pria Jawa boleh mengaku merupakan keturunan orang terhormat bila dia sudah memenuhi tujuh sifat kelakian.

“Pertama, dia adalah keturunan yang baik. Kedua, dia harus pintar, ketiga bisa mengendalikan dirinya, keempat menguasai sastra, kelima memiliki pandangan yang luas, keenam tekuh beribadah, dan terakhir adalah bisa memanfaatkan kelebihannya tanpa ragu-ragu. Itulah ketujuh hal yang tidak boleh ditinggalkan pria Jawa sejati”.

Baiklah, mungkin saya ataupun kawan saya Jumali tidak bisa memenuhi semua kriteria untuk menjadi lelaki Jawa yang sempurna. Tetapi kami setidaknya masih memiliki rasa tanggung jawab, terutama saat harus menyelesaikan tagihan.

Sebagai lelaki Jawa, Jumali mungkin memilih mengondrongkan rambutnya. Saya sebagai lelaki Jawa memilih mengundulkan rambut atau setidaknya membiarkan rambut tumbuh sedikit. Sebab jika saya gondrong, muka saya terlihat bodoh.

Percayalah, saya pernah gondrong dan terlihat lucu.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak