Menyenangkan. Menggembirakan. Menyakitkan


“Kamu rasanya harus pulang ke rumah, ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Kami membutuhkan bantuanmu. Entah pemikiran, entah tenaga. Kami percaya kamu bisa?” tulisnya.

Pesan p itu masuk lewat fan pageku. Pesan dari kawan lama yang sekarang bergerak di aktivis pedesaan. Teman masa kecil yang menghabiskan kehidupan remajanya pada kesenian.

Sampai sekarang saya belum berani membalasnya.

Pertemuan terakhir pada akhir tahun lalu. Kami berbicara sebentar tentang kehidupan masing-masing. Dia tahu saya adalah penulis lepas yang membutuhkan uang dengan menjual hasil pemikiran yang diketikan.

Anaknya sekarang tiga. Dia menikah muda.

“Buat apa lama-lama menikah jika kita merasa sudah cocok dengan wanita yang dekat selama ini. Istriku sangat mencintai aku dibandingkan aku mencintai dia. Aku beruntung mendapatkanya,” jelasnya sambil menghidupkan rokok.

Dia tidak banyak berubah. Lebih banyak diam dibandingkan bicara. Tapi sekali bicara masalah seriuspun akan diladeni. Dia orangnya selalu ingin belajar.

Belasan tahun lalu, kami sempat ngobrol panjang. Dia menyatakan tidak melanjutkan kuliah di Kota Tembakau karena ingin sepenuhnya terjun di musik. Dia pemain bass.

Merintis dari band amatiran. Perlahan-lahan namanya mencuat. Dia dikenal dengan permainan apiknya. Saya percaya. Karena dia adalah pekerja keras dan tidak mau menyerah.

“Kuliah dua tahun di manajemen saya pikir sudah menjadi modal utama mengarungi kehidupan ini. Kamu tahu, tantangan kehidupan manusia itu sepanjang sejarah selalu sama. Tinggal bagaimana mengatasinya,” katanya mantap.

Aku memilih musik sebagai pelarianku karena aku yakin aku bisa besar di sana, katanya. Sama seperti kamu, yang berani merantau ke Ibukota provinsi untuk melanjutkan kuliah. Meskipun untuk meraih itu pengorbanan yang kau lakukan lebih dari setiap anak kuliah yang aku kenal.

Aku selalu yakin kamu mampu meraih apa yang sudah kami niatkan. Kamu keras kepala seperti aku. Cerewetnya. Begitulah pria, harus punya ketegasan dan kekeras kepalaan untuk melawan tantangan. Itu adalah harga diri kita.

Tapi yang selalu aku pertanyakan selama ini, kenapa kau memilih menulis? Kau seharusnya meneruskan usaha orang tuamu dan kembali ke sini untuk kembali membangun desa ini. Pertanyaan itu ditanyakan suatu hari saat dia main ke rumah.

Dia cukup dekat dengan keluargaku. Orang tua dan saudaraku mengenal dia dengan baik. Dia adalah saudara yang harus dijaga.

Mengingatnya. Kembali lagi dengan pengalaman gila yang hampir membuat mati di saat anak-anak. Kejadian itu masih membuatku trauma. Bahkan ketakutanku akan ketinggian aku anggap berawal dari sini.

Kami tertantang dengan geng main lainnya. Membuktikan siapa yang berani terjun dari jembatan gantung yang berketinggian hampir 30 meter dari permukaan air. Telanjang bulat adalah syarat utamanya.

Dia pertama terjun. Selamat. Disusul lawan. Selamat. Giliranku. Melihat kebawah rasanya seperti melihat neraka. Air coklat di bawah seperti penuh dengan buaya yang siap menyantap ketika aku sampai bawah.

Ah peduli amat. Mereka selamat saya juga seharusnya selamat.

Tutup mata langsung terjun bebas. Jatuh dari ketinggian sensasinya seperti menjalani waktu yang begitu lambat. Semua suara terdengar dengan jelas. Lama sekali menyentuh air.

Benturan keras dengan air terjadi. Ibarat penantian hujan saat kemarau tahunan. Menyenangkan. Menggembirakan. Menyakitkan.

Sakit pada pangkal paha rasanya lama sekali hilang hingga memakai baju yang kami letakkan di pinggir jembatan. Sakit sekali. Seperti dipukul dengan gondam sekeras-kerasnya. Sempat terpikir apakah saya tidak ereksi, saat itu.

Pengalaman yang tidak menyenangkan. Dan saya bersumpah tidak akan mengulangi lagi.

“Kau lebih banyak menulis tentang kota lain. Cobalah sesekali menulis kota kita. Mulailah menulis tentang pengalaman masa kecilmu di sana. Kemudian lanjutkan dengan perkembangan kota sekarang,” tulisnya lagi pada minggu lalu.

Ah. Biasanya saya dengan mudah dan cepat membalas pesan yang dikirimkan saudara. Tapi ini rasanya seperti menulis pada batu keras yang tidak akan pernah tergores sedikitpun.

Saya tidak memiliki trauma dengan kota kecil itu. Saya menyenanginya. Saya mencintainya. Saya merindukannya. Tapi jujur saya tidak bisa kembali.

Di sini saya punya kehidupan. Saya memiliki orang yang mencintai saya lebih dari saya mencintainya. Keluarga saya membutuhkan saya. Tidak hanya itu. Saya memiliki urusan tentang rumah yang sejak lima tahun ini belum selesai.

Sebagai balasan, saya tuliskan.

“Begini saja. Kamu berikan aku data apa saja dan gambar. Aku olah menjadi tulisan dari sini. Mungkin itu bisa membantumu,” tulisku.

“Terima kasih, akan aku coba. Aku masih sibuk mengurusi salah satu kontestan pilgub tahun ini. Aku tim lapangannya. Bayarannya lumayan. Cukup untuk lima tahun ke depan, jika sukses,” jawabnya.

“Tapi aku berharap engkau kembali ke sini. Sampai kapanpun kota ini membutuhkanmu. Memang kau bukan siapa-siapa saat ini. Tapi suatu hari nanti namamu akan besar. Aku yakin itu akan menjadikan kota ini lebih terkenal,” lanjutnya menulis.

“Aku belum bisa berjanji sekarang. Mainlah ke rumah, sapa bapak emakku. Mereka selalu tanya kabarmu. Jangan lagi menghilang,” sambungku.

Aku masih ingin menulis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak