‘Tens TSR-810’
Televisi itu sudah tiga tahun ini berada di antara ruang
tamu dan meja makan rumah mungilku. Televisi itu pemberian saudara yang ada di
ibukota.
“Aku bawakan televisi yang lebih besar sebagai ganti
televisi kecilmu itu. Biar kau leluasa menonton televisi. Aku sudah punya yang
baru, mending kamu pakai daripada aku buang,” katanya empat tahun lalu ketika
pertama kali menginap di rumah kecilku ini.
Jangan tanya type atau inc berapa televisi itu? Yang jelas
bukan seperti televisi lamaku yang hanya 14`. Entah 17`, 21` atau malah 24` aku
tidak memikirkannya. Yang penting barang itu aku jaga agar tetap menyala.
Sayangnya sejak anak gadisku mulai sekolah. Aku dan
istriku memutuskan mematikan televisi. Alias tidak menghidupkan sama sekali dan
putus kontak dengan siaran apapun. Nasional maupun internasional.
Kami beralasan semua acara yang ditayangkan televisi sama
sekali tidak mendidik. Entah acara anak-anak, dewasa, maupun pemberitaan. Kami
tidak mau anak kami menghabiskan waktunya di depan televisi.
Melihat kotak bercahaya yang menghasilkan kemalasan.
Walau tiga tahun ini sudah tidak menonton acara televisi,
bahkan sepakbola. Kami masih yakin tidak banyak perubahan yang dilakukan
pengelola televisi.
Dari Upin-Ipin hingga sekarang belum lulus TK Tadika
Mesra, padahal sudah lima tahun lebih siaran. Lalu Spongebob dan Naruto yang diulang-ulang
dari awal hingga akhir kembali. Seperti sebuah siklus.
Belum lagi sinetron yang ceritanya tidak masuk akal. Bahkan
dengan dunia nyata lingkungan penontonnya, ceritanya sama sekali tidak
berhubungan.
Yang paling membencikan, setiap Natal dan Tahun Baru. Selalu
diputar film ‘Home Alone’ dari seri pertama sampai seri ketiga. Padahal bintangnya
sudah tidak terkenal lagi dan menanjak tua.
Kan ya menjijinkan!!!
Soal berita, saya dan istri sepakat membeli media cetak saja.
Meski hanya seminggu sekali. Tapi lumayan ada rangkuman berita besar media
cetak langganan kami.
Kami tidak membutuhkan berita yang memburu kecepatan. Kami
membutuhkan keakuratan dan kebenaran fakta yang disajikan. Kami membutuhkan
berita yang mampu memberikan sudut pandang baru dalam menjalani kehidupan.
Saya juga masih memiliki radio analog merek ‘Tens’.
Ini barang yang pertama kali saya beli dari gaji pertama hidup
di Yogyakarta. Sudah 10 tahun menemani saya. Sempat satu kali servis, namun kondisi
keseluruhan masih berfungsi baik.
Radio lebih banyak untuk mendengarkan musik sebagai
hiburan. Jarang saya jadikan media referensi berita. Saya pikir ‘hiburan’ adalah
satu-satunya alasan radio masih bertahan sampai sekarang.
Terus terang, saya begitu tergila-gila dengan media
elektronik pertama yang diciptakan peradaban manusia.
Sejak masih jaman memakai baterai, bertahan tiga-empat
hari, waktu kecil. Kemudian berpindah ke radio mobil yang dimodifikasi dengan
tenaga aki dan mendapatkan tambahan antena FM.
Dulu radio dengan tambahan antena itu keren.
Hasilsnya. Siaran radio Denpasar, Bali bisa didengarkan
dari tempat tinggalku yang berjarak enam jam berjalanan. Stasiun Radio Jember
juga menjadi favorit, sebab lagu-lagunya terbarukan. Semua referensi tentang
musik sepenuhnya saya dapatkan dari radio.
Masa kuliah, radio tetap menjadi satu-satunya hiburan di
kamar kost. Jika liburan dan tak ada acara, bisa dipastikan radio akan hidup
dari bangun tidur sampai tidur lagi. HardRock FM adalah stasiun favorit saat
itu.
Di setiap kota yang saya singgahi. saya selalu mencari
radio guna sekedar mencari hiburan. Tidak hanya lagu baru, lagu lama masih
diputar.
Kelebih radio bisa dinikmati sambil berkegiatan yang
lain. Beda dengan televisi maupun media cetak. Atau bahkan dunia maya. Semua membutuhkan
kefokuskan.
Menjadi media yang pernah mengembarkan dunia, karena mengabarkan
peristiwa penting melalui suara ke berbagai wilayah. Posisi radio dalam palung
komunikasi menempati posisi yang paling bawah.
Digambarkan dengan piramida terbalik, posisi paling atas dikuasai
televisi dan internet. Dua media ini mampu menjangkau semua lapisan dan lengkanya
pesan yang disampaikan baik berupa gambar, foto, dan tulisan.
Kemudian media cetak, entah koran, tabloid, atau majalah
di tingkat bawahnya. Koran menyasar segmen umum, tabloid semi umum, majalah
sangat-sangat spesialis dari sisi pembacanya. Tapi ketiganya hanya bisa
menyampaikan pesan tulisan dan foto saja.
Radio berada di bagian paling bawah. Hanya menyampaikan
pesan lewat suara saja. Tidak bisa terdokumentasikan. Berlalu dengan cepat. Sejak
awal kehadirannya hanya sebagai media hiburan.
Namun karena sangat terbatas dari sisi audiensnya,
segmentasi, maupun wilayahnya. Radio memiliki keunggulan dibandingkan media
lainnya. Proximity (kedekatan) dengan audiens adalah unggulannya. Komunikasi
antara pendengar dan penyiar bahkan bersifat pribadi. Ini yang tidak dimiliki
media lainnya.
Kehidupan saya tanpa televisi, yang sesekali saya
hidupkan ketika ingin menonton film dari rental’an, dan radio semua berjalan
baik-baik saja.
Anak saya sudah terbiasa tanpa televisi, tapi berpindah
ke www.youtube.com. Ini lebih mudah, karena bisa kami batasi waktu dan
kontennya. Dia berani memberikan kritik kepada teman sebayanya yang lebih
banyak berdiam diri di rumah menonton sinetron.
Tanpa televisi dia menjadi lebih aktif. Tanpa televisi
kami memiliki banyak waktu mendidiknya. Dia lebih kreatif. Kami membebaskannya
berberkreasi sepenuh hati. Salah satunya mencoret dan menempel berbagai
kerajinan di tembok.
Jadi hiasan rumah kami adalah hasil karya anak gadisku.
Terakhir, saya menulis ini sambil mendengarkan radio. Salah
satu stasiunnya menyiarkan siaran ulang wayang. Ini mengingatkan saya akan ‘Misteri
Gunung Merapi’ dengan Grandongnya.
Saya benar-benar ketakutan.
Komentar
Posting Komentar