Untuk Kawan, Yang Tempuh Bantul-Siluk Dalam 8 Jam
Apa kabar kawan. Terus
teras surat balasan untuk Senopati_Wirang@gmail.com
masih dalam proses penulisan. Sampai sekarang tertunda karena ada bencana alam
menimpa DI Yogyakarta dan saya harus turun ke lapangan untuk mencari nafkah.
Bukannya menganggap
bencana adalah berkah bagi saya. Namun berita adalah mata pencaharian saya
untuk menghidupi keluarga tercinta.
Siklon tropis Cempaka
melanda DI Yogyakarta sejak Senin (27/11) sampai Rabu (29/11) dini hari tanpa
henti. Hampir 36 jam hujan deras menguyur semua wilayah DI Yogyakarta, tanpa
terkecuali.
Badan Penanganan Bencana
Daerah (BPBD) DI Yogyakarta mencatat terjadi pohon tumbang akibat angin kencang
di 149 titik, longsor di 151 titik, dan banjir di 135 titik. Daerah terdampak
parah adalah Bantul yang sudah menetapkan status tanggap darurat dari 29
November sampai 12 Desember.
Selain memutuskan tujuh
jembatan di Bantul dan satu di Gunungkidul, dampak badai cempaka menelan
delapan korban jiwa dimana dua korban adalah anak-anak di wilayah Kota
Yogyakarta. Soal kerugian, triliuan adalah angka yang tepat sementara ini untuk
mengambarkan kondisi di lapangan.
Soal kisah dari korban
bencana saya pikir semua sama saja. Kesedihan dan ketidakrelaan awalnya, namun
semua berakhir ketika semua kerabat dan sahabat memberikan dukungan.
Sebuah cerita yang tidak
akan pernah saya lupakan dari kejadian ini adalah satu kisah perjuangan salah
satu rekan wartawan yang menempuh perjalanan delapan jam penuh tanpa henti
untuk menemui anak dan istrinya.
Delapan jam hanya dari
Kota Bantul sampai Lanteng, Sriharjo, Imogiri. Dua kecamatan di satu kabupaten
yang biasanya hanya 30 menit saja waktu tempuhnya. Namun di hari H (Selasa) itu,
ketika hujan tidak ada hentinya sepanjang hari, kawan yang berprofesi sebagai
jurnalis televisi harus menempuh delapan jam penuh di tengah guyuran hujan
deras.
“Aku belum tidur dua hari
ini cak, di Selasa itu aku harus menempuh jalan memutar yang dalam hidupku
adalah jalan terjauh yang pernah aku tempuh,” jawabnya ketika aku bertanya
kenapa wajahnya terlihat layu.
Dia mulai bercerita, usai
mengirimkan berita ke kantornya lewat Kantor Bupati Bantul. Ketika jam 14.00
WIB dia mendengar kabar dari istrinya bahwa rumahnya mulai kemasukkan air
akibat luapan Sungai Oya, dia bergegas meluncur pulang lewat Kecamatan Pundong
agar lebih cepat sampai rumah.
Jalur ini dipilihnya
karena Jembatan Siluk sudah terendam air hingga ketinggian dua meter dari aspal
jalan. Padahal biasanya tinggi jembatan dengan permukaan air mencapai 50 meter
lebih.
Tapi sesampainya di jembatan
Soka, dia kehilangan jalan karena jembatan hilang tersapu derasnya sungai Opak.
Satunya-satunya jalan terdekat adalah lewat Jembatan Kretek yang searah dengan
Pantai Parangtritis, tapi di tengah jalan dia mendapatkan hal yang sama,
dilarang lewat karena jalan Kretek-Siluk sudah terendam air dengan ketinggian
yang sama dengan jembatan Siluk.
“Saya tidak berani lewat
jalur selatan untuk ke arah Panggang, Gunungkidul karena kondisi perbukitan
yang rawan longsor saat hujan. Akhirnya pilihan terakhir adalah melalui lewat
Sambipitu untuk bisa melintasi Jembatan Bunder, Pathuk,” ujarnya.
Dengan ketetapan hati,
dari Kretek dia menyusuri jalan Parangtritis ke arah utara kemudian menyusuri
ring roand selatan dan masuk ke jalan Wonosari. Sayangnya harapan satu-satunya
di Jembatan Bunder harus pupus karena jembatan juga ditutup aksesnya karena
ketinggian air yang membahayakan.
Dia balik arah, ambil
jurusan ke Ndlingo. Dari sanalah perjalanan panjang itu dimulai. Usai jembatan Dodogan,
teman saya ini menyusuri ke selatan melintasi Kecamatan Playen, Kecamatan Paliyan,
Kecamatan Saptosari. Dari sini dia ke arah barat menuju Panggang dan kembali
menempuh arah utara ke jurusan Selopamioro, Imogiri.
“Saya sampai rumah pukul
22.00 WIB. Saya tidak memikirkan kelelahan dan kedinginan di tengah derasnya
guyuran hujan sepanjang jalan. Saya kepikiran keselamatan istri dan dua buah
hati tercinta,” katanya. Saya tidak berani tertawa seperti biasanya.
Saya mencoba memberanikan
diri. Kenapa waktu tempuhnya lama sekali dibandingkan biasanya.
Teman saya menjelaskan
selama perjalanan, motornya macet kemasukkan air sampai tujuh (7) kali, menuntun motor di genangan air tinggi sampai lima (5) kali, dan mengisi bahan bakar
sebanyak dua (2) kali.
Selama perjalanan itu,
dia tidak makan sama sekali.
Delapan perjalanan dengan
motor, bagi saya seperti DI Yogyakarta ke Surabaya. Melintasi banyak kabupaten
di dua provinsi.
Sedangkan teman saya,
untuk bisa pergi ke dua kecamatan di satu kabupaten. Dia harus melewati dua
kabupaten dengan jarak tempuh yang sangat panjang. Dan baginya inilah
pengalaman yang tak ternilai.
“Istri dan anak saya
ketika saya sampai sudah berada di barak pengungsian. Mereka selamat. Meskipun
buah hati saya harus tidur di atas tikar dengan baju basah. Tapi perjalanan ini
setimpal dengan melihat senyum mereka di pagi harinya,” pungkasnya.
Cerita ini seperti mengalir
dengan cepat ke ulu hati saya. Saya tidak mengalaminya tapi apa yang tindakannya
sebagai seorang ayah sangat membanggakan.
Dimana saya saat itu
ketika hujan turun seharian penuh. Saya dapat undangan rafting.
Tapi saya kebangunan
kesiangan karena dibangunkan hujan. Saya memutuskan tidak keluar hingga hujan
reda. Tapi Cempaka berkata lain, dia mencurahkan hujan sepanjang hari hingga
malam.Bersama istri dan anak, saya mendekam di rumah. Ketika listrik padam
semalam suntuk, saya merasa bahagia bisa menemani mereka di tengah gelap malam.
Tapi itu semua tidak ada
artinya dibandingkan dengan perjuangan teman saya. Sebagai bapak, saya akan
melakukan hal yang sama.
Teman saya tidak meminta
bantuan. Dia hanya meminta doa agar dirinya berserta keluarga tercinta terus
diberi keselamatan, panjang umur, dan kesehatan.
“Rejeki bisa dicari kapan
saja asalkan kita mau berusaha. Tapi keluarga adalah hal terpenting dalam hidup.
Anaka-anak adalah anugrah Tuhan yang harus terus kita jaga keselamatannya.
Nyawa ini tiada artinya, bila mereka bisa bahagia,” kutip saya.
Caption Foto :
1. Kondisi Dusun Lanteng, Selopamioro, Imogiri saat Selasa siang dimana air luapan sungai Oya masuk ke dalam rumah dengan ketinggian 50 cm.
2. Proses pembukaan jalur utama yang menuju Dusun Wunut, Sriharjo, Imogiri pada Kamis (30/11). Hujan deras melongsorkan batu sebesar truk diesel dan menempatkan ke tengah jalan. Jalur sampai tulisan ini dilaporkan hanya bisa dilalui sepeda motor.
3. Kondisi salah satu jembatan gantung di Kecamatan Pundong yang hilang diterjang banjir besar Sungai Opak Selasa. Di Pundong tercatat tiga jembatan gantung hilang tak berbekas.
Komentar
Posting Komentar