Saya Ingin Bicara Tentang Sin Tax
Saya pertama kali mendengar sin tax atau bisa diartikan
sebagai ‘pajak dosa’ saat mewawancarai Direktur Utama BPJS Fahmi Idris seusai
pembukaan Pekan Olahraga (Porda) Korps Pegawai Negeri (Kopri) di Amongrogo
beberapa minggu lalu.
Cukup menarik dalam sudut pandang BPJS sebagai badan
penyelenggaran jaminan nasional khususnya kesehatan perihal sin tax ini. Dalam
kondisi selalu defisit sejak 2014 silam, BPJS selalu mengalami defisit besar
hingga terakhir pada 2016 mencapai Rp9,7 triliun.
Fahmi dalam wawancara tersebut menyatakan bahwa kondisi
defisit ini disebabkan rendahnya tingkat iuran dari peserta, dalam kondisi ini
sebagai pemasukan. Dibandingkan dengan pembayaran klaim pelayanan fasilitas
kesehatan bagi peserta yang mencapai 183 juta peserta dengan 1.200 golongan penyakit
yang ditangani.
Selama tiga tahun terakhir, setiap akhir tahun, BPJS
selalu memberikan tiga opsi pilihan kepada pemerintah sebagai penanggung jawab
dana untuk mengatasi defisit ini. Pertama, peningkatan iuran peserta. Kedua pengurangan
manfaat fasilitas kesehatan. Dan ketiga adalah penambahan anggaran dari kantong
pemerintah.
Dan anehnya, setiap awal tahun pemerintah selalu memilih
opsi ketiga sebagai pilihan utama untuk keberlanjutan program kesehatan ini. Alhasil,
selama tiga tahun terakhir pemerintah mengeluarkan dana jika dikalkukasikan
total mencapai Rp18,7 triliun.
Angka yang sangat besar untuk memberikan jaminan
kesehatan bagi masyarakat. Angka yang kecil bila dihubungkan dengan kebijakan
pemerintah dilihat dari kacamata politik perebutan kekuasaan.
Fahmi melihat, sebenarnya ada sebuah solusi yang tepat
agar pendanaan jaminan kesehatan ini tidak menganggu anggaran pusat pemerintah dan
kemungkinan besar bisa digunakan untuk hal bermanfaat lainnya. Seperti peningkatan
pendidikan.
Yaitu penggunaan dana yang berasal dari pajak dosa
sebagai modal untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara
murah.
Dalam teori perpajakan, pajak dosa diartikan sebagai
pengenaan pajak konsumsi oleh pemerintah terhadap barang-barang tertentu yang
diperuntukan untuk mengurangi pemakaian barang tersebut sebab akan membuat pemakaian
barang itu menghambat dampak negatif di masyarakat dan lingkungan. Contohnya adalah
pajak bea cukai rokok dan minuman beralkohol.
Pajak dosa ini sebenarnya dikenakan bukan sebagai salah
satu pemasukkan bagi pemerintah. Namun lebih banyak bertujuan mengurangi
konsumsi masyarakat pada barang-barang konsumsi yang cenderung membahayakan kesehatan.
Tapi dalam praktiknya. Pajak dosa ini di banyak negara
berkembang, terutama Indonesia, lebih banyak dianggaran sebagai pendapatan
negara. Sebab dengan kondisi semi darurat perpajakan, dimana pemasukkan pajak
lebih kecil dibandingkan jumlah wajib pajaknya, maka kondisi ini lumrah saja.
Kenaikan pajak rokok, yang hampir terjadi dalam kurun
waktu singkat, selain mengurangi jumlah perokok juga bertujuan agar generasi
muda penerus bangsa lebih sehat sehingga mampu bersaing dengan negara maju.
Tentu saja, peningkatan pajak dosa ini akan ditentang
oleh produsen rokok maupun minuman keras dengan alasan banyak masyarakat yang
masih mengandalkan pendapatan dari industri itu. Dan saya tidak memungkiri itu.
Di Indonesia, penerimaan pajak cukai rokok setiap
tahunnya selalu meningkat. Data pada 2007 menyatakan bahwa penerimaan negara
dari cukai rokok mencapai Rp43,5 triliun dan meningkat hampir tiga kali lipat
dalam kurun waktu enam tahun menjadi Rp103,6 triliun di 2013.
Pada 2012, pemerintah melalui Peraturan
Menteri Keuangan nomor 179/PMK.011/2012 tentang tarif cukai tembakau, menaikan tarif
cukai rata-rata sebesar 16.3persen. Nyatanya dengan kenaikan cukai rokok ini
ternyata tidak menurunkan jumlah produksi rokok yang meningkat hingga 8 persen
dan memberikan pemasukkan hingga 24 persen dari tahun sebelumnya. Sehingga pada
tahun yang sama, dari penarikan pajak rokok sendiri mendapatkan porsi 16 persen
dari seluruh pendapatan negara.
Ansumsi yang kita gunakan saat ini. Jika tidak
memang hingga sekarang tidak terjadi kenaikan pajak rokok dari 2012 hingga
sekarang dan dibandingkan dengan produksi rokok yang terus naik rata-rata 8
persen per tahun, maka penerimaan negara dari barang konsumsi ini mencapai
Rp55,3 triliun per tahun.
Angka fantastis dan saya kira cukup memberikan
jaminan kesehatan sepenuhnya kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa ada
diskriminasi pelayanan.
Namun apakah ini menjadi solusi yang cerdas,
dengan mengalihkan pajak dosa ke pelayanan kesehatan. Saya kira tidak. Entah kalau
anda.
Saya tidak mendengar sendiri tentang faktor
utama terjadinya defisit yang dialami BPJS setiap tahunnya. Tapi dari berita
yang saya terima dari seorang rekan, Kepala BPJS Kesehatan DI Yogyakarta Dwi Hesti Yuniarti menyatakan
alasan terjadinya defisit adalah besarnya tunggakan yang tidak dibayarkan oleh
peserta terutama dari golongan mandiri.
Dwi melihat, faktor kemalasan peserta membayar iuran
wajib bulanan ini disebabkan karakteristik manusia yang ingin enaknnya sendiri.
Mereka ingin mendapatkan pelayanan yang cepat dan maksimal dengan harga yang
semurah mungkin bahkan gratis. Di Indonesia, masih banyak yang tidak peduli
akan iuran kesehatan ini yang merupakan asuransi bagi dirinya dan keluarganya.
Jadi, marilah kita mulai dari diri sendiri. Bahwa apa
yang akan kita dapatkan adalah apa yang kita tanam. Demikian juga dengan
pelayanan kesehatan. Jika memang ingin mendapatkan pelayanan yang maksimal maka
sebaiknya pembayaran iuran kesehatan juga rutin setiap bulan.
Jika memang tidak mampu memilih kelas pertama yang
besarnya mencapai Rp80.000,- per bulan per orang. Maka pilihan kelas III adalah
solusi terbaik dengan iuran hanya Rp25.000,- per bulan per orang.
Di negara maju yang orang-orangnya bahagia seperti
Kostarika, Denmark, dan Singapura pajak kepada setiap individu dikenakan dengan
angka tinggi yang terkadang membuat kita terheran-heran. Namun, dengan pajak
tinggi itu negara mampu memberikan pelayanan kesehatan maupun pendidikan
terbaik bagi generasinya.
Komentar
Posting Komentar