Setelah Delapan Tahun Itu
Pertama kali
mendengar kata Mbantul adalah dari almarhum salah satu guru saya di NusaBali.
“Jadi kamu dari Banyuwangi. Aku wong Mbantul,” katanya kala itu.
Saya agak
mengeryitkan alis karena memang tidak tahu di mana Mbantul itu tepatnya. Saya
memberanikan diri bertanya dengan ragu-ragu dan saya memastikan sebelum beliau
menjawab pasti akan dimulai dengan tawa keras mengejek ketidaktahuanku. Saya
siap untuk itu.
Dan saya takutkan
benar terjadi. Beliau tertawa keras sambil mengatakan kemana saja mainku selama
hidup 25 tahun lebih. Saya hanya terdiam, karena memang tidak tahu.
“Kamu pernah ke
Jogja,” tanyanya.
“Pernah, dua kali.
Sekali hanya semalam saja besoknya harus ikut kereta ke timur agar tidak bayar.
Dan kedua kalinya ikut rombongan kantor saat nikahan seorang teman. Itupun
hanya tahu Malioboro dan alun-alun,” kataku jujur.
Beliau masih
tertawa, melihat ketololanku dan berjalan mencari kertas. Saat kembali, beliau
meminjam pulpenku dan mulai mengambar sebuah peta kasar.
“Ini Jogja. Ingat
ini Jogja, tepatnya ujung Malioboro yang katamu kau kenal baik atau biasa kami
sebut Titik Nol. Tepatnya di depan alun-alun utara persis depan Keraton Sri
Sultan Hamengku Buwono. Itupun jika kau tahu. Dasar pemabuk cupu,” jelasnya
sambil terus menahan tawa.
Dia lantas
melanjutkan. Dari Titik Nol itu kemudian dia menarik garis ke arah selatan
lurus tanpa putus dan kemudian berbelok ke barat.
“Kamu pasti tahu
Goa Selarong. Goblok kebangetan jika tidak tahu situs bersejarah itu. Dari goa
itu, rumahku hanya selemparan batu dan itu masuk kabupaten Bantul. Cah Bantul biasa
menyebutnya Mbantul,” kata beliau.
Kata Mbantul terus
tergiang di kepalaku, membayangkan bagaimana kondisi lingkungan dan
orang-orangnya hingga bisa membentuk beliau yang berjiwa rock n roll, suka
minum, tapi cergas dalam menelisik sebuah peristiwa menjadi sebuah berita
besar.
“Kapan-kapan kita
main ke Mbantul yo arek Banyuwangi. Kowe tak jak neng Parangtritis ae ben iso
renang sak kayangmu,” umpatnya.
Kami memang tidak
pernah pergi bersama ke Mbantul. Saya harus keluar dari ruang kerja lebih awal dan
agak lama kemudian pindah ke DI Yogyakarta. Masih di bidang pekerjaan yang
sama.
Dua tahun setelah
saya menetap. Beliau berkunjung. Amin saya masih sempat mengajak beliau menjelajah
sudut Mbantul yang belum berkembang saat dia pergi merantau. Saya bangga dan
puas.
Beliau telah tiada
dan makamnya di Pulau Dewata. Saya tidak sempat mengajak dia merasakan malam di
sisi selatan Bantul. Beliau selalu antusias ketika di telepon saya menceritakan
tentang malam di selatan.
Perkenalan dengan
Bumi Projotamansari yang kedua karena kenekatan. Empat bulan lamanya saya hanya
mengenal seluk beluk Kota Yogyakarta dan tidak pernah ke tempat lainnya.
Mungkin saya kurang bergaul apa karena memang rekan-rekan enggan mengajak saya
main jauh.
Itu tidak masalah
karena saya sudah terbiasa.
Diajak wartawan
senior koran nasional terkenal, kami meluncur ke arah Polsek Sanden untuk
mendapatkan data narapidana yang berhasil kabur. Tidak ada pikiran saya berani melangkah
sejauh itu. Dan tidak ada dalam pikiran saya bahwa Polsek Sanden bukan wilayah
tugas saya.
Kenekatan saya
adalah karena ingin menemani senior mencari data dan sekalian jalan-jalan
karena memang sepi berita.
Perempatan Ring
Roand Selatan kami lewati, masih penuh kanan kiri dengan toko dan pemukiman
penduduk. Hampir 20 menit kemudian barulah saya membelalakan mata. Dari lampu
merah di perempatan masjid besar, saya disambut pohon rindang di kanan kiri
jalan.
Teduh, sejuk, dan
nyaman melintasi aspal di bawahnya. Seperti melewati sebuah hutan kecil yang
dipertahankan dan sebagian areanya digunakan untuk jalan. Harmonisasi yang
aduhai.
Belum pernah saya
menemui kota yang rindang seperti ini.
Gimana mau menemui
kota seperti ini. Wong saya mainnya cuma ke Jombang, Mojokerto, dan Mojoagung
yang paling jauh. Surabaya hanya saya lewati saja saat pergi dan pulang dari
kota-kota itu.
Di tengah hutan
kecil itu. Kami disambut keramaian orang berlalu lalang. Pahamlah saya, bahwa
pasar besar ini adalah pusatnya kota. Saya iseng bertanya, ini daerah mana.
“Inilah Bantul.
Kowe ra tahu dolan mrene,” kata wartawan senior itu. Saya hanya mengelengkan
kepala saja.
Kami meneruskan
perjalanan dan kami masih disambut rindangnya perpohonan di kanan kiri jalan.
Setelah 5 menit berlalu. Barulah saya sadar, betapa hijaunya Bantul itu.
Lepas dari dua
lampu merah dari pasar kota tadi. Pemandangan sawah nan luas dengan padinya
siap panen menjadikan hijau mata ini. Semua terlihat seperti permadani. Di beberapa
titik saya masih melihat sekelompok orang bersenda gurau di tepi sawah.
Hahahahaha....ternyata
masih ada seperti itu.
Sungai di sisi
kanan jalan seperti tidak ada habisnya. Kami terus meluncur ke selatan, jauh ke
selatan. Saya mencium bau asin garam. Saya hapal bau asin garam karena beberapa
kali saya menghabiskan malam di tepi pantai.
“Dari sini anda
terus saja ke selatan. Tidak kurang dari 1 km ada akan temui pantai. Namanya Pantai
Samas. Cobalah sesekali main ke sana biar hidup anda tidak monoton,” jelas
salah satu Polisi penjaga Polsek ketika saya tanya di mana pantainya.
Jumat (17/11/2017)
lalu saya mendatangi Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Bantul
sambil membawa surat keterangan (Suket) identitas saya dan istri yang kami pegang
sejak Juli lalu. Desember besok masa berlakunya Suket habis sehingga harus
segera diurus pembuatan blanko KTP-nya.
Amin. Tidak sampai
menunggu setengah jam. Blanko KTP, atas nama saya dan istri, yang katanya susah
didapatkan karena dikorupsi sudah ada di tangan.
Soal lainnya masih
sama dengan KTP yang lama. Namun di kolom alamat jelas sudah berbeda.
Alamat : Jalan
Bugisan No 15 Perum Griya Kembang Putih, RT 05 Guwosari, Pajangan, Bantul, DI
Yogyakarta.
Sah!!!!
Saya resmi menjadi
Cah Mbantul setelah lebih dari delapan tahun bermukim di Kota Gudeg, Kota
Pendidikan, Kota Kebudayaan, dan Kota Toleransi.
Saya pernah hampir satu
tahun lebih bertugas di Bantul. Semakin saya mengenal seluk beluk wilayahnya
semakin saya menyenanginya. Mengingatkan saya pada kota masa kecil saya.
Hamparan sawah
masih terbentang luas. Ada sungai-sungai berair jernih yang siap untuk
direnangi dan dipancingi (meski cuma wader, dan itu saya suka). Ada berbagai
jenis makanan tradisional masa kecil yang mudah saya temui di sini.
Bantul adalah kota
masa kecil saya.
Namun sekarang saya
merasakan perubahaan. Pohon-pohon rindang penyejuk jalan sudah ditebang untuk
proyek pelebaran jalan agar Bantul semakin ramai saja.
Samas tidak seperti
pertama kali saya kunjungi. Abrasi menjadikan bibir pantainya mendekati
pemukiman. Tapi Samas tetap menawarkan kegelapan total ketika saya ingin
mengamati bintang-bintang sungguhan (ini perlu saya tegaskan dan tidak guyon).
Saya juga perlu
sampaikan, ternyata Parangtritis berbahaya untuk direnangi karena setiap tahun
pasti ada korban.
Oh ya sungai yang
saya ceritakan diatas, ternyata dari dulu adalah saluran pembuangan limbah
pabrik gula. Sehingga setahun sekali, pada masa giling tebu, bau manis nan
anyir memenuhi udara dan ribuan ikan mati mengelepar keracunan.
“Le aku kok seneng
urip neng kene yo, akeh arek sekolah sek ngowo sepeda pancal. Bedo karo neng
omah, saiki arek SMP wes ngowo motor (sepeda motor),” kata Bapakku ketika dia
berkunjung pertama kali ke rumah.
Saya hanya
tersenyum, karena dia belum tahu aslinya.
Komentar
Posting Komentar