Hujan Pada Lima November Itu....
Hujan panjang
malam ini sama persis seperti malam kemarin. Tidak ada sedikitpun celah yang
bisa ditembus. Hujan yang begitu membahagiakan banyak orang, tidak bisa
dipungkiri tidak.
Tentang hujan,
banyak orang yang berusaha mendramatisir keadaan dengan mengenang masa lalu
romantis. Juga banyak orang yang merasakan getir hujan di malam hari.
Ketika berada di
jalanan, hujan menjadikan saya kedinginan di bawah atap bengkel itu. Tanpa
kawan, tanpa kenangan, hanya menikmati hujan yang jatuh pada atap seng seperti
musik yang tiada pernah ada hentinya di telingga. Hujan pada malam hari, bagi
orang-orang yang mengandalkan rezeki di jalanan ibarat sebuah penghalang
sementara.
Tapi sesudahnya
semua disyukuri. Hujan menjadikan semua menjadi lebih dingin. Semuanya ingin
berdekatan.
Hujan pada malam
lima November itu. Saya menembus panjangnya jalan ke Candi Prambanan bersama
kawan untuk menikmati sebuah pagelaran yang dipersiapkan sejak lama.
Bertajuk ‘The Rise
Of Java’, gelaran besar ini merupakan agenda yang pertama kalinya memadukan
kesenian musik etnik, tari dengan peragaan busana berbasis tradisionalisme
Jawa. Siluet Candi Prambanan adalah latar belakang terindah yang akan selalu
menjadi kenangan dalam pertunjukkan itu.
Hujan yang turun
tidak henti malam itu seakan tidak mengijinkan gelaran bertempat di panggung
terbuka di sisi barat Candi Prambanan berlangsung. Ribuan calon penonton yang
sudah memadati sejak sore hari, urung menonton penampilan World Orkestra-nya Dwiki
Darmawan, Ita Purnamasari, Andien, Rafly Kande, Sruti Respati dan Wizzy.
Konser Orchestra The Rose Of Java ini juga akan melibatkan empat
desainer kondang, diantaranya Afif Syakur (Yogyakarta), Didiet Maulana
(Jakarta), Lenny Agustin (Jakarta) dan Phillip Iswandono (Yogyakarta) serta
melibatkan 48 model yang berasal dari sejumlah kota besar di Indonesia, diantaranya
Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, dan banyak lagi
lainnya.
“Sangat
disayangkan, konser yang kami sudah persiapkan sejak lama harus dibatalkan
karena kondisi yang tidak memungkinkan. Hujan tidak reda sejak sore dan kami
memutuskan untuk membatalkannya,” jelas Direktur Marketing Gatra Media Tatit
Priemadi ketika ditanya wartawan pada Minggu (5/11).
Tatit, selaku
penanggung jawab proyek besar ini dengan mimik kecewa menyatakan meskipun
pihaknya sudah berusaha semaksimal mungkin mengkondisikan, namun kuasa Sang
Kuasa tidak bisa dilawan.
Tercatat dari
1.200 tiket dengan rentan harga Rp250.000, sampai Rp750.000,- sudah terjual
hampir 1.000 lembar. Dan karena pembatalan sepihak, akhirnya panitia
mengembalikan uang pembelian tiket kepada konsumen penuh 100 persen.
“Kami membuka pengembalian
tiket mulai besok pagi. Kami berjanji semua pembeli tiket mendapatkan
pengembalian karena data sudah kami pegang,” jelasnya.
Diharapkan menjadi
ajang besar, The Rise Of Java yang pertama kali digelar diharapkan menjadi
agenda tahunan. Sebab perpaduan seni musik, gerak, dan busana ini baru pertama
kali di Indonesia.
Namun Tatit
memberi apresiasi besar kepada seluruh pengisi acara. Meskipun diputuskan batal,
namun seniman yang sudah hadir dan bersiap diri sejak sore memutuskan untuk
mengelar mini even di ruang bawah tempat duduk sisi timur.
Diterangi sedikit
cahaya dan kesempitan ruang, mini even yang berlangsung hampri satu jam itu
sedikit menghibur penonton yang masih bertahan maupun artis pendukung yang
tentu saja sama kecewannya.
“Kami belum
menghitung kerugian akibat pembatalan acara ini. Kami sesegera mungkin
menyelesaikan semua tanggung jawab kami ke penonton maupun pendukung acara ini.
Kami meminta maaf,” jelasnya.
Bagi saya yang
pernah terjun dalam bidang even organiser, apa yang dialami panitia The Rise Of
Java sebenarnya adalah kendala yang sudah diprediksi. Saya yakin seratus persen
bahwa mereka sudah menyiapkan solusinya.
Namun apalah daya
manusia yang lemah ini dihadapan Kuasa Illahi.
Sepanjang
perjalanan pulang sambil menahan dingin, dari belakang kawan sepeberangkatan
dengan pelan berujar “Rasanya judul berita yang akan muncul besok di media The
Rise Of Java menjadi The Rain Of Java,’.
Komentar
Posting Komentar