Saat Itu Kita Hanya Pasrah Saja

Saya masih mengingat dengan jelas kenangan di masa kecil. Seorang teman sepermainan meninggal mendadak. Kesedihan sepenuhnya ditunjukan keluarga besarnya. Kematian membawah kesedihan di sejarah manusia.

Manusia bagaimanapun seharusnya sudah siap untuk kapanpun, dan dimanapun, menghadapi kematian. Sebuah garis tebal takdir yang ditentukan setiap manusia dari Tuhan Sang Pencipta. Tanpa pengecualian.

Kematian bisa datang tiba-tiba.

Sanusi Pane dalam pusinya menuliskan, ‘Ajal ibarat tangan gaib yang mencekik kita tanpa aba-aba’.

Ilmu pengetahuan mencoba mengungkap bagaimana kematian terjadi. Namun ilmu pengetahuan selalu menemui jalan buntu untuk memecahkannya untuk selanjutnya dituliskan sebagai pengetahuan. Kematian adalah rahasia terbesar Tuhan, sama halnya seperti kelahiran, jodoh, rezeki, dan usia.

Manusia hanya bisa menjalankan kehidupan sebaik mungkin untuk selanjutnya berpasrah diri kepada takdirnya.

Dunia setelah kematian cukup menarik dalam pembahasan omong kosong di warung sambil menikmati secangkir kopi.

Banyak agama dan kepercayaan menyakini bahwa ada dunia baru yang harus dijalani manusia setelah kematian. Dunia yang berdasarkan baik dan buruknya tingkah manusia dalam menjalani kehidupan di dunia fana ini. Dunia yang membutuhkan kebaikan dan keburukan dalam sistem penilainnya.

Namun ada juga orang-orang yang percaya, bahwa setelah kematian ada dunia yang dihuninya sementara untuk mendapatkan proses penyucian diri dan melupakan semua cerita kehidupan yang sudah dijalaninnya. Untuk kemudian terlahir kembali sebagai manusia lainnya. Atau bahkan jika keburukannya sangat buruk, bisa jadi dia berrekranasi menjadi tumbuhan atau hewan.

Tapi saya menyenangi dunia setelah kematian yang ditulis oleh JK Rowling dalam Harry Potter di bukunya yang ke-tujuh.

Di sana Rowling mengambarkan dunia kematian seperti sebuah stasiun kereta yang lantai dan dindingnya putih bersih dengan deretan bangku serta rel-rel kereta yang tidak terhingga jumlahnya. Stasiun yang begitu bersih dan terselimuti kabut tipis di pintu keluar masuk sebuah kendaraan seperti kereta.

Di tempat itu, roh-roh manusia mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan tiket kereta sesuai dengan apa yang sudah dilakukan di dunia. Keburukan mendapatkan tiket untuk kereta hitam legam. Sedangkan kebaikan mendapatkan tiket kereta yang bersih dan nyaman.

Namun keburukan yang menyebabkan kematian dan kesengsaraan bagi manusia serta dunia tidak akan mendapatkan tiket. Roh akan tetap bertahan di sana, tanpa ada yang mempedulikannya. Tanpa ada yang mengarahkan. Tanpa ada pemberitahuan kapan dia diberangkatkan.

Kereta-kereta datang dan pergi tanpa jadwal tepat. Setiap orang mendapatkan tiket dengan cara ajaib. Ketika kereta datang mereka mendapatkan tiket di tangannya untuk dipersilahkan naik. Kereta pergi ke pintu berkabung tanpa diketahui kemana perginya.

Stasiun yang penuh dengan tanya. Tapi terkesan menyenangkan. Sebab kita tahu ketika kereta datang kita akan akan menaikinya atau tidak. Tanpa ada penghakiman. Tanpa ada perintah, jika ada, untuk segera menaiki kereta yang datang. Atau malah tidak sama sekali.

Bagi orang yang mengalami derita akibat kematian. Cinta dan kasih sayang kepada orang mati sudah tidak berguna lagi. Cinta dan kasih sayang lebih berharga untuk diberikan kepada orang-orang yang masih hidup yang membutuhkannya. Terutama orang-orang yang tidak pernah hidup dengan cinta dan kasih sayang.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak