Surat Dari Senopati_Wirang
Kepada
Yth Kukuh Setyono
Salam Kenal&Salam
Hormat,
Mas Kukuh terhormat, perkenalkan
saya senopati-wirang@gmail.com.
Mungkin saya tidak usah menjelaskan dimana alamat dan siapa saya sebenarnya.
Anda tidak mencari saya di berbagai lini media sosial karena saya tidak mau
menggunakannya. Yang penting, saaat ini saya hanya ingin berkenalan dengan
anda. Maaf jika cara berkenalan saya
lewat surat. Tapi alamat email di atas saya kira adalah sarana utama kita ke
depan berhubungan.
Saya memberanikan diri
mengirimkan sebuah email kepada anda atas saran beberapa teman. Kata mereka
anda merupakan salah satu penulis yang berani menyuarakan berbagai masalah
sosial yang tidak berani dituliskan oleh banyak orang.
Usai membaca artikel anda
‘Tanpa Hiburan Malam, Parangtritis Berakhir’. Saya bertambah yakin andalah
orang yang tepat untuk menyebarkan pemikiran yang sudah lama saya pendam. Dalam
tulisan ini, surat pertama ini, saya tidak ingin mengajak berdebat. Saya ingin
sekedar bercerita. Anda cukup membaca saja. Jika memang ada waktu luang, saya
persilahkan anda memberi membalas surat saya.
Tapi itu tidak wajib.
Semua kembali ke anda. Dan setia untuk menunggu balasan anda kapanpun anda
siap.
Baiklah, saya akan mulai
pembicarakan kita. Semoga anda berkenan membaca sampai habis.
Mas Kukuh, seperti yang
kita ketahui di Indonesia, suku Jawa adalah suku mayoritas. Kita bisa temui
orang Jawa di mana saja di seluruh penjuru nusantara. Dalam sejarah kebudayaan
Nusantara, mau tidak mau nasib bangsa ini sebenarnya tergantung pada penalaran,
keahilan dan manajemen yang sepenuhnya berasal dari Jawa.
Tapi juga seperti yang
mungkin anda, saya dan beberapa orang yang peduli. Saat ini masyarakat Jawa mengalami krisi kebudayaan.
Hal ini disebabkan kebudayaan Jawa dibiarkan merana, tidak terawat, dan tidak
dikembangkan oleg pihak-pihak yang berkompeten. Terutama oleh kalangan
politisi.
Dalam sudut pandang saya,
kebudayaan Jawa terkesan dibiarkan mati merana karena serangan kebudayaan
asing. Dimana saat ini kebudayaan dari daerah Timur Tengah (Arab) terus
berusaha mengerogoti eksistensi kebudayaan Jawa.
Mas Kukuh, anda pernah
membaca buku ‘Manusia Indonesia Baru’ karya Mochtar Lubis? Dalam buku itu
Mochtar mengkritisi watak-watak negatif manusia Jawa pada umumnya seperti sikap
munafik, feodal, malas, tidak suka bertanggung jawab, suka gengsi dan prestis,
dan tidak suka bisnis (manusia Jawa lebih suka menjadi pegawai karena aman dan
tidak beresiko).
Apa yang dinyatakan Mochtar
ini bagi banyak sesepuh Jawa merupakan kemunduran. Kemunduran ini tidak lepas
dari dosa rezim Orde Baru, dimana strategi Soeharto untuk bisa melepaskan diri
dari tuannya dalam hal ini AS dkk serta ditengah tekanan kaum reformis melalui
politisasi Agama Islam menjadikan Indonesia diarahkan ke ideologi Timur Tengah.
Sekarang Indonesia,
terutama sejak reformasi, berada dalam ajang pertempuran antara kebudayaan
Barat melawah Timur Tengah, antara kaum sekuler dan kaum beragama (Islam),
serta antara modernitas dan kekolotan agama.
Bisa dikatakan,
kebudayaan Jawa sejak kemunduran Kerajaan Mataram, selalu mengalami penindasa
tanpa pernah henti. Kita mulai dengan penjajahan Belanda yang berlangsung lebih
dari 300 tahun dan menghancurkan sendi-sendi kebudayaan Jawa dari dalam maupun
luar. Kemudian penjajahan Jepang, yang meskipun hanya 3 tahun tapi menimbulkan
luka mendalam karena tindakan mereka memperkosa tanpa ampun.
Usai menikmati eforia
kemerdekaan selama 20 tahun, kebudayan Jawa ditindas tanpa sadar oleh Orde Baru
yang mengengkang kebebasan untuk melakukan pendidikan dan penerapan filsafat
kehidupan murni orang-orang Jawa. Selama 32 tahun, masyarakat Jawa tidak pernah
bisa mengembangkan diri untuk bersaing dengan suku-suku lain. Mereka
dimanjakan. Mereka dininabobokan. Dan kebudayaan Jawa terlena.
Pasca reformasi yang
menghadirkan kebebasan tanpa tekanan, kebudayaan Jawa ternyata juga belum bisa
berkembang Mas Kukuh. Saya tidak mengada-ada, jika ada perhatikan lebih jauh di
sekitar anda. Maka semua ini akan terbukti. Saya melihat, sekarang ini
Indonesia dicoba diarahkan ke sebuah ideologi yang dulu datang sebagai tamu.
Indonesia diusahakan menjadi sebuah negara agama oleh kelompok Timur Tengah
melalui kendaraan bernama politisasi agama.
Mas Kukuh, kemunduran kebudayaan
manusia Jawa ini bagi saya sangat terasa sekali sekarang ini. Sebagai suku
mayoritas, kemunduran yang dialami suku Jawa saya generalisasikan sebagai
kemunduran bangsa Indonesia. Buktinya, sejak reformasi hingga sekarang ini
Indonesia tidak pernah lepas dari krisis, baik dalam skala daerah maupun
nasional. Semua krisis ini memberikan dampak nyata. Krisis ini menurut saya
dikarenakan adanya politisasi uang dan agama.
Jika anda percaya sama
saya. Dalam analisa saya, krisis yang terjadi di Indonesia saat ini adalah
sebuah gerakan yang dicipatkan terus-menerus agar masyarakat tidak tentram,
nyaman, dan sehat. Krisis ini diciptakan agar Indonesia terpecah belah. Mari
kita mulai analisa saya.
Pertama, mari kita lihat
dari kacamata ‘Gerilya Kebudayaan’.
Anda perhatikan, saat ini
negara-negara di kawasan Timur Tengah harus berjuang sekuat tenaga dan dengan
cara apapun untuk mendapat devisa selain dari kekayaan minyak (Petro Dollar).
Kondisi ini terjadi karena tambang minyak yang puluhan tahun menjadi urat nadi
ekonomi mengalami penurunan produksi. Beberapa ahli menyatakan persediaan
minyak di kawasan Timur Tengah hanya bisa bertahan dalam dua setengah abad ke
depan.
Ini masih ditambah lagi
dengan berbagai penemuan energi alternatif yang bisa diperbarui, sehingga
berdampak pada penurunan harga minyak di pasaran dunia secara berkesinambungan
dan tanpa bisa dicegah.
Dengan kondisi seperti
itu, mereka membutuhkan wilayah baru untuk meneruskan keberadaan kebudayaan
mereka. Dan ketika angin segar serta peluang diberikan oleh Orde Baru maka hal
itu dimanfaatkan sebagai mungkin. Sebuah badai gurun pasir Sahara yang panas
menerjang Indonesia yang beriklim sejuk.
Kawasan Timur Tengah
masuk dengan memanfaatkan agama untuk mendominasi dan menipiskan kebudayaan
lokal. Proses penguasaan kebudayaan ini berlangsung dengan kuat dan begitu
vulgarnya. Gerilya kebudayaan asing ini lewat politisasi agama begitu gencar
dilakukan terutama lewat televisi, majalah, buku, dan radio. Media massa
menjadi pilihan utama penyebaran kebudayaan asing karena sifat media yang
seperti jarum suntik. Dimana ketika terus-terus diberitakan, masayrakat tidak
sadar bahwa mereka akan mencernanya dan menganggap itu kebenaran.
Mari kita lihat kondisi
pertelevisian kita dalam beberapa tahun terakhir ini.
Lewat sinetron, semua
hal-hal yang berbau mistik, dukun, santet dan yang negatip sering dikonotasikan
dengan manusia yang mengenakan pakaian adat Jawa seperti surjan, batik,
blangkon kebaya dan keris. Kemudian hal-hal yang berkenaan dengan kebaikan dan
kesucian dihubungkan dengan pakaian keagamaan dari Timur Tengah. Kebudayaan
yang Jawa dikalahkan oleh yang Timur Tengah.
Dari sisi artis maupun
aktor film dan sinetron, mereka inilah yang pertama kali digarap oleh agen-agen
kebudayaan untuk mempengaruhi masyarakat karena mereka adalah idola. Terutama
bagi kelompok masyarakat yang tidak nalar panjang. Para binta yang notabene
tidak mengerti sama sekali alias artis, yang blo’on politik ini, dimasukan ke
salon rias bergaya Timur Tengah untuk kemudian ditampilkan di layar televisi,
koran, dan majalah demi membentuk mind set yang berkiblat ke sana.
Sekarang mari kita
beralih pembahasan ke soal bahasa. Sekali lagi anda perhatikan, saat ini
ungkapan dalam bahasa Jawa beserta ungkapannya yang sangat luas, luhur, dalam, dan
fleksibel juga mendapatkan secara masih dengan strategi digerilya. Dimulai
dengan salam pertemuan yang memakai assalam…dan wassalam….padahal sebelumnya,
unggah ungguh Jawa saat bertemu dengan orang hanya mengucapkan ‘nywun sewu’ dan
dijawab “monggo’. Bahkan dulu sekali, saya masih ingat kita masih bangga ungkapan:
Tut wuri handayani (di depan memberi contoh), menang tanpo ngasorake (Menang
tanpa merendahkan), gotong royong, dsb. Sekarang kita dibiasakan oleh para
gerilyawan kebudayaan dengan istilah-istilah asing dari Arab, misalnya: amal
maruh nahi mungkar, saleh dan soleha, dan lain sebagainya. Untuk memperkuat
gerilya, dikonotasikan bahwa bahasa. Arab itu membuat manusia dekat dengan
surga! Sungguh cerdik dan licik.
Soal berbusana juga
hampir sama saja kondisinya. Kebaya, modolan dan surjan diganti dengan jilbab,
celana congkrang, dan jenggot ala orang Arab. Nama-nama berbau Jawa dengan Ki
dan Nyi (misal Ki Hajar …) mulai dihilangkan, nama ke Arab-araban dipopulerkan.
Dalam wayang kulit, juga dilakukan gerilya kebudayaan: senjata pamungkas raja
Pandawa yaitu Puntadewa menjadi disebut Kalimat Syahadat (jimat Kalimo Sodo),
padahal wayang kulit berasal dari agama Hindu (banyak dewa-dewinya yang tidak
Islami), jadi bukan Islam; bukankah ini sangat memalukan? Gending-gending Jawa
yang indah, gending-gending dolanan anak-anak yang bagus semisal: jamuran,
cublak-cublak suweng, soyang-soyang dan lain-lain, sedikit demi sedikit digerilya dan digeser
dengan musik qasidahan dari Arab. Dibeberapa tempat (Padang, Aceh, Jawa Barat)
usaha menetapkan hukum syariah Islam terus digulirkan, dimulai dengan kewajiban
berjilbab! Kemudian, mereka lebih dalam lagi mulai mengusik kebhinekaan
Indonesia, dengan berbagai larangan dan usilkan bangunan-bangunan ibadah dan
sekolah non Islam.
Di dunia pendidikan, para
gerilya kebudayaan juga gencar. Perguruan berbasis Taman Siswa yang nasionalis,
pluralis dan menjujung tinggi kebudayaan Jawa secara lambat namun pasti juga
digerilya. Digeser oleh madrasah-madrasah maupun pesantren-pesatren. Padahal
Taman Siswa adalah asli produk perjuangan dan merupakan kebanggaan manusia
Jawa. Undang-undang Sisdiknas juga merupakan gerilya yang luar biasa
berhasilnya. Sekolah swasta berciri keagamaan non Islam dipaksa menyediakan
guru beragama Islam, sehingga ciri mereka lenyap.
Mas Kukuh, apakah saya
perlu lanjutkan lagi analisa saya terkait serangan gerilya kebudayaan. Jika
analsisa di atas masih kurang, coba anda lihat yang di bawah ini.
Soal menabung dan pinjam
meminjam, khususnya diperbankan. Pembawa kebudayaan Arab ingin eksklusif dengan
bank syariah, dengan menghindari kata bunga/rente/riba. Istilah ke Arab-araban pun
diada-adakan, walau nampak kurang logis. Seperti USA memakai IMF, dan orang
Yahudi menguasai finansial, maka manusia Arab ingin mendominasi Indonesia
memakai strategi halal-haramnya pinjaman, misalnya lewat bank syariah.
Keberhasilan perempuan
dalam menduduki jabatan tinggi di pegawai negeri (eselon 1 s/d 3) dikonotasikan
atau dipotretkan dengan penampilan berjilbab dan naik mobil yang baik. Para
pejabat eselon ini lalu memberikan pengarahan untuk Arabisasi pakaian dinas di
kantor masing-masing.
Saat ini hampir di pelosok
pulau. Jawa kita dapat menyaksikan bangunan-bangunan masjid yang megah, dana
pembangunan dari Arab luar biasa besarnya. Bahkan organisasi preman bentukan
militer di jaman Orba, yaitu Pemuda Pancasila, pun mendapatkan grojogan dana
dari Timur Tengah untuk membangun pesantren-pesatren di Kalimantan. Ini sangat
luar luar biasa dan menjijikan!
Fatwa MUI pada bulan
Agustus 2005 tentang larangan2 yang tidak berdasar nalar dan tidak menjaga
keharmonisan masyarakat sungguh menyakitkan manusia Jawa yang suka damai dan
harmoni. Bila ulama hanya menjadi sekedar alat politik, maka panglima agama
adalah ulama politikus yang mementingkan uang, kekuasaan dan jabatan saja; efek
keputusan tidak mereka hiraukan. Sejarah ORBA membuktikan bahwa MUI dan ICMI
adalah alat regim ORBA yang sangat canggih. Saat ini, MUI boleh dikata telah
menjadi alat negara asing (Arab) untuk menguasai
Dimasa lalu, banyak orang
cerdas mengatakan bahwa Wali Songo adalah bagaikan MUI sekarang ini. Dakwah
mereka penuh gerilya kebudayaan dan politik. Manusia Majapahit digerilya,
sehingga terdesak ke Bromo (suku Tengger), Banyuwangi (Osing) dan pulau Bali.
Mengingat negara baru memerangi KKN, mestinya fatwa MUI adalah tentang KKN
(yang relevan), misal pejabat tinggi negara yang PNS yang mempunyai tabungan
diatas Rp3 milyar diharuskan mengembalikan uang haram itu (sebab hasil KKN). Tapi
karena memang ditujukan untuk membelokan pemberantasan KKN, yang terjadi justru
sebaliknya, fatwanya justru yang aneh-aneh dan merusak keharmonisan kebhinekaan
Indonesia!
Buku-buku yang sulit
diterima nalar, dan secara ngawur dan membabi buta ditulis hanya untuk melawan
dominasi ilmuwan Barat saat ini membanjiri pasaran di Indonesia. Rupanya
ilmuwan Timur Tengah ingin melawan ilmuwan Barat, semua teori Barat yang
rasional-empiris dilawan dengan teori Timur Tengah yang berbasis intuisi-agamis
(berbasis Al-Quran), misal teori kebutuhan Maslow yang sangat populer
dilawankan teori kebutuhan spiritual Nabi Ibrahim, teori EQ ditandingi dengan
ESQ, dst. Masyarakat Indonesia harus selalu siap dan waspada dalam memilih buku
yang ingin dibacanya.
Media massa, terutama TV
dan radio, telah digunakan untuk membunuh karakater (character assasination)
budaya Jawa dan meninggikan karakter budaya Arab (lewat agama)! Para gerilyawan
juga menyelipkan filosofis yang amat sangat cerdik, yaitu: kebudayaan Arab itu
bagian dari kebudayaan pribumi, kebudayaan Barat (dan Cina) itu kebudayaan
asing; jadi harus ditentang karena tidak sesuai! Padahal kebudayaan Arab adalah
sangat asing!
Gerilya yang cerdik dan
rapi sekali adalah melalui peraturan negara seperti undang-undang, misalnya
hukum Syariah yang mulai diterapkan di sementara daerah, U.U. SISDIKNAS, dan
rencana UU Anti Pornografi dan Pornoaksi (yang sangat bertentangan dengan
Bhineka Tunggal Ika dan sangat menjahati/menjaili kaum wanita dan pekerja
seni). Menurut Gus Dur, RUU APP telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945 karena
tidak memberikan tempat terhadap perbedaan. Padahal, UUD 1945 telah memberi
ruang seluas-luasnya bagi keragaman di Indonesia. RUU APP juga mengancam
demokrasi bangsa yang mensyaratkan kedaulatan hukum dan perlakuan sama terhadap
setiap warga negara di depan hukum. Gus Dur menolak RUU APP dan meminta
pemerintah mengoptimalkan penegakan undang-undang lain yang telah mengakomodir
pornografi dan pornoaksi. “Telah terjadi formalisasi dan arabisasi saat ini.
Kalau sikap Nahdlatul Ulama sangat jelas bahwa untuk menjalankan syariat Islam
tidak perlu negara Islam,” ungkapnya. (Kompas, 3 Maret 2006).
Tulisan ini masih sangat
panjang. Saya akan terpaksa melanjutkan biar duduk persoalan kita kali menjadi
jelas dan terbuka.
Dari semua yang sudah
kita bahas di atas. Ternyata puncak gerilya kebudayaan adalah tidak
diberikannya tempat untuk kepercayaan asli, misalnya Kejawen, dalam Kartu Tanda
Penduduk (KTP), dan urusan pernikahan/perceraian bagi kaum kepercayaan asli
ditiadakan. Kejawen, harta warisan nenek moyang, yang kaya akan nilai:
pluralisme, humanisme, harmoni, religius, anti kekerasan dan nasionalisme,
ternyata tidak hanya digerilya, melainkan akan dibunuh dan dimatikan secara
perlahan! Sungguh sangat disayangkan! Urusan perkawinan dan kematian untuk masyarakat
Jawa penganut Kejawen dipersulit sedemikian rupa, urusan ini harus dikembalikan
ke agama masing-masing! Sementara itu aliran setingkat Kejawen yang disebut
Kong Hu Chu yang berasal dari RRC justru disyahkan keberadaannya. Sungguh
sangat sadis para gerilyawan kebudayaan ini!
Hasilnya gerilya
kebudayaan telah mempengaruhi perilaku manusia Jawa. Orang Jawa yang dahulu
dikenal lemah-lembut, andap asor, cerdas, dan harmoni; namun sekarang sudah
terbalik: suka kerusuhan dan kekerasan, suka menentang harmoni. Bayangkan saja,
kota Solo yang dulu terkenal putri nya yang lemah lembut (putri Solo, lakune
koyo macan luwe) digerilya menjadi kota yang suka kekerasan, ulama Arab
(Basyir) mendirikan pesantren Ngruki untuk mencuci otak anak2 muda. Akhir-akhir
ini kota Solo kesulitan mendatangkan turis manca negara, karena kota Solo sudah
diidentikan dengan kekerasan sektarian. Untuk diketahui, di Pakistan, banyak
madrasah disinyalir dijadikan tempat brain washing dan baiat. Banyak
intelektual muda kita di universitas2 yang kena baiat (sumpah secara agama
Islam, setelah di brain wahing) untuk mendirikan NII (negara Islam Indonesia)
dengan cara menghalalkan segala cara. Berapa banyak madrasah/pesantren di
Indonesia yang dijadikan tempat2 cuci otak anti pluralisme dan anti harmoni?
Banyak! Berapa jam pelajaran dihabiskan untuk belajar agama (ngaji) dan bahasa
Arab? Banyak, diperkirakan sampai hampir 50% nya! Tentu saja ini akan sangat
mempengaruhi turunnya perilaku dan turunnya kualitas SDM bangsa Indonesia
secara keseluruhan! Maraknya kerusuhan dan kekerasan di Indonesia bagaikan
berbanding langsung dengan maraknya madrasah dan pesantren-pesantren. Berbagai
fatwa MUI yang menjungkirbalikan harmoni dan gotong royong manusia Jawa gencar
dilancarkan!
Sejarah membuktikan
bagaimana kerajaan Majapahit, yang luarbiasa jaya, juga terdesak melalui
gerilya kebudayaan Arab sehingga manusianya terpojok ke gunung Bromo (suku
Tengger) dan pulau Bali (suku Bali). Mereka tetap menjaga kepercayaannya yaitu
Hindu. Peranan wali Songo saat itu sebagai alat politis (mirip MUI dan ICMI
saat ini) adalah besar sekali! Semenjak saat itu kemunduran kebudayaan Jawa
sungguh luar biasa!
Tanda-tanda Kemunduran
Budaya Jawa
Kemunduran kebudayaan
manusia Jawa sangat terasa sekali, karena suku Jawa adalah mayoritas di
Indonesia, maka kemundurannya mengakibatkan kemunduran negara Indonesia,
sebagai contoh kemunduran adalah:
Orang-orang dari Afrika
(yang budayanya dianggap lebih tertinggal) ternyata dengan mudah mempedayakan
masyarakat kita dengan manipulasi penggandaan uang dan jual-beli narkoba.
Orang Barat mempedayakan
kita dengan kurs nilai mata uang. Dengan $ 1 = Rp10.000,- lebih sama saja
penjajahan baru. Mereka dapat bahan mentah hasil alam dari Indonesia murah
sekali, setelah diproses di luar negeri menjadi barang hitech, maka harganya
jadi selangit. Nilai tambah pemrosesan/produksi barang mentah menjadi barang
jadi diambil mereka (disamping membuka lapangan kerja). Indonesia terus dengan
mudah dikibulin dan dinina bobokan untuk menjadi negara peng export dan
sekaligus pengimport terbesar di dunia, sungguh suatu kebodohan yang maha luar
biasa.
Sedangkan orang Jepang
terus membuat kita tidak pernah bisa bikin mobil sendiri, walau industri Jepang
sudah lebih 30 tahun ada di Indonesia. Semestinya bangsa ini mampu mendikte
Jepang dan negara lain untuk mendirikan pabrik di Indonesia, misalnya pabrik:
Honda di Sumatra, Suzuki di Jawa, Yamaha di Sulawesi, dan seterusnya. Ternyata
kita sekedar menjadi bangsa konsumen dan perakit.
Orang Timur Tengah/Arab
dengan mudah menggerilya kebudayaan kita seperti cerita diatas; disamping itu,
Indonesia adalah termasuk pemasok devisa haji terbesar! Kemudian, dengan hanya
Asahari, Abu Bakar Baasyir dan Habib Riziq (FPI), cukup beberapa gelintir
manusia saja, Indonesia sudah dapat dibuat kalang kabut oleh negara asing!
Sungguh keterlaluan dan memalukan!
Kalau dulu banyak
mahasiswa Malaysia studi ke Indonesia, sekarang posisinya terbalik: banyak
mahasiswa Indonesia belajar ke Malaysia (bahkan ke Singapura, Thailand,
Pilipina, dst.). Konyol bukan?
Banyak manusia Jawa yang
ingin kaya secara instant, misalnya mengikuti berbagai arisan/multi level
marketing seperti pohon emas, dst., yang tidak masuk akal!
Dalam beragamapun
terkesan jauh dari nalar, bijak dan jauh dari cerdas, terkesan hanya ikut-ikutan
saja. Beragama tidak harus menjiplak kebudayaan asal agama, dan tidak perlu
mengorbankan budaya lokal.
Sampai dengan saat ini,
Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari berbagai krisis (krisis multi
dimensi), kemiskinan dan pengangguran justru semakin meningkat, padahal negara
tetangga yang sama-sama mengalami krisis sudah kembali sehat walafiat! Peran
manusia Jawa berserta kebudayaannya, sebagai mayoritas, sangat dominan dalam
berbagai krisis yang dialami bangsa ini.
Sekarang, sebagai penutup
tulisan panjang ini. Semoga Mas Kukuh tidak merasa bosan dan maaf jika sedikit
mengurui. Saya tahu digurui oleh orang lain sangat tidak mengenakan!
Beragama tidak harus
menjiplak kebudayaan asal agama. Gus Dur mensinyalir telah terjadi Arabisasi
kebudayaan. Kepentingan negara asing untuk menguasai bumi dan alam Indonesia
yang kaya raya dan indah sekali sungguh riil dan kuat sekali, kalau negara
modern memakai teknologi tinggi dan jasa keuangan, sedangkan negara lain
memakai politisasi agama beserta kebudayaannya. Indonesia saat ini adalah
sedang menjadi ajang pertempuran antara dua ideologi besar dunia: Barat lawan
Timur Tengah, antara kaum sekuler dan kaum Islam, antara modernitas dan
kekolotan agama. Perang di masayrakat antar dua ideologi besar di dunia ini,
yang sudah diramalkan oleh sejarahwan kelas dunia – Samuel Hutington dan
Francis Fukuyama.
Tanpa harus
menirukan/menjiplak kebudayaan Arab, Indonesia diperkirakan dapat menjadi pusat
Islam (center of excellence) yang modern bagi dunia. Seperti pusat agama
Kristen modern, yang tidak lagi di Israel, melainkan di Itali dan Amerika.
Beragama tanpa nalar disertai menjiplak budaya asal agama tersebut secara
membabi buta hanya akan mengakibatkan kemunduran budaya lokal sendiri! Maka
bijaksana, kritis, dan cerdik sangat diperlukan dalam beragama.
Demikian Mas Kukuh atas
segala sudut pandang tentang perkembangan budaya Jawa sekarang ini. Memang
memprihatikan. Namun itu adalah kenyataan yang harus kita terima. Pribadi tanpa
ada niatan tulus dari pemerhati budaya Jawa, khususnya secara individu serta
perhatian dari pemerintah, niscaya kebudayaan luhur ini bisa diselamatkan.
Sebelum saya mengakhiri
surat ini. Sekali lagi, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Mas Kukuh
telah membaca habis surat ini. Soal balasan, kiranya saya persilahkan anda
menuliskannya kapan saja anda sempat. Sekali lagi. Terima kasih dan Nyuwun Sewu
kulo nyuwun pamit. Matur nuwun.
Senopati_Wirang
Komentar
Posting Komentar