Teman-Teman Saya Juga Manusia
Ketika membaca pernyataan Presiden Joko Widodo saat
bersama cucunya, bahwa “saya juga manusia,”. Saya teringat sebuah papan iklan
yang menampilkan sebuah acara keagamaan di sebuah perempatan di ring road selatan Bantul.
Diiklan itu tertulis dengan huruf tebal warna hitam, “dihadiri
rocker yang sudah bertobat” lengkap dengan gambaran dua pria. Pertama masa
lalunya yang penuh dengan keglamoran dunia hiburan jagad musik keras dan slide
foto kedua memperlihatkan mereka sekarang sudah berbaju putih serta mengamalkan
ajaran agama.
Mereka adalah rocker yang dulu penuh dosa sekarang sudah
bertobat. Itulah inti dari iklan yang saya lihat beberapa kali ketika melintas.
Bukankan rocker juga manusia. Sebuah syair lagu dari Serius Band. Jadi apakah salah jika seseorang memilih aliran musiknya di jalur
musik cadas yang terkesan penuh dengan hingar bingar dan dosa yang tidak
berkesudahan.
Soal rocker, saya memiliki cerita tentang dua orang
sahabat. Satu sahabat di masa sekolah menengah dan satu lagi adalah sahabat
jalanan saat masih kuliah. Mereka adalah pengemar serius musik cadas bawah
tanah. Kalangan pemusik menyebut aliran ini underground.
Sebagai gambaran saja, aliran underground adalah rock
dengan ritme cepat dan keras diselingi suara vokal yang serak-serak tidak
jelas. Jadi saat mendengarkan musik ini, bagi telinga saya, malah binggung dan
tidak akan pernah bisa membaca liriknya.
Namun dibalik kecadasan mereka, ternyata ada sedikit
kisah mengharukan yang saya pikir tidak akan pernah terjadi pada mereka. Sama
seperti stereotip bahwa seorang rocker
tidak akan pernah bisa bertobat.
Teman sekolah menengah saya. Di waktu jam belajar dia
terlihat tenang. Namun saat di rumahnya, kamarnya penuh dengan poster grup
band yang tidak pernah saya dengar. Baginya ‘suasana santai’ itu adalah
mendengarkan musik underground tanpa gangguan. Yang membuat saya salut, aliran
itu dia bahwa sampai menikah.
Namun yang mengelikan. Meskipun dia adalah orang yang
terkesan berani. Namun untuk menembak cewek idaman hatinya, nyalinya ciut. Dia adalah
pejantan tanggung.
Teman satunya, adalah penjual warung kopi langganan saat
kuliah. Rambutnya gondrong dan setiap harinya selalu mendengarkan lagu-lagu top
fourty-an dari radio. Saya awalnya tidak menyangka dia adalah pendegar musik
cadas. Sebab beberapa kali saya memergoki dia menyanyikan lagu cinta yang
sedang hit saat itu.
Kekagetan saya bermula saat suatu hari saya diajak dia ke
sebuah ruang publik di tengah kota. Dia membawa tas besar, yang ketika saya
tanya dia tidak mau memberi tahu.
Baru saya tahu, ternyata itu adalah konser para pengemar
musik bawah tanah. Sahabat saya yang sering memberi utangan makan ini pun lantas
berganti kostum yang sedari tadi ada di tas. Dia berubah dengan sepatu boot
tinggi, celana ketat, kaos hitam ketat, dan rambut gondrongnya dibiarkan
tergerai serabutan.
Kekagetan saya tidak berhenti di sana. Di tengah suara
bising musik yang terasa asing, sahabat saya ini begitu menghayati musik di
bawah panggung bersama dengan pengemarnya. Saya melihat dia beberapa kali
memejamkan mata dan menganggukan kepala dengan cepat tanda menikmati musik.
Sahabat saya ini dari Lamongan. Dia sholat tepat waktu
dan sesekali mabuk dengan saya. Namun tidak parah.
Ternyata mereka mampu menjadi diri sendiri dalam
berhubungan dengan Sang Mahakuasa tanpa digembor-gemborkan. Mereka berdua,
sudah tidak peduli lagi dengan cibiran orang tentang selera musik mereka.
Saya salut. Mereka bertahan dengan pilihan yang tidak
banyak dipilih orang.
Komentar
Posting Komentar