Sampah, Bagian Hidup Kita

Pengalaman pertama tentang sampah adalah saat terjadi pertentangan dengan bapak soal di mana harus membuang sampah.

Di kota kecil kami nan jauh dari pusat pemerintahan kabupaten. Ada dua cara menyelesaikan permasalahan sampah rumah tangga. Pertama, kumpulkan dalam sebuah lubang di tanah kemudian bakar atau pendam jika sudah penuh. Kemudian buat lubang lagi.

Kedua, buang sampah langsung ke sungai. Bisa lewat selokan depan rumah atau sungai besar di sisi barat rumah. Untuk solusi pertama, hal itu tidak mungkin dilakukan karena kediaman kami tidak memiliki halaman. Akhirnya solusi kedualah pilihan utama.

Pertentangan dengan bapak terjadi karena beliau orang yang tidak pernah peduli pada hal yang remeh temeh. Jangankan soal sampah, soal anaknya mabuk setiap malam minggu saja tidak dipedulikan. Tapi jangan tanya soal sekolah. Sayalah satu-satunya anak yang pernah mendapatkan tempelengannya seumur hidup beliau karena menolak sekolah dengan alasan sakit.

Kembali ke sampah. Saya bersikeras menyelesaikan masalah sampah dengan membakarnya. Namun beliau bersitegas membuang ke selokan, beres selesai. Kami berdebat kecil, dan tentu saja beliau yang menang karena berkuasa penuh. Dan saya tidak memiliki alasan melawannya.

Soal sampah, hingga sekarang persoalan ini belum diselesaikan sepenuhnya oleh pemerintah kabupaten kelahiran saya. Dan ini mungkin banyak terjadi di daerah lainnya.

Pengalaman kedua saya tentang sampah saat menjadi office boy ketika kuliah. Saya masih mengingatnya sampai sekarang. Pada hari pertama, manager operasional dengan tegas meminta saya memperhatikan kebersihan kamar mandi. Saya bingung, tapi tetap saya lakukan meskipun pertama kali jijik.

Seumur-umur, saya belum pernah membersihkan kamar mandi.

Sekian lama akhirnya saya berani bertanya, kenapa harus memperhatikan kebersihan kamar mandi?

“Banyak orang tidak paham bahwa kebersihan sebuah rumah dimulai dari kamar mandi. Engkau bisa melihat sifat dan tingkah laku seseorang dari kamar mandinya. Jika kamar mandi itu kotor, maka dia orang yang tidak peduli dengan kebersihan meskipun kondisi rumahnya selalu dalam keadaan bersih. Tapi jika kamar mandi itu bersih dan nyaman, bisa dipastikan pemiliknya peduli kebersihan. Sebab kebersihan bermula dari sesuatu yang kecil. Kamar mandi adalah ruang terkecil di setiap rumah,” jelas manajer operasional tempat saya bekerja.

Dari situlah saya mengerti.

Yang lebih gila lagi adalah apa yang dilakukan oleh Alan J Weberman. Penulis buku My Life in Garbology (1980) ini menghabiskan hidupnya untuk meneliti sampah-sampah warga Amerika.

Weberman berpendapat bahwa sampah yang kita buang tidak akan bisa membohongi tentang siapa sebenarnya diri kita.

“Dylan (Bob Dylan) berulang kami mengaku tidak suka dengan majalah pop. Tapi dari kantong sampahnya, ternyata saya menemukan sobekan artikel-artikel dari majalah pop. Dylan suka majalah pop,” katanya.

Di Amerika, garbology ini dikembangkan secara komprehensif oleh William L Rathje. Selama 20 tahun Rathje meneliti contoh sampah rumah tangga yang dikirimkan pemerintah untuk dianalisi. Bersama dengan ratusan mahasiswa, Rathje menemukan bahwa setiap kantong sampah yang dibuang warga terdapat 1 persen bahan kimia beracun.

Jika dalam satu kota terdapat 88.000 warga dengan volume sampah per rumah tangga 5 kg setiap kali buang, maka dalam setahun terdapat 32,5 ton sampah bahan kimia.

Dari penelitian ini, Rathje berhasil menyimpulkan bahwa kalangan menengah ke bawah lebih sedikit membuang sampah organik. Hal ini dikarenakan mereka lebih sedikit memiliki variasi dalam hal makanan.

“Seharusnya dalam hal persampahan kita memberikan perhatian lebih pada perilaku masyarakat dibandingkan menyelesaikan persoalan sampah di pembuangan. Sampah harus diselesaikan sejak dari rumah,” jelasnya.

Apa yang yang dilakukan Rathje ternyata menjadi pijakan banyak negara dalam penangganan persampahan. Kita mengenalnya dengan proses pemisahan sampah organik dan sampah bahan daur ulang dari rumah. Tindakan ini mampu dimanipulasi untuk menambah ketersediaan energi terbarukan.

Salah satunya seperti di Swedia yang mampu mengubah 2,3 ton sampahnya menjadi energi.

Lantas bagaimana dengan Indonesia soal persampahan?

Indonesia adalah satu-satunya negara yang pernah kehilangan warganya karena sampah. 21 Februari 2005, sebanyak 157 orang yang bermukim di dua kampung tewas akibat sampah yang tertimbun di tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat.

Saat ini Indonesia bersama dengan China, tepatnya satu strip di bawahnya, menjadi negara penghasil sampah plastik terbesar ke lautan di dunia. Bahkan dengan kondisi tercemarnya perairan lautan kita dengan logam berat, Nusantara ini dinobatkan sebagai ‘Negara Paling Berpolusi di Dunia’ oleh Ross Michael Pink (2016).

Kebersihan dimulai dari hal kecil, yaitu kamar mandi. Dan kebanyakan orang Indonesia tidak pernah peduli dengan kamar mandinya. Kamar mandi dibiarkan kotor, berkerat, tidak nyaman, dan banyak bau tidak sedap di dalamnya. Jika dari kamar mandi saja tidak mampu menerapkan kebersihan. Maka wajar saja, jika di tingkat yang lebih tinggi, pemerintahan dan birokrasi. Semuanya berjalan mbulet, ruwet, tidak jelas, dan berbau hingga banyak yang tidak berani mendekatinya.

Sekarang. Di tempat saya tinggal, saya bersyukur meskipun masih dalam skala perumahaan namun sampah sudah tidak menjadi masalah. Warga sepakat menyewa armada swasta pengangkut sampah yang tiga kali dalam seminggu mengambil sampah.

Ternyata, bisnis ini menjanjikan ditengah belum mampunya pemerintah mendapatkan solusi persampahan.



Sumber foto : http://jogja.tribunnews.com/2017/06/11

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak