Pikiran Terbarukan

Honda Grand 95 warna hitam itulah yang sampai saat ini masih menemani aktivitas harian saya. Ini adalah sepeda motor yang dihasilkan dari kantong pribadi saat pertama kali bekerja. Saya memakainya bukan karena tidak mampu beli, mungkin belum adanya dana itu satu alasan juga. Tapi satu alasan besar saya tetap mempertahankan motor yang sudah dua dekade itu adalah soal hemat bahan bakarnya.

Saya kira tidak usah dijelaskan dalam tulisan ini tentang betapa iritnya motor Grand itu dibandingkan dengan motor yang lebih mudah dengan harga yang sama. Konsumsi bahan bakar menjadi pilihan utama untuk tetap mempertahankan motor tua ini.

Berbicara tentang bahan bakar, ternyata tantangan ke depan akan semakin besar dihadapi manusia. Ditengah gencarnya pemasaran produk-produk otomotif baru yang begitu mengiurkan. Tantangan ke depan adalah pemenuhan energi kegiatan sehari-hari.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kebutuhan energi listrik yang dipergunakan untuk menjalankan mesin-mesin penghasil energi membutuhkan bahan bakar fosil minyak bumi dan batu bara. Dimana sekarang ini perbandingan akan kebutuhan konsumsi dan hasil produksi sangatlah njomplang.

Sebagai gambaran kasar saja, di 2014 Indonesia mengalami penyusutan produksi minyak bumi hingga menyentuh angka 792.000 barel per hari. Sedangkan kebutuhan konsumsi akan minyak bumi meroket sampai 1,9 juta barel per hari. Terdapat jurang yang sangat dalam antara produksi dan kebutuhan konsumsi.

Bahkan pada catatan Kompas (26/8/2017), cadangan minyak bumi di Indonesia hanya cukup sampai 12 tahun ke depan, gas bumi hingga 33 tahun ke depan, dan batu bara sampai 88 tahun ke depan.

Satu-satunya jalan adalah revolusi energi yang mengarah ke energi terbarukan. Ini tidak bisa disangkal dan segera harus dirumuskan peta jalanannya. Jika tidak mulai sekarang, maka bisa dipastikan dalam 50 tahun mendatang, konflik perebutan sumber energi fosil akan mengemukan dan itu akan sangat memberatkan dalam kehidupan.

Namun sayangnya, peta jalan energi terbarukan di Indonesia yang memiliki potensi 440.000 megawatt hanya teridentifikasi pemanfaatnya tidak sampai dari 2 persen saja atau 8.200 megawatt.
Sayangnya persoalan pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih selalu sama setiap tahunnya. Dimana dimulai dari faktor biaya dan harga yang lebih mahal dibandingkan penggunaan energi fosil. Kemudian menyusul kekurangan sarana dan prasana teknologinya, dimana Indonesia hampir seratur persen mendatangkan dari luar negeri. Belum ada perusahaan dalam negeri yang mampu memproduksinya.

Kendala ketiga yang dihadapi adalah soal regulasi pemerintah yang selalu berubah-ubah dan hasilnya selalu menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku energi terbarukan. Keempat tidaknya adanya subsidi dari pemerintah, padahal ini yang dirasakan sangat perlu karena besarnya biaya pengembangan energi terbarukan. Terakhir, masalah klasik perizinan dan sebagainya adalah kendala yang tidak akan pernah terselesaikan lewat satu pintu.

Jika melihat apa yang dipaparkan diatas, saya teringat apa yang disampaikan oleh Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Susilo Wisnubroto pada media Agustus lalu.

Djarot menyampaikan bahwa sebenarnya Indonesia sudah siap memiliki Pembangkit Listri Tenaga Nuklir (PLTN). Dan dari survei yang dilakukan, tercatat sebanyak 95% dari 1.000 orang menyatakan setuju tentang keberadaan PLTN sebagai solusi pemenuhan kebutuhan energi di masa depan.

Tapi. Pemerintah sepertinya tidak melirik sama sekali solusi itu. Banyak pihak yang tidak berani berspekulasi tentang alasan pemerintah untuk tidak mengembangkan PLTN di Indonesia.

Djarot mengatakan jika tidak segera dilakukan dan terencana sebaik mungkin, kemungkinan hadirnya krisis energi ke depan semakin nyata. Dan pembangunan PLTN ini secepat membangun pembangkit listrik tenaga lainnya. Minimal dibutuhkan waktu tujuh tahun penuh dari nol hingga beroperasi maksimal.

Bisa jadi tanpa ada itikad baik dari pemerintah, PLTN tidak akan pernah hadir.

Gambaran ketidakberpihakan pemangku kepentingan terhadap energi terbarukan bisa dibaca pada kegagalan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang direncanakan di Samas, Bantul. Dicanangkan sejak 2015 lalu oleh Presiden Joko Widodo, proyek yang digawangi PT UPC ini gagal karena tidak adanya ijin pemanfaatkan lahan milik keraton.

Jika memang, dalam Undang Undang Keistimewaan (UUK), disebutkan bahwa tanah keraton dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam sudut pandang saya, PLTB aalah sebuah proyek yang mampu memberikan kesejahteraan jangka panjang kepada masyarakat lewat penyediaan energi untuk kegiatan sehari-hari.

Memang permasalahan kebutuhan bahan baku terbarukan untuk energi ini tidak menjadi perhatian dari masyarakat. Tapi bila melihat tantangan masa depan, kiranya ini adalah permasalahan yang harus diselesaikan. Sama seperti ketersediaan pangan dan penguasaan air.

Bagaiamanapun kondisinya dan sampai kapanpun, saya akan tetap berpikir bahwa kebutuhan akan energi terbarukan mutlak harus segera direalisasikan oleh negara. Dengan berbagai sosiasliasi dan bantuan dalam kebijakan, rasanya penyediaan berbagai hal-hal yang diperlukan untuk membangun sistem energi terbarukan kiranya mudah dilakukan.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak