Akankah Putusan MK Lahirkan Pilgub DIY?

Ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan membatalkan ketentuan yang tercantum pada Pasal 18 ayat 1 huruf M pada 31 Agustus lalu. Kiranya keputusan itu menjadi kado terindah bagi, saya mencoba menyebutnya sebagian, rakyat DI Yogyakarta merayakan lima tahun dikeluarkannya Undang Undang Keistimewaan (UUK) Nomor 12 Tahun 2012 yang jatuh di tanggal yang sama.

Ditanggal keluarnya keputusan MK, Sultan Keraton Ngayogyakarta sekaligus Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono X mengelar kenduri besar bersama pedagang di Pasar Beringharjo.

Namun siapa yang mengira, dari keputusan MK  lahiran bola liar yang mengelinding begitu cepatnya di lingkungan sosial masyarakat DI Yogyakarta yang menafsirkan bahwa kedepan Raja Keraton Ngayogyakarta yang sudah berdiri sejak abad ke-16 akan memiliki Ratu untuk pertama kalinya.

Pro dan kontra bermunculan di media massa, baik cetak, radio, maupun online, terutama berbasis lokal tentang masa depan keraton Ngayogyakarta. Sebagian besar, meski dalam diam, menyatakan tidak terima jika Ngayogyakarta dipimpin Ratu. Bahkan penolakan hadirnya Ratu di bumi Mataram ini diwakili dengan jelas oleh adik tiri Sultan Gusti Bendoro Pangeran Hario (GBPH) Yudhaningrat.

Tapi ditengah pro dan kontra tentang Ratu Keraton Ngayogyakarta. Menarik apa yang sempat diucapkan Arif Noor Hartanto, Wakil Ketua DPRD DI Yogyakarta saat kepada wartawan pada 5 September 2017.

Inung, panggilan akrab Arif, mengajak kepada masyarakat untuk mengkaji dan mendalami keputusan MK bernomor 88/PUU-XIV/2016 itu. Inung melihat lahirnya keputusan itu, kedepan bisa jadi Gubernur DI Yogyakarta tidak lagi hadir melalui ‘penetapan’ namun lewat pemilihan seperti daerah lainnya. Dan keputusan MK itu juga akan menghilangkan sistem diskriminasi pada perempuan, jadi tidak hanya satu perempuan saja, untuk bisa menjadi Gubernur DI Yogyakarta.

Tapi yang perlu menjadi catatan, hadirnya pemilihan Gubernur (Pilgub) ini membutuhkan waktu yang relatif panjang karena harus merubah pasal-pasal utama dalam UUK dan disetujui pemerintah.

Lahirnya Polemik Kepimpinan

Ketika disahkan, sebenarnya UUK yang digodok dalam proses panjang dan lobi tingkat tinggi di masa Presiden SBY ini tidak ada substansi yang perlu dipermasalahkan terkait kepemimpinan DI Yogyakarta. Bahkan dengan UUK itu, DI Yogyakarta mendapatkan alokasi khusus anggaran dari pemerintah pusat yang dinamakan Dana Keistimewaan (Danais) setiap tahunnya tanpa ada batas waktu.

Terkait dengan kepemimpinan pemerintahan DI Yogyakarta, pasal 1 angka 4, UUK dengan jelas menerangkan siapa yang berhak menjadi Gubernur DI Yogyakarta yang mekanismesnya ditentukan melalui penetapan.
Di pasal itu disebutkan bahwa Kasultanan Ngayogyakarta, selanjutnya disebut Kasultanan, adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung turun-temurun dan dipimpin Ngarsa Dalem Sampenyan Daleng Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah. Selanjutnya disebut Sultan Hamengku Buwono.
Namun semuanya berubah ketika pada 6 Maret 2015, secara mendadak Sultan mengeluarkan Sabda Tama atau Perintah Raja yang salah satunya isinya merubah gelar dari Buwono menjadi Bawono. Tidak hanya itu, melalui Sabta Tama, Sultan mengangkat putri sulungnya Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun menjadi putra mahkota dengan gelar GKR Mangkubumi.

Dari sinilah, akhirnya polemik kepemimpinan DI Yogyakarta di masa depan muncul. Dengan diangkatnya GKR Pembayun sebagai putra mahkota, ketika Sultan Hamengku Buwono X tidak menjadi raja maka GKR Mangkubumi-lah yang mengantikannya.

Selain bertentangan dengan Paugeran (Peraturan Tetap) Keraton Ngayogyakarta, pengangkatan Putri Mahkota ini juga bertentangan dengan klausal yang tercantum di Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY berbunyi: Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.
Frasa ‘Istri’ menjadi penganjal bagi GKR Mangkubumi untuk bisa menjadi Ratu pertama Keraton Ngayogyakarta. Dan pasal inilah yang digugat, jika saya tidak salah menyebutkannya, pendukung Sultan Hamengku Buwono X untuk terus berkuasa.
Jadi dengan dikeluarnya keputusan MK itu, maka Gubernur DI Yogyakarta diperkenankan berasal dari kalangan perempuan. Namun tidak dengan Raja Keraton Ngayogyakarta.

Kemungkinan Pilgub

Meski sudah dibukakan pintu jabatan Gubernur bagi perempuan, namun jika dihubungkan dengan ketetapan dalam Pasal 1 ayat 4, maka GKR Mangkubumi terlebih dahulu harus diangkat sebagai Raja.

Masalahnya, dengan gelar ‘Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah’, Raja juga ditunjuk menjadi imam besar masyarakat dalam konteks ke-Islaman. Seperti yang diketahui bersama, dalam Islam imam tidak diperkenankan berasal dari perempuan. Imam haruslah laki-laki.

Pertentangan kehadiran Ratu ini secara keras disampaikan oleh GBPH Yudhaningrat yang menganggap keputusan MK itu hanyalah ‘lelucon’ belaka dan hakim tidak paham sejarah tentang Keraton Ngayogyakarta-NKRI semasa revolusi. Berpegang teguh pada gelar resmi yang disandang sejak Hamengku Bawono I, Gusti Yudha bersikukuh tetap menghendaki Sultan adalah laki-laki.

Bahkan berdasarkan dengan paugeran yang berlaku, ditetapkan jika seadainya Sultan yang menjabat tidak memiliki putra mahkota maupun belum dianggap mampu memimpin. Maka tampuk kepimpinan keraton diserahkan kepada adik-nya. Paugeran juga mengatur jika putra mahkota sudah siap, maka kekuasan diserahkan kembali kepada yang berhak.

Melihat sejarah, pengembalian kekuasaan di keraton Ngayogyakarta sangat kecil kemungkinan terjadi. Sebagai contoh, ketika pergantian Sultan ke VI yang mangkat saat permasuri mengandung putra mahkota. Maka kekuasaan sementara diserahkan ke adiknya dan berhak memakai gelar Sultan VII.

Didasarkan kredo bahwa kekuasaan itu menyenangkan sekaligus membutakan, Sultan VII dalam sejarah yang tertulis memutuskan mengasingkan permaisuri ke luar Jawa sehingga tidak memungkinkan menuntut hak raja untuk putranya.

Bahkan kasus ini sempat terulang kembali di masa Sultan IX. Tanpa adanya putra mahkota, karena Sultan yang juga Pahlawan Nasional ini memilih tidak ber-permaisuri, penunjukkan penerusnya didasarkan pada keputusan keluarga inti. Kesepakatan bersama menunjuk BRM Herjuno Darpito sebagai Sultan X.

Melihat Sejarah inilah, Gusti Yudho, entah ada motif apa, meminta Sultan untuk kembali ke Paugeran turun termurun dimana tidak memperkenakan perempuan menjadi Raja.

Kengototan penolakan yang sama juga disampaikan Inung yang menegaskan bahwa peluang perempuan menjadi gubernur tidak mungkin terjadi. Sebab DPRD sebagai pihak yang ‘menetapkan’ Gubernur akan berpegang teguh pada ketentuan pasal 1 ayat 4.

Inung berpendapat, satunya-satunya cara untuk meloloskan GKR Mangkubumi sebagai Raja sekaligus Gubernur adalah melakukan revisi UUK terutama pasal 1. Atau secara khusus keputusan pengangkatan Gubernur perempuan itu didasarkan pada keberhasilan Sultan melakukan musyawarah-mufakat dan mengelola konflik sehingga menghasilkan suksesi.

Tapi, ada kemungkinan pula jika pemerintah pusat, dalam hal ini yang berhak melakukan revisi UUK mengisyaratkan pengisian Gubernur dilakukan dengan pemilihan umum sesuai UUD. Sebab jika melihat isu yang beredar, dengan kepemilikan tanah yang begitu luas  oleh Keraton, pemerintah kesulitan untuk melakukan pembangunan yang dinilai akan mensejahterakan rakyat.

Dalam aturan yang berlaku, untuk bisa memanfaatkan tanah keraton yang tersebar merata dan memiliki sumber daya yang melimpah. Pemerintah maupun pihak lainnya haruslah mendapatkan ijin resmi dari Kantor Pengelola Tanah Kasultanan (Panitikusmo). Di proses pengurusan ijinlah biasanya terjadi proses tawar menawar.

Untuk menghindari rumitnya proses ijin pemanfaatkan lahan, ada kemungkinan pemerintah menginginkan adanya pilgub agar lebih mudah melakukan tekanan kepada pihak keraton agar mempermudah proses perijinan tanpa tawar menawar.

Terkait hal diatas, saya bisa mengilustrasikan satu kasus yang baru saja terjadi. Dimana proyek Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang awal pembangunanya diresmikan langsung Presiden Joko Widodo pada 2015 di Samas, Bantul harus dibatalkan karena tidak adanya ijin dari keraton untuk memanfaatkan lahanya. Padahal itu adalah syarat utama.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak