Para Sesepuh
Cerita hari ini bermula
dari dua bungkus nasi Padang berlauk ayam pedas. Karena satu bungkus tidak ada
yang memakannya, karena saya sudah kenyang, maka Sesepuh Dua mengusulkan memanggil
Sesepuh Satu ke TKP Rajawali dan saya setuju. Saya hubungi dan dapat kabar
positif. Tidak sampai setengah jam Sesepuh Satu sudah muncul dengan wajah
cerianya. Ah menyenangkan.
Belum sampai lima menit
setelah kami persilahkan duduk, Sesepuh Satu sudah mengeluarkan lelucon-lelucon
yang begitu jenaka membuat kami tertawa terpingkal-pingkal dan
terjungkal-jungkal. Santai tapi sangat santai suasana sore itu.
“Seorang anak bertanya
pada ibunya, apa itu arti ML?” kata Sesepuh Satu memulai guyonannya.
Mendapat pertanyaan ini
sang Ibu kaget, namun dia sadar bahwa di jaman sekarang ini meskipun baru empat
tahun menginjak sekolah dasar namun pengetahuan tentang sesuatu yang
berhubungan dengan alat kelamin mudah didapatkan dimana saja. Takut anak akan
mendapatkan informasi yang salah tentang kata ML, maka sang ibu menjelaskan
dengan sebaik mungkin dan sesederhana mungkin arti kata itu agar tidak terkesan
jorok, mesum, dan mudah diterima.
“Jika boleh tahu, adik
dapat dari mana kata ML itu?” kata ibu kepada anaknya untuk mengetahui, siapa
tahu ada yang mau memberi pelajaran kurang etis kepada anaknya.
“Itu di botol kemasan
minuman, kan ada tulisan ML,” jelas sang anak tanpa beban.
Sesepuh Satu, Sesepuh Dua,
dan saya tidak bisa menahan tawa.
Usai makan, magrib tiba,
dan usai beribadah kami berpindah tempat. Kali ini di sebuah cafe coffe di
belakang Gembira Loka. Kami lama ngobrol di sana, hingga tengah malam kurang
dua jam lagi. Sekali lagi, selain kelucuan yang diungkapan Para Sesepuh, banyak
cerita-cerita tentang berbagai kreatifitas dalam membuat sebuah tulisan.
“Sebuah tulisan bisa
dimulai dari pengalaman sehari-sehari. Bahkan ketika seorang berwajah preman
seperti kamu menulis tentang sebuah bunga mawar merah yang dikerubungi semut
saat mekarnya, maka bila disajikan dengan diskripsi yang mampu membuat
imajinasi pembaca seperti mengalami sendiri. Maka bisa jadi kau akan dianggap
penulis yang romantis. Tulisan tidak mengenal istilah perbedaan gender,” jelas
Sesepuh Satu.
Sesepuh Satu, lantas
menceritakan tentang bagaimana dia berproses melahirkan novel terakhirnya yang
memenangkan juara pertama kontes novel tingkat nasional pada tahun lalu. Dia begitu
semangat karena dia mampu mencampur adukan sejarah tradisional Yogyakarta
dengan hubungan pelik sebuah keluarga modern tanpa kehilangan arah.
Sedangkan Sesepuh Dua asik
merekam semua tingkah laku Sesepuh Satu sambil sesekali memancing dengan
pertanyaan-pertanyaan agar Sesepuh Dua tidak mati gaya saat direkam. Menyadari
itu, saya juga ikut memancing.
“Yang terpenting, jika
ingin melahirkan sebuah karya maka fokuslah, baik dari pengumpulan data maupun
obsevarsi ke lapangan. Tetap fokus meskipun tulisan itu akan selesai satu tahun
lagi,” kaya Sesepuh Satu sambil menghisap Capucino-nya.
Sama seperti yang
sudah-sudah, Sesepuh Dua hanya sekedar bicara apa adanya dengan dasar berbagai
teori besar yang terkadang sulit dicerna. Namun semangat yang ditularkan kepada
setiap rekan bicaranya begitu indah dan menular.
“Saya sudah siapkan semua
yang kalian butuhkan untuk menerbitkan sebuah buku. Tapi kalian jangan tidak
serius dalam proyek yang nanti akan membesarkan nama kalian. Mulai malam ini,
tulislah satu-dua halaman apa saja yang terjadi setiap hari. Jika sudah
terkumpul banyak barulah kita pilah-pilah,” jelas Sesepuh Dua.
Malam itu, saya pulang
dengan ceria karena mampu menyenangkan ke Dua Para Sesepuh yang dalam beberapa
waktu ini begitu sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Sebuah pesan WA masuk dari
teman yang juga kenal Para Sesepuh, “Nengdi lek?”. Saya jawab dengan foto kedua
Para Sesepuh, sang penanya membalas dengan emotion heran dan ragu-ragu.
“Weh, jika undangan dari Kedua Para Sesepuh ini saya tolak, maka bisa malati (Kualat/Pamali),” jawab saya.
“Weh, jika undangan dari Kedua Para Sesepuh ini saya tolak, maka bisa malati (Kualat/Pamali),” jawab saya.
Komentar
Posting Komentar