Durian

         Saya pernah membaca sebuah kalimat pendek yang mengena. “Jika engkau belum mendapatkan ide tentang apa yang akan engkau tulis. Maka tuliskan sebuah ide yang pernah dituliskan orang lain. Itu akan lebih baik, karena engkau ikut menyebarkan apa yang pernah menjadi ide orang lain tanpa merusak reputasi namamu karena plagiat”.
     Enam bulan yang lalu saya menemukan buku kecil berjudul “Borneo, Celebes, Aru; Menjelajah Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Aru, Karya Alfred Russel Wallace”*. Ahli flora dan fauna yang seangkatan dengan Bapak Teori Evolusi, Charles Darwin.
          Dalam buku yang dicetak pertama kali pada 1869, Alfred menceritakan pengalamannya saat menjelajah pedalaman Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Aru untuk mendapatkan binatang edemik guna dipamerkan di negara asalnya, Inggris.
          Saya tidak akan menceritakan tentang keseluruhan pengalaman seperti apa yang dialami Aflred selama penjelajahan di buku itu. Tapi ada satu hal kecil yang ingin saya ceritakan ulang dalam tulisan ini tentang sebuah buah yang bagi Aflred adalah raja dari segala buah. Buah ini mampu melawan berbagai teori yang dikemukakan para ahli terkait dengan besaran buah dan tempat tumbuhnya.
          Durian. Siapa yang tidak mengenal Durian. Buah yang terbungkus kulit berduri tebal dan membutuhkan tenaga ekstra untuk membukannya, namun menghasilkan daging buang yang begitu nikmat. Baunya sangat tajam dan tentu saja mengundang selera banyak orang untuk mencicipnya.
          Saya sangat jarang makan Durian. Namun jika ada kesempatan menikmatinya, saya tidak akan pernah menghabiskan kurang dari satu. Minimal tiga buah besar yang bisa saya habiskan. Musim Durian adalah musim buah terindah yang dialami banyak manusia.
          Dalam sebuah bab, Aflred memberikan diskripsi yang begitu mendalam mengenai Durian. Durian dulu kala tidak begitu populer di Eropa seperti halnya komoditas Pala, Teh, Cengkeh, Tebu, dan lainnya. Namun ketika mencicipnya untuk pertama kalinya, rangkaian kalimat pujian sebagai bentuk kehormatan kepada kenikmatannya begitu saja terlontar tanpa beban.
          Petualang tua Linschott, pada 1599 berkata “ Buah ini (Durian) memiliki rasa yang luar biasa sehingga melampaui semua buah yang lain di dunia ini, menurut mereka yang pernah mencicipinnya,”.
          Doktor Paludanus juga pernah menuliskan, “Bahwa buah ini memiliki sifat panas dan lembab. Untuk orang yang tidak biasa dengannya, pada awal bersinggungan akan mencium bau seperti bawang busuk, tetapi tiba-tiba sesudah merasakannya, mereka lebih menyukainnya daripada makanan lainnya. Penduduk asli memberinya julukan kehormatan, mengagungkannya, dan membuat sajak tentangnnya,”.
Alfred menyatakan kalau Durian dibawa ke dalam rumah baunya sering begitu kuat sehingga sementara orang lain tidak tahan untuk merasakannya. Alfred pertama kali merasakan durian di Malaka, namun di Borneo dia banyak menemukan Durian matang tergeletak di tanah dan bisa dinikmati di tempat. Aflred kemudian menegaskan dirinya sebagai penikmat sejati Durian.
Durian tumbuh pada pohon yang lebar dan tinggi serta memiliki kulit kayu yang halus serta dan bersisik. Durian memiliki bentuk bulat maupun lonjong dengan ukuran standar sebesar buah kelapa yang besar. Berwarna hijau, dan tertutup seluruhnya dengan duri keras yang pendek dengan yang menyentuh satu sama lainnya, karenanya berbentuk persegi enam, sementara ujung durinya sangat tajam dan kuat.
Buah ini sepenuhnya “bersenjata”, sehingga kalau tangkai buahnya patah, maka akan kesulitan untuk membawanya dari tanah. Kulit luarnya begitu tebal dan keras, sehingga ketika jatuh dari ketinggian berapapun, buah ini tidak akan pernah pecah ketika menyentuh tanah. Ketika diamati dari dasar sampai puncak, dasar tangkai buah, maka akan terlihat garis yang samar-samar, dimana durinya berada dalam posisi sedikit miring. Ini adalah garis sambungan, dan menunjukkan di mana buat dapat dibelah menggunakan pisau yang berat dan tangan yang kuat.
Saat dibuka, Durian akan menampakkan lima sel yang di dalamnya berwarna putih seputih satin, dan masing-masing terisi dengan daging buah lonjong berwarna kream berjumlah dua atau tiga biji buah. Daging buah Durian yang dapat dimakan memiliki kekentalan  serta aroma yang tidak bisa digambarkan. Seperti mentega bercampur dengan almond, namun memiliki aroma seperti saus bawang, sherry coklat, keju krim dan aroma aneh lainnya. Daging ini memiliki kelengketan yang khas pada kehalusannya dan tidak dimiliki oleh buah manapun.
Tidak memiliki rasa asam, manis, tidak berair, kenikmatan buan durian terletak pada kualitasnya karena buah ini sangatlah sempurna. Bagi banyak orang, Durian tidak menyebabkan mual atau efek lainnya, semakin banyak dikonsumsi, maka semakin hilang semangat untuk menghentikannya. Memakan Durian adalah sebuah sensasi yang selalu baru seperti pengalaman baru yang belum pernah dirasakan.
 Ketika Durian sudah matang sempurna, maka akan jatuh dengan sendirinya dan itu adalah satu-satunya cara yang paling sempurna untuk menikmati Raja Buah ini.
Terkadang Durian adalah buah yang sangat mudah menimbulkan bahaya. Dengan letaknya yang begitu tinggi, ketika jatuh dengan kecepatannya dan menghantam orang yang berada di bawahnya, akibat yang ditimbulkan adalah luka mengerikan yang terus mengucurkan darah segar tapi ini tidak menimbulkan kematian.
Durian mampu mematahkan sebuah premis para ahli biotoni, bahwa buah-buah yang berukuran kecil akan selalu tumbuh di pohon yang tinggi, sedangkan buah-buahan berukuran besar akan tumbuh pada pohon yang merayap di tanah. Namun Durian tumbuh di pohon yang begitu besar dan tinggi, ini sama seperti yang terjadi pada buah Kacang Brazil.
Bukti keberadaan Durian memberi pelajaran bagi kita, pertama untuk tidak menarik kesimpulan dari sifat alam yang sangat sempit. Kedua, bahwa pohon-pohon dan buah-buahan, yang jumlahnya tidak kurang dari jumlah kerajaan binatang tidak diatur menuruti kegunaan dan kenyamanan yang terbatas pada keinginan manusia.
Terakhir, nikmatilah Durian di musim Durian selagi belum dilarang.


*Disadur sepenuhnya dari “Borneo, Celebes, Aru; Menjelajah Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Aru, Karya Alfred Russel Wallace, Penguin Book, 2007”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak