Belajar Kembali

      Saya membaca ulang “Etika Media Massa dan Kecenderungan Untuk Melanggarnya” tulisan Wiliam L Rivers dan Cleve Mathews (Gramedia, 1994).  Satu bab sudah dilewati dan di bagian akhir saya disodori empat pertanyaan sebagai bahan latihan untuk mencerna apa yang sudah disajikan dalam bagian itu. Ini menarik.
      Dulu pernah membaca sekilas, dan saya tidak peduli dengan daftar pertanyaan itu. Namun sekarang, apa salahnya jika dicoba, toh ketika salah tidak ada yang menyalahkan dan ketika benar maka siapa tahu kebenaran itu bisa menginspirasi orang lain.
      Pertanyaan pertama yang diminta untuk dikerjakan ; “Pilihlah sebuah berita yang menarik dan menyangkut lingkungan sekitar anda (proximity) dari koran lokal, terutama menyangkut kekerasan sosial. Tuliskanlah karangan paling sedikit memuat dua ratus kata untuk menjelaskan mengapa anda memprotes cerita dalam koran itu,”.
    Untuk mengerjakan pertanyaan ini saya memutuskan untuk mengambil berita lokal di Yogyakarta yang sempat heboh awal Februari lalu. Saya tidak berlangganan koran, berita online saya kira bisa mewakili keseluruhan peristiwa. (http://krjogja.com/web/news/read/26901/Aksi_Klitih_Beraksi_Pelajar_SMP_Meninggal)
     Permasalahan “klitih” atau kenakalan yang dilakukan remaja terutama pelajar kiranya tidak tepat ditampilkan di halaman muka koran lokal. Ini adalah berita yang menjual, namun dampak yang diberikan akan sangat besar.
    Jadi dalam aksi yang melibatkan pelajar dan mengakibatkan pelajar lainnya meninggal karena luka bacok, seharusnya pengelola koran tidak usah menampilkan secara vulgar. Yogyakarta dikenal sebagai pusatnya pendidikan di Indonesia. Julukan “Kota Pelajar” masih sangatlah relevan dengan kondisi banyaknya siswa yang ingin melanjutkan pendidikannya di kota ini. 
   Keberadaan klitih yang sering diberitakan didominasi usai pelajar jika terlalu sering dikabarkan ke khalayak secara perlahan-lahan akan mengingkis nama baik Yogyakarta sebagai rujukan dalam dunia pendidikan. 
     Artinya, keberadaan remaja yang melakukan aksi kejahatan seperti para pejahat, bahkan dengan alasan remeh temeh mereka mudahnya mengayunkan senjata tajam. Maka orang-orang di luar Yogyakarta beransumsi bahwa pendidikan di sini gagal total dalam menciptakan pelajar yang sesuai falsafah pengajaran. Ini akan sangat merugikan di masa depan. Bisa-bisa julukan terhormat itu akan disematkan ke kota lain yang mampu menghasilkan pelajar-pelajar berbakat dan tidak bermasalah.
     Terlebih lagi, kehadiran berita kenakalan remaja ini secara berseri seperti mengambarkan bahwa Yogyakarta sudah tidak aman lagi. Jangankan orang luar, orang Yogyakarta sendiri merasa bahwa kota yang selama ini dikenal damai dan toleran sudah semakin tidak aman.
    Jika seseorang yang sudah matang, maka penyikapan akan permasalah “tidak aman” ini akan ditanggapi dengan berimbang dan berusaha tidak menimbulkan permasalahan baru yang akan membuat ketidaktenangan. Tapi jika kondisi “tidak aman” ini dicerna oleh pemuda yang tidak punya banyak pengalaman dan darah muda yang ingin tampil di muka. Bisa dipastikan permasalahan ini tidak akan berhenti.
   Sebagai contoh saja, para remaja yang melakukan aksi kekerasan jalanan ini secara khusus sudah mempersiapkan senjata untuk melindungi diri dari serangan orang-orang yang tidak dikenal. Mereka akan beranggapan bahwa dari berita-berita ini keberadaan mereka terancam saat berada di jalan. Sehingga mereka harus melawan terlebih dahulu jika ada mara bahaya.
   Pemberitaan tentang kasus ini saya kira bisa ditempatkan dalam porsi kecil saja. Mengingat dampak besar yang dihasilkan, seharusnya tindakan nyatalah pencengahan agar kasus ini tidak terulang lagi yang semestinya mendapatkan porsi besar.
   Dengan kehadiran berita yang bersifat positif, maka bisa dipastikan kondisi berangsur-angsur akan membaik.
    Pertanyaan kedua; dalam kasus “klitih” itu, anggaplah anda buka penduduk Yogyakarta yang tidak mengenal pelajar yang tewas. Buatlah karangan minimal 200 kata, kenapa anda memprotes atau tidak memprotes?
     Membaca berita di link atas, tentu saja saya akan memprotes atas tindakan para pelaku yang dengan mudahnya menghilangkan nyawa orang lain. Ini mungkin sama seperti yang dipikirkan semua orang yang membaca berita itu. Bahkan ketika mengetahui kejadian itu dipicu masalah sepele yang berawal dari kesalahan komunikasi. Kemarahan mutlak diarahkan kepada pelaku.
   Saya membayangkan sebagai orang tua korban. Bahwa anak yang tidak bersalah meninggal sia-sia karena amarah sesaat dari pelaku yang juga masih dibawah umur. Saya sempat berpikir, kondisi ini lebih baik, meninggal dibandingkan dengan kondisi cacat tubuh yang harus diderita korban selama hidupnya.
     Karena dengan meninggal, saya minta maaf, semua pihak akan bergerak bersama untuk mencari apa permasalahan yang menjadi latar belakang dan bersama-sama pula mencari solusi untuk menyelesaikannya.
    Bagi saya, ketika seorang masih dibawah umur maka tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan orang tua dan sekolah sebagai rumah kedua mereka. Melihat latar belakang pelaku yang digambarkan dalam pemberitaan, rasanya ada yang salah dalam sistem serta konsep pendidikan yang diterima pelaku.
   Bagaimana mereka seharusnya berlaku. Bagaimana mereka seharusnya bersikap. Dan bagaimana seharusnya mereka menyingkapi sebuah masalah.
   Ada yang salah dalam proses pembelajaran mereka. Baik yang diterima pelaku maupun korban. Dikabarkan, meski dibawah umur, semua yang terlibat dalam kasus ini masih keluyuran lewat tengah malam dan mengendarai roda dua yang ijinnya oleh negara belum bisa mereka peroleh.
   Disinilah letak peran orang tua dan guru, bahkan pemerintah sebagai pelaksana negara, kenapa hal ini sampai terjadi. Berstatus pelajar, namun mereka mendapatkan tanggung jawab di kerasnya jalanan dengan kendaraan yang diberikan.
  Sekolah tidak mampu melarang siswa untuk mematuhi aturan negara untuk tidak mengendarai motor bila sesuai aturan umur. Negara kenapa tidak mampu menyediakan sebuah sarana, terutama dalam hal transportasi, sehingga pelajar bisa nyaman berangkat dan pulang sekolah.
    Waktu mereka tidak harus habis di jalan. Waktu mereka wajib habis di meja belajar. Entah itu menulis, berhitung atau membaca.

Bersambung.....


Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak