0.38

Serangan telak itu pertama kali hadir dalam kehidupanku pada dua tahun yang lalu. Dia langsung telak memukulku jatuh hingga terjungkal pada titik nadir kehidupan yang paling rendah dalam roda yang terus berjalan.
Sejarah, kebanggaan, dan cerita yang aku bangun sejak lama, tanpa proses yang berlambat-lambat langsung hancur tuntas tanpa bekas. Kejayaan yang pernah dekat selayaknya sahabat, menjauh pergi tanpa pernah menoleh kembali ke belakang. Jangan menanyakan kabar, tersenyum saat melintas di depanku pun aku rasa tidak pernah dilakukanya lagi. Kejayaan telah menjauhi.
Berawal dari kolapnya perusahaan yang sudah aku percaya mampu memberikan masa depan, ketidakberuntungan ini hadir dalam kehidupannya sampai saat ini. Sebenarnya ini adalah peluang. Peluang untuk mencari dunia baru, terutama untuk memulai usaha sendiri. Namun persiapan yang tidak jelas, akhirnya membuat semua rencana dilakukan serampangan.
Peluang kembali pada pekerjaan lama terbuka, namun jauh dari seberang. Aku tidak mau berpisah dengan istri dan anakku.
Berbagai usaha sudah aku kerjakan, untuk rugi sudah biasa. Namun tetap saja semua tidak memberikan keberuntungan dan mengembalikan kejayaan seperti dulu lagi. Aku tidak pernah berputus asa. Karena sejarah manusia ditulis dengan tangan dan tekadnya sendiri. Bukan atas nama orang lain.
Rumah ini belum sepenuhnya sempurna untuk disebut sebagai tempat tinggal saat itu. Namun bagaimana lagi, dengan kondisi yang serba mendadak, tanpa perhitungan, dan semangat yang mengebu tanpa arah beberapa tambahan kami sematkan pada rumah impian ini dengan dana yang kami rasa terbatas namun begitulah adanya. Hanya ruang tamu yang kami beri kesempurnaan dengan melapisi dindingnya dengan pleseter kemudian bercat putih bersih dan berplafon menarik. Sedangkan semua ruang lainnya, masih bergambar kotak-kotak batako dan langsung terhubung dengan seng galvalum sebagai atap utama.
Kami sudah mencoba, jatuh bangun kami rasakan. Semua aset yang bisa dicairkan segera kami cairkan.  
Hingga akhirnya tetes akhir dari dana kami habis dalam dua tahun itu, memasuki tahun ketiga kami sudah tidak punya apa-apa sama sekali. Semua kosong dan kami hanya fokus untuk bertahan. Mempertahankan kehidupan kami. Mempertahankan rumah impian kami. Dan mempertahankan masa depan putri tunggal kami.
Kami takut berbuat jahat. Karena berbuat jahat akan mendatangkan kejahatan. Kami takut untuk mengemis. Karena mengemis adalah penghinaan kepada kehormatan dan harga diri sejatinya manusia. Tapi kami tidak takut berhutang. Berhutang pada saudara, yang kebanyakan belum terbayar semua. Kepada para sahabat, yang ketika jatuh tagihan kami lebih banyak mendiamkan handphone saat berbunyi. Kami berakhir dengan menjadi musuh kepada diri sendiri.
Kami tidak berani memaki Tuhan. Karena kami tahu Tuhan-lah yang mensekenarionkan drama kehidupan kami. Kami percaya kepada Tuhan, bahwa apa yang diberikan saat ini adalah yang terbaik bagi kami untuk kehidupan yang akan datang. Kami akan selalu berusaha dan terus berdoa, agar Tuhan memberikan kami peluang untuk kembali mendapatkan apa yang kami butuhkan. Bukan apa yang kami inginkan. Kami takut Tuhan.
Di dunia ini hanya ada dua hal yang mengisinya, dan itu semua saling bertentangan. Baik buruk. Kaya miskin. Bagus jelek. Panjang pendek. Besar kecil. Lebar sempit. Ketika kita memilih satu dari kedunya, maka satunya dipastikan akan ikut pula. Entah sebagai akibat entah sebagai sebab.
Pagi ini. Saya mencoba mencoba untuk kembali tersenyum. Peristiwa pertengkaran kecil dengan istri tadi malam sudah terlupakan dengan hadirnya teh gula jawa di meja makan. Saya sarapan ala kadarnya.

“Tuhan, aku berdoa, semoga hari ini aku mendapatkan rejeki untuk keluarga kami. Apapun yang kau berikan, akan kusambut dengan penuh kebahagiaan,” kataku dalam hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak