0.37

Kami hanya bertatap mata cukup lama. 
Televisi sudah kami matikan lima menit yang lalu, saat kami sudah tidak tertarik lagi mendengar lagu dari kontes musik yang dibuat asal-asalan satu perusahaan televisi negeri ini. Sebenarnya kami sudah lama diam. Jauh sebelum putri kami berangkat tidur. 
Ini tentang masalah sore tadi yang masih membuat pusing kepala.
“Alasan apa lagi yang engkau katakan kepadanya terkait hutang kita yang belum lunas hingga sekarang,” tanya istriku dengan tetap matanya melihat ke televisi yang sudah tidak menampilkan warna-warna lagi.
“Aku kehabisan alasan,” ujarku singkat.
Istriku diam. Mungkin setiap orang juga pernah merasakan hal yang sama. Perkataan apalagi yang akan disampaikan ketika pertanyaan hanya dijawab dengan singkat saja dan tanpa semangat.
“Lalu bagaimana kau membayarnya besok sore? Aku tadi sempat mendengar dia berteriak bahwa besok sore kita harus melunasi hutang beserta bunganya atau kita akan terusir dari rumah ini,” kata istriku dengan suara yang masih tidak diberi tekanan.
Aku diam. Aku terus berpikir tentang kata-kata apa yang bisa aku ucapkan tanpa menyakiti perasaannya.
“Ya itu dipikirkan besok,” kataku malas sambil mencoba mencari sandaran di tembok belakangku.
“Kau selalu begitu, selalu menganggap enteng sebuah masalah. Kau masih kuat memegang prinsip ‘dipikir sambil jalan’. Kau sadar masalah ini akan bertambah besar jika kita segera menemukan penyelesaian. Hai!!!, kau mendengarku kan?” raung perempuan yang aku sudah nikahi delapan tahun ini.
“Iya aku mendengar dengan jelas! Terus aku harus mengatakan apa. Semua jalan sudah buntu. Semua saudara sudah angkat tangan. Semua teman sudah tidak peduli. Terus aku harus bagaimana? Coba kau bantu berpikir mencari solusi, jangan hanya diam dan selalu mengeluh tentang pekerjaan rumah tangga yang bagimu tidak ada habisnya itu,” kataku keras sambil melotot tajam ke arahnya.
Di kamar, si kecil masih mengeliat dengan suara kaki yang dihentakkan keras di ranjang. Tapi dia tidak terganggu dengan pertengkaran kami.
“Kau seharusnya sadar dari dulu. Bahwa saat memutuskan bersama mengambil hutang ini, kita akan menanggung resiko yang begitu besar. Resiko yang hingga sekarang masih belum mendapatkan jawaban dan kau terus menyerangku dengan pertanyaan bodah tentang bagaimana selanjutnya? Apa yang akan kita lakukan? Dari mana akan kau dapatkan uang itu? Dan kau tidak pernah membantu!” kataku dengan cepat sambil terus mengamati mata wanita yang selalu aku cintai ini.
Kami terdiam lagi. Kami hanya saling memandang dengan tatapan tajam. Ini seperti pertama kali kami makan malam di masa pacaran. Namun dengan perasaan yang begitu jauh berbeda.
“Kau mengatakan apalagi sampai dia berteriak keras memakimu tadi?” tanya istriku masih dengan pertanyaan ketus wanita yang sedang dalam kondisi diserang.
“Aku menawarkan kau sebagai pembayaran hutang kita sampai lunas,” kataku sambil memalingkan wajah dengan merebahkan badan. 
Plafon rumah ini masih sama seperti dulu. Dinding rumah ini juga belum diganti catnya sejak pertama kali ditempati. Tapi aku tahu, istriku sudah melontarkan amarahnya dalam diam. Diam begitu lama adalah cara ibu dari putriku ini menyampaikan amarahnya.
Kami kembali terdiam. Entah kenapa malam ini kami banyak terdiam. Biasanya seberat apapun masalah yang kami hadapi, dalam pencarian solusi kami selingin dengan tawa-tawa omong kosong untuk mengisi jeda yang kosong tanpa ucapan.
“Aku tahu, mungkin itu solusi terbaik menurutmu. Sekali lagi kau tawarkan aku sebagai pembayaran utangmu, mungkin lebih baik kau jual saja rumah ini dan kembalikan aku ke rumah bapakku tanpa pernah kau jemput lagi. Benar kata sahabatmu, kau memang lelaki bajingan brengsek. Dan mungkin, lebih baik kau potong saja kontolmu agar kau bisa merasakan bagaimana perasaan istri yang begitu mencintai suaminya menerima kenyataan dianggap sebagai pelacur untuk pelunasan hutang,” katanya dengan tajam. Dan meskipun aku tidak melihat, namun aku tahu ada getaran tangis yang ditahannya sambil berjalan menuju kamar untuk memeluk putrinya.
Aku masih tetap terdiam. Lampu ruangan tamu masih menyala terang meski menjelang tengah malam. Istriku sudah tidak lagi disampingku. Kepalaku pusing memikirkan masalah ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak