Kala Raja Gadungan Diciduk

Tulisan ini saya buat, tepat sehari Kanjeng Taat Pribadi ditangkap Kepolisian Probolinggo bersama dengan santuan dari wilayah lainnya. Jadi tulisan ini, bukan ikut-ikutan berita yang sekarang ini sedang ramai terkait Taat Pribadi. Saya sudah kirim ke basabasi.com namun tidak termuat. Selamat membaca.         
Saya kira begini ceritanya, ketika pertama kali mengelar pembagian uang gratis bagi ratusan ribu orang di padepokannya yang berada di Dusun Sumber Cengkelek, Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur pada periode 2015-an. Kanjeng Dimas Taat Pribadi berharap dialah Sang Ratu Adil yang selama ini diharapkan kehadirannya oleh rakyat untuk membawa keselamatan dan kesejahteraan.
Dengan keahliannya dalam hal mendatangkan uang secara gaib, dengan disaksikan banyak orang, dalam kurun waktu cepat, Taat Pribadi menjadi terkenal dan menjadi rujukan orang-orang yang ingin cepat kaya tanpa kerja keras. Hanya dengan menjadi santri di padepokan Taat Pribadi, mereka hanya menyetorkan uang dan mendapatkan hasil sesuai yang diinginkan. Bahkan di 11 Januari 2016 lalu, dengan restu Asosiasi Kerajaan dan Kraton Indonesia (AKKI) yang diketuai Sri Lalu Gede Pharmanegara Parman, Raja Bima, Taat Pribadi resmi menjadi raja dengan gelar prestius yaitu Sri Raja Prabu Rajasa Nagara. Gelar yang diambil dari gelar resmi Raja Hayam Wuruk, Raja terbesar dalam dinasti Majapahit dengan gelar Maharaja Sri Prabu Rajasa Negara.
Dihadiri ribuan orang dan pembagian santunan sebanyak Rp1 miliar, dalam pidatonya, Sri Raja Prabu Rajasa Nagara mengaku bahwa dia hadir untuk menjadi simbol dan pertanda penting bagi negara dan bangsa yang dikenal sebagai jamrud khatulistiwa. Sri Raja yang hanya memiliki kekuasan di sejengkal wilayah Kecamatan Gading sebagai area kerajaannya juga mengaku sebagai Raja yang akan kembali membawa persatuan dan kesatuan bagi negeri ini. Tidak hanya itu, kedepan Indonesia akan dibawahnya menjadi pemimpin tidak sekedar di wilayah ASEAN, tapi juga menjadi pemimpin dunia. Sama seperti yang dilakukan oleh Hayam Wuruk melalui Mahapatih Gadja Mada. Pengakuan ini juga resmi diperkuat oleh salah tokoh Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), , Prof Marwah Daud Ibrahim, yang bertindak sebagai panitia pengukuhan.
Tapi apa daya, belum sampai setahun menduduki jabatan Raja di kawasan daerah penghasil mangga, Sri Rajasa Kamis (22/9/2016) kemarin malah diciduk Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Jatim. Melibatkan sekitar 600 anggota yang berasal dari empat kabupaten untuk menghalau para santri yang tidak terima rajanya ditangkap, Sri Rajasa berhasil dibawa ke markas polisi dengan hanya mengenakan kaus oblong dan celana pendek.
 Menarik sekali mencermati peristiwa ini. Jika kita ingin menarik garis besar, ternyata kondisi masyarakat kita masih tertinggal jauh dalam hal pemikiran kritis dan pengunaan logika dalam menentukan sebuah tindakah. Bahkan dengan peringkat ke lima pengunaan Handphone Pintar dan peringkat ke enam penguna interner di dunia, ternyata pengunaan pemikiran tradisonal masih berkembang. Pemikiran bagaimana menghasilkan uang tanpa kerja keras, masih menduduki alam bawah sadar manusia Indonesia.
Sebagai bukti kasus ini, meski ditangkap dengan tuduhan dalang utama kasus pembunuhan dua mantan santrinya, ada kemungkinan besar kasus ini akan merebet ke kasus penipuan yang melibatkan dana miliaran rupiah. Jika kita mempergunakan pemikiran logis, meskipun memiliki kekayaan besar seorang pembisnis yang hebat tidak akan rela menyerahkan dalam jumlah miliar tanpa ada keuntungan yang didapatkan. Pengusaha tidak membutuhkan gelar raja, pengusaha hanya menginginkan keuntungan besar.

Lantas dari manakah uang sebanyak itu didapatkan Sri Raja, yang banyak dipertontonkan ke dunia maya dia mengambil uang dari belakang baju saat duduk di singasananya, seperti mengambil permen untuk kemudian dibagi-bagikan? Jika kita mencermati Skema Ponzi yang dulu sempat mengegerkan dunia, maka skema inilah yang dilakukan sang Raja. Dengan mengumpulkan banyak uang dari santri atau orang ingin kaya cepat dengan investasi tanpa resiko, dia lantas memberikan uang yang sudah didapatkan kepada pasien baru. Sedangkan pasien lama mendapatkan uangnya saat ada pasien baru yang bergabung. Skema berjalan terus-menerus. Jika sudah puncaknya saat tidak ada uang yang masuk, maka disinilah kecurangan itu terbuka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak