Ingatan Nikmatnya Jerbug, Berujung Parahnya Abrasi Selatan
“Abrasi semakin parah beberapa tahun terakhir. Mungkin bibir pantai ini nanti akan berpindah tepat di jalan cor blok depan pos beberapa tahun lagi,” papar Gotrek alias Tri Jawarto di Pantai Baru.
Setelah
berpindah ke Bantul, kehidupan saya terhubung jelas dengan kawasan pantai
Selatan. Dari sisi profesi, kawasan selatan selalu menyajikan banyak cerita
menarik yang layak menjadi berita.
Perjumpaan
yang awalnya untuk foya-foya dan senang-senang. Lambat laun menjadi keakraban
yang tidak terpisahkan pribadi saya dengan kawasan selatan.
Saya
mengakrabi setiap sudut pantainya. Mulai dari sisi timur yang berbatasan dengan
tebing-tebing tinggi perbukitan Panggang. Hingga memanjang ke barat mendekati
muara Kali Progo.
Seiring
usia manusia, semua berubah. Demikian juga kawasan pesisir. Kawasan ini menuju
tampilan yang tidak pernah dibayangkan. Motif ekonomi menjadi tema besar
perubahan. Namun alam menyajikan tampilan yang bertolak belakang.
Abrasi
semakin tampak nyata. Kehadiran Cemara Laut yang massif atas nama pariwisata
menambah persoalan penyelamatan kawasan pantai selatan semakin rumit
diselesaikan.
Maraknya
penggalian pasir di lereng-lereng Merapi, seolah-olah tidak memberi masa depan
bagi keberlangsungan kehidupan kawasan pasir yang dulunya selalu berubah
mengikuti angin.
Saya
masih ingat. Karena sayalah yang pertama kali menulis kondisi abrasi kawasan
pantai selatan Bantul. Di medio 2019, saya menulis laporan itu untuk Harian
Jogja.
Saat
penulisan, lanskap parahnya abrasi ditandai robohnya menara air beton yang ada
di barat pantai sebelah barat Samas yang sekarang bernama Goa Cemara.
Dari
data Dinas Lingkungan Hidup Bantul, abrasi saat itu pada angka satu meter
memakan daratan setiap tahunnya. Semakin meningkatnya permukaan air laut,
karena penambahan lelehan es kutub. Abrasi semakin menggila.
Pertama,
tempat pelelangan ikan (TPI) pantai Samas yang sangat lekat dengan ingatan
menghilang tanpa bekas. Tempat favorit menatap ribuan dan apiknya formasi
bintang dengan terang di waktu malam itu lenyap. Tergantikan hamparan pasir.
Di
pantai Depok. Abrasi malah mengganas. Terjangan ombak besar tidak hanya
menggerus daratan pasir saja. Ombak juga menyeret berbagai kios-kios yang nekat
didirikan di tidak jauh dari bibir pantai demi menarik wisatawan datang.
Saya
ke Pantai Baru, sengaja bertemu dengan sahabat lama yang berprofesi sebagai
nelayan dan tim SAR. Gotrek.
Disela-sela
obrolan dan sunguhan singkong rebus. Gotrek bercerita abrasi Pantai Bar, sepanjang hari pelan-pelan dirasa semakin
mendekati ke darat.
“Lima
tahun jarak terdekat pohon-pohon ini sepanjang 30 meter lebih dari bibir
pantai. Sekarang, cuma berjarak sekian meter. Ombak besar semakin mudah
menggerus pasir dan menyeret pohon-pohon dengan mudah,” jelasnya.
Tak
hanya itu, saat ombak besar di pertengahan tahun. Limpahan ombak pantai selatan
menyebrang hingga jalan tengah cor blok yang berjarak kurang lebih 100 meter
dari bibir pantai.
“Beberapa
tahun lagi posko SAR ini juga akan hilang. Nantinya pantai akan berpindah ke
utara jalan,” kata Gotrek mantap.
Ke
arah pulang saya sempatkan diri mampir ke Pantai Pandansari. Ingatan saya akan
pantai tempat mercusuar berada ini tertuju pada nikmatnya Jerbung. Udang laut
seukuran jempol kaki orang dewasa yang saat musimnya dengan mudah dijaring di
sepanjang pesisir.
Cukup
dicuci dengan air laut, lalu digoreng hingga kering. Nikmat daging Jerbung yang
lembut terasa asin masih teringat sampai sekarang. Saya sering memesan ke
rekan-rekan nelayan selatan, namun selalu kehilangan kesempatan untuk
membelinya.
Di
Pandansari, abrasi terlihat nyata. Jalan aspal yang dulu dipisahkan dengan
ratusan pohon Cemara Udang hancur kembali ke bentuk asalnya. Hamparan pasir
hitam.
Jangan tanyakan kemana kios-kios jualan yang dulu berjajar di selatan jalan. Pohon Cemara Udang yang hadir menambah keasrian Pantai Pandansari hilang tak berbekas. Hilang ditelan lautan Samudera Hindia yang sangat luas.
Saya
tak ingin berbicara tanpa data. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Bantul melalui Kepala Pelaksananya, Agus Yuli Herwanta menyajikan data yang
membuat saya miris.
“Kajian
kami, di sepuluh tahun terakhir dari 2010 sampai 2020. Daratan Bantul sepanjang
pesisir selatan hilang sebanyak 96 meter. Artinya tiap tahun abrasi melahap
daratan 3,2 meter,” terang Yuli.
Dari
data ini saya tidak menyangsingkan pernyataan Gotrek yang setiap hari
kecipratan air laut.
Abrasi
tidak akan bisa dilawan. Pantai selatan tidak memiliki area khusus untuk
ditanam tembakau. Kecuali di Baros. Itupun jauh dari kawasan pantai langsung.
Dirinya
meyakini, abrasi kedepan akan semakin diperparah dengan kondisi lahan pasir
yang dalam beberapa tahun ini tidak berubah.
Kawasan
pasir selatan Bantul, khususnya di sepanjang Parangtritis-Depok adalah satu
dari dua pasir bergerak yang dimiliki dunia. Satunya ada di Brazil.
Pasir
ini setiap tahun akan bergerak mengikuti arah angin karena adanya penambahan
butir-butir pasir yang terbawa angin. Angin masih terus bergerak, namun tidak
lagi membawa butiran pasir. Jutaan butiran ini tertahan daun-daun Cemara Udang.
Tak
hanya itu, Gotrek membenarkan ramalan para sesepuh.
“
Pasir kidul wes wancine entek, amarga pasir lor dikeruk tanpa ukuran. Pasir
pantai selatan sudah waktunya habis, karena pasir di utara dikeruk diambil
tanpa ada batasan”.
Sepanjang
perjalanan pulang saya membenarkan ramalan ini. Pantai selatan sudah banyak
berubah fasadnya. Tetapi dunia samaran yang menghidupinya tetap hingar binggar
tanpa pengakuan.
Komentar
Posting Komentar