Di Bridge, Pertanyaan ‘Mengapa’ Harus Dijawab Jelas

Saat memulai menulis ini pandangan mata saya kabur karena terlalu lama menatap layar handphone di ruangan minim cahaya. Butuh waktu agak lama sel kerucut saya menyeimbangkan keberadaannya dengan sel batang di kedua mata.

Soal ‘Bridge’ saya ingin menuliskannya sejak kepulangan dari Porwanas Malang tahun lalu. Namun karena masih banyak uang, jadi saya malas menuliskannya. Sekarang dalam kondisi awal tahun. keuangan babak belur. Ya sudah kita mulai ceritanya.

Permainan Bridge saya kenal pertama kali pada medio 2016 lalu kalau tidak salah. Saat itu beberapa wartawan senior menanyakan apakah saya bisa ‘Truf’. Berhubung di Yogyakarta, khususnya Bantul tidak banyak atau sulit menemukan orang yang suka truf, saya mengiyakan saja.

Soal truf, kami sudah lama berkenalan. Bahkan saat masih bersekolah atas di Genteng, Banyuwangi. Permainan truf merupakan kegiatan pemuda Barega Baja setiap malam. Dimulai pukul 19.00 permainan bisa berakhir hingga 01.00 WIB.

Sistem poin, yang kalah kupingnya digantungi botol minuman energy yang diikat dengan benang jahit. Sepuluh kali berturut-turut kalah poin, yang sudah botol itu selalu berpindah dari kuping kiri ke kuping kanan.

Awalnya permainan bridge saya pikir sama dengan truf. Ternyata truf adalah dasarnya. Bridge mengandalkan pemahaman teori yang mendalam dan koneksi erat dengan pasangan. Kalau membaca dan menghitung kartu itu sudah dasar semua permainan kartu 13.

Harus menghafalkan komposisi kartu yang akan ditawarkan ke rekan. Bahkan respon yang kita berikan atas kartu teman bisa membuat celaka atau menang. Memang awalnya kesulitan menerapkan teori 1D, 1S, 1S, 1NT sampai 1C beserta responnya.


Pada latihan pertama menyambut Porwarda, meski hanya bersifat pertandingan persahabatan. Saya mempersembahkan perak. Saya dan teman-teman menyimpulkan karena itu keberuntungan.

Nah sejak setahun terakhir saya dan rekan-rekan lama ditambah orang baru memutuskan berlatih rutin seminggu sekali. Dulu di Harian Jogja, sekarang berpindah di depan RRI Kotabaru. Masih dengan pelatih yang sama.

Saya pribadi harus memulai lagi dari nol. Banyak teori penawaran dan jawaban yang lupa. Perlu banyak perhatian agar teori penawaran dan jawaban itu tidak hilang. Tidak lupa juga banyak latihan agar lancar otaknya.

Di tengah permainan, terkadang pelatih menanyakan satu hal yang membuat saya kesulitan menjawab. ‘Mengapa membuang itu pak?

Awalnya itu tidak kami pedulikan. Tapi karena sering kali dan terus menerus ditanyakan. Akhirnya kami memberi perhatian, kenapa pertanyaan ‘Mengapa’ selalu ditanyakan?

Di dunia jurnalistik, pertanyaan mengapa adalah pertanyaan terakhir terpenting yang akan membuat cerita di berita semakin menarik dibaca. Tanpa pertanyaan mengapa, rasanya berita itu hambar dan tanpa nilai.

Sama seperti Apa, Siapa, Kapan, Dimana dan Bagaimana. Pertanyaan mengapa itu harus bisa dijawab dan tertuang di tubuh berita. Jadi ketika berada di lapangan, pertanyaan yang selalu saya ajukan pasti terkait dengan mengapa. Ini agar berita saya berbunyi.

Kembali ke bridge. Pertanyaan mengapa harus dijawab agar logika berpikir dalam bermain kartu terbentuk. Kita tidak bisa ujung-ujung membuang kartu yang penting. Atau kartu yang tidak berguna tanpa memberikan pesan kepada teman kita.

Semua kartu yang dibuang atau ditaruhkan dengan lawan harus memiliki arti. Jadi pertanyaan mengapa itu diajukan tergantung kondisi dan jawabannya biasanya menurut para suhu bridge biasanya sama. Kalau sama-sama sudah ahlinya  pasti paham.

Kami, saya dan sekitar lima sampai tujuh orang lainnya tengah berusaha membuat klub bridge di Yogyakarta. Dulu ceritanya memang ada klub, tetapi karena pemainnya sudah lanjut usia akhirnya cerita klub ini tidak berlanjut.

Jika kalian tanya apa yang kami dapatkan dari bridge. Saya yang akan menjawab tidak ada. Bridge ini adalah permainan yang menjadi hiburan atau katakanlah healing bagi kami. Bertemu dengan orang-orang yang sama-sama menyenangi permainan berhitung dan berlogika itu menyenangkan.

Meski pekerjaan saya bergelut dengan otak, kehadiran Bridge bisa mampu menjadi sebuah pelarian yang menyediakan kenyamanan terhadap otak. Saya berpikir bridge selalu bisa menyegarkan otak saya kembali ke nol.

Karena dari berbagai kesalahan maupun kemenangan-kemenangan dramatis, otak saya dipenuhi dengan pertanyaan mengapa?

Soal klub bridge, saat ini saya mengikuti dua malam latihan. Selasa malam di depan RRI Kotabaru, Jumat malam saya berlatih lagi dengan beberapa rekan di Bantul. Tepatnya daerah UMY.


Kami sempat berupaya mengajak rekan-rekan jurnalis di Yogyakarta untuk mencoba permainan ini. Namun hanya mendengarkan penjelasan saja, mereka sudah menegaskan tidak mampu. Karena sudah capek berpikir.

Lewat tulisan ini, saya mewakili rekan-rekan pencinta Bridge berharap ada generasi muda yang bisa menemani latihan kami berlatih di setiap minggunya. Tidak masalah tidak bisa, karena kami akan mengajari anda sampai bisa.

Baru kalau anda ingin menjadi atlet. Anda kami luncurkan ke pelatih yang benar-benar sudah berkompeten meski mereka sudah lanjut usia. Tapi soal ingatan, mereka masih memiliki otak yang terus bekerja aktif dan tidak pelupa.

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak