Tradisi September Itu Datang Di Awal Agustus









Saya mendapatkan informasi terendamnya lahan pertanian di Bantul selatan Kamis (2/8) sore. Keterbatasan waktu sajalah yang menjadi alasan saya mendatangi kawasan yang berjarak 15 kilometer dari rumah esok paginya.
Bersama seorang kawan, saya berangkat ke sana. Kami tidak menyangka jika pasang laut pada Kamis malam ternyata memperluas areal persawahan yang terpendam.
Jika sebelumnya areal yang terendam berada di lahan yang tidak jauh dari Sungai Opak yang berada di sisi timur. Jumat (3/8) pagi, areal yang tidak jauh dari Sungai Winongo di sisi barat juga terendam.
Kami menemui Yuswanto Harjono (71), seorang petani yang pagi itu bersama satu kawannya sedang memindah mesin pompa ke areal bawang merahnya yang terendam.

Baginya tanaman bawang merah yang baru berumur 28 hari itu harus bisa diselamatkan. Dia merelakan 2.500 meter persegi tanaman cabe terendam di sawah lainnya.
“Air mengenangi areal bawang merah saya pada Rabu sore. Sedangkan tanaman cabai sudah tidak bisa diselamatkan karena terendam sejak Senin (30/7) kemarin,” katanya disela-sela pekerjannya.
Mbak Harjono adalah petani yang areal sawahnya masuk Desa Srigading, Kecamatan Sanden.
Meski desa sudah membantu dengan mengerahkan pompa air besar untuk menguras genangan air yang masuk sejak Minggu petang. Namun debit air tidak pernah berkurang, meskipun dipompa terus menerus sejak Senin tanpa henti.
Sebagai upaya terakhir, Mbah Harjono mengurangi genangan air luapan muara Sungai Opak dengan dua pompa kecil agar tanaman bawang merahnya bisa diselamatkan.
“Jika bawang merah ini tidak bisa diselematkan, total dengan tanaman cabai di sana saya rugi Rp30 juta,” ujarnya.
Tidak jauh dari sawah Mbah Harjono, Kang Yuli mengatakan kepada saya, genangan air yang memasuki areal persawahan ini disebabkan tersumbantnya sodetan (sowangan) laguna Opak ke laut karena tertutup pasir. Pasir ini dibawa ombak besar yang sejak akhir Juli lalu melanda laut selatan.
Tak cukup atas keterangan dua orang itu. Saya kemudian beranjak ke areal persawahan yang masuk wilayah adminitrasi Desa Tirtohargo, Kretek. Dua desa di dua kecamatan bertetangga ini merupakan areal terdampak musibah ini.

Saya bertemu Turbinoto. Dia sedang mengawasi delapan mesin pompa bekerja menguras air yang mengenani 4.600 meter persegi tanaman bawang merahnya.
“Kejadian ini biasanya setiap September. Sehingga akhir Agustus, petani sudah panen raya dan membiarkan lahannya tergenang sampai dua-tiga pekan. Bawang merah saya 28 hari lagi siap panen,” jelasnya.
Karena itulah, dirinya berusaha mati-matian menyelamatkan tanaman bawang merahnya agar bisa dipanen. Meski sudah tahu rugi, Turbinoto berharap panenan nanti bisa mengembalikan modal.
Sedangkan biaya bahan bakar delapan mesin pompanya yang harus hidup terus, Ia menyatakan itu resiko yang harus ditanggung. Dalam sehari, Turbinoto menghabiskan delapan liter premiun untuk satu mesin.
Dia mengaku sudah mengoperasikan delapan mesin pompa itu sejak Senin untuk mengeluarkan air yang masuk cepat. Kebetulan posisi lahannya berada dekat dengan. Dikalkulasikan, Turbinoto mengeluarkan uang hingga Rp2,5 juta untuk pompa saja.
Keterangan lengkap saya dapatkan dari Kepala Desa Tirtohargo Supriyono. Beliau saya temui dipinggir jalan menuju hutan mangrove Pantai Baros usai melihat kerja bhakti warga membuka sodetan muara Opak.

“Kerja bhati digalakkan sejak Senin lalu. Puncaknya Jumat pagi, hampir 300-an warga terlibat,” terangnya saat bertanya berapa warga yang terlibat.
Supriyono bercerita, hingga Kamis sore dia sudah melaporkan ke dinas terkait bahwa ada 55 hektar lahan tergenang dan dipastikan bertambah. Semuanya mengalami gagal panen, terutama komoditas bawang yang paling besar, palawija dan sayuran di depan mata.
Tersumbatnya muara Opak ke pantai selatan, menurutnya merupakan tradisi tahunan. Kalangan petani di sisir selatan, paham bahwa di September muara pasti tertutup karena besarnya ombak.
Tapi hadirnya gelombang tinggi yang sudah berlangsung sejak dua pekan lalu menghadirkan musibah. Air sungai Opak tidak bisa keluar masih ditambah limpahan air yang dilontarkan laut sehingga menambah debit laguna.
“Sodetan sekarang adalah sodetan baru. Yang lama hilang akibat banjir besar tahun lalu. Warga harus bekerja keras mengangkat pasir karena sodetan sepanjang 90 meter itu tersumbat pasir berketebalan 3-4 meter,” ujarnya.
Meski sudah bekerja sejak Senin, namun debit air tidak berkurang bahkan bertambah di sore hari, karena dikerjakan secara manual. Alat berat dibutuhkan untuk mempercepat proses pengurangan debit laguna.
Pemerintah melalui Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) sempat mengirimkan ekskavator, namun karena daya jangkaunnya hanya tiga meter saja. Warga menilai kehadiran ekskavator ini tidak efektif dan menghentikan operasinya.
Dengan daya jangkau terbatas ditakutkan ekskavator mengambil posisi di bibir sodetan. Padahal pasir yang menjadi pijakan adalah jenis halus dan basah sehingga mudah longsor. Warga enggan mendapatkan musibah tambahan jika ekskavator jatuh dan terseret ke laut.
“Jika dua hektar ada kerugian Rp30 juta, maka dari data tadi kalangan petani mengalami kerugian hingga Rp825 juta. Kami berharap pemerintah segera turun tangan agar kerugian tidak bertambah besar,” tegasnya.
Kiranya luasan lahan yang disampaikan Supriyono ini berbeda dengan yang disampaikan Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul Pulung Hariyadi.
“Sampai Jumat pagi data luasan yang terendah sekitar 25 hektar saja, angka ini meningkat dari sebelumnya 21 hektar,” jelasnya.
Sebagai upaya mengatasi musibah ini, Pulung menyatakan pemerintah telah mengirimkan alat berat dan mengoperasikan pompa di beberapa titik. Namun dia enggan menjelaskan tentang berapanya.
Sama seperti petani dan kepala desa, Pulung menyatakan kejadian ini adalah musibah karena hadir di awal Agustus. Berdasarkan pengalaman, biasanya awal September baru hadir dan itupun lahan sudah dalam kondisi kosong karena panen raya.
Kedepan, Pulung memberi solusi menyikapi fenomena alam bagi petani sisir selatan. Pihaknya sudah bekerjasama dengan Balai Teknologi Produksi Pertanian (BTPT) guna menghadirkan padi yang tahan air asin. Harapannya meski lahan terendam, namun petani tetap mendapatkan penghasilan.
“Soal kerugian saya belum mendapatkan perhitungan besarnya berapa. Saat ini tim di lapangan sedang mengumpulkannya,” jelasnya.
Ketika saya makan siang, Supriyono menghampiri saya dan menyatakan BBWSSO sore nanti mengirimkan ekskavator yang lebih besar untuk mempercepat pengurangan air di laguna. Saya memutuskan menunggu.
Sore harinya saya bertemu dengan Suyanto yang menjabat Kepala Satuan Kerja (Satker) Pelaksanaan Jaringan Sumber Air (PJSA) BBWSSO. Bersama beliau, saya ikut serta melihat sodetan yang menjadi pangkal masalah.
Kami melintasi muara sungai Opak dengan perahu untuk menuju pinggiran Pantai Baros yang berjarak 300 meteran dari wisata hutan mangrove.
Proses pengerukan pasir secara manual masih berlangsung. Warga dibantu aparat TNI dan Polri bekerja bergantian. Bantuan konsumsi dari desa dan swadaya warga berdatangan tanpa henti. Mereka tidak peduli dengan kencangnya angin laut selatan.
Sodetan atau dikenal dengan nama sowangan, merupakan jalur air sungai Opak menuju laut sesuai dengan gambaran Kepala Desa. Warga harus bekerja keras secara manual dengan alat seadanya menyingkirkan pasir yang tebalnya 4 meter agar air mengalir ke laut. Kerja keras itu membuahkan hasil, meskipun belum mengurangi debit air.
“Melihat kondisinya, BBWSSO akan membuat sodetan tambahan dengan dua ekskavator yang dalam perjalanan. Rekomendasi warga menjadi dasar kami dalam pembuatan sodetan baru nanti. Mungkin 3-5 sodetan baru,” kata Suyanto yang ternyata berasal dari Banyuwangi.
Suyanto mengatakan sodetan baru ini sifatnya sementara. Sehingga ketika air muara Opak lancar mengalir ke laut, sodetan akan ditutup, kecuali satu yang sedang dikerjakan warga.
Sunyanto enggan menyalahkan alam akan kejadian ini. Namun yang pasti ke depan BBWSSO akan melakukan pembenahan daerah aliran sungai agar ke depan musibah ini tidak terjadi lagi.
“Soal sodetan baru, warga meminta kepada kami agar dibuat dengan jarak yang cukup jauh. Mereka takut jika berdekatan pasir antar sodetan akan terbawa arus dan itu akan merusak pantai. Kami siap membantu,” jelasnya.
Dalam perjalanan pulang, saya bertemu dengan Kepala Kelompok Tani Pasir Makmur Desa Srigading Sumarno. Sambil menikmati teh hangat diangkringan saya mendapatkan informasi bahwa ada sekitar 30-an hektar lahan miliki anggota kelompoknya yang terendam dan dipastikan gagal panen.
“Kami sayangkan pemerintah tidak bergerak cepat memberikan bantuan. Padahal Rabu (1/8) Bupati meninjau lapangan namun tidak ada tindak lanjut sama sekali. Beberapa kawan geram dengan pembiaran ini,” katanya tegas.
Saya bertanya bagaimana dengan kerugian yang diderita petani. Sumarno sangat berharap pemerintah memberikan bantuan selayaknya. Dia tahu pemerintah memiliki dana yang dikhusukan kejadian yang dikategorikan musibah.
Dan ini adalah musibah bagi petani. Musibah September yang datang awal Agustus.
Perjalanan pulang saya menyakinkan diri sendiri, bahwa petani sisir selatan Bantul adalah orang-orang kuat yang mampu bertahan di tengah musibah besar ini. Peristiwa rutin ini mengingatkan saya bahwa alam telah berubah. Manusia harus tetap bertahan.
Di atas kapal tadi saya mengambil satu potongan senja.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak