Penampilan Wayang Kardus Di Perumahan Saya

























Sebelum saya menulis lebih jauh. Saya pribadi dan mungkin mewakili warga perumahan mengucapkan permohonan sebesar-besarnya kepada budayawan wayang. Apa yang kami lakukan ini bertujuan hiburan semata, tidak ada maksud lain.

Mengingat kesuksesan penampilan ketoprak mini ‘Bawang Merah dan Bawang Putih’ di tirakat dua tahun lalu yang berhasil menghadirkan gelak tawa warga di malam tirakatan 17 Agustus. Bapak-bapak menjawil saya untuk bergabung dalam pertunjukan serupa tahun ini.

Saya mengiyakan. Setahun sekali tampil berbeda dengan menghibur warga kiranya tidak membuat hidup saya bertambah beban. Toh penampilan di atas panggung tidak ada artinya dibandingkan dengan perjuangan pahlawan kemerdekaan.

Tanpa babibu, singkat kata terkumpul enam bapak-bapak lainnya termasuk saya. Pak Asep, Pak Heri, Pak Nanang, Pak Doni, dan Pak Ryan. Dua malam sebelum pentas kami rapat singkat.

Dengan musyawarah mufakat, atas usulan Pak Asep ketoprak mini mengambil setting wayang orang dengan cerita berbasis pada Ramayana. Malam itu kami sepakat semua dialog tidak dicatat. Hanya garis besar pertunjukan yang kami tetapkan dan improvisasi dialog mutlak yang dibutuhkan.

Deal.

Cerita Ramayana, yang panjangnya hingga beratus-ratus episode seperti yang ditayangkan tv-tv itu kami rombak habis. Kami persingkat dengan sesingkat-singkatnya. Minimal 15 menit dan maksimal 20 menit durasi pertunjukannya.

Kami sepakat menampilkan empat babak utama yang mengambil fragme penculikan Shinta oleh Rahwana dan pertarungan Rama melawan Rahwana. Sudah itu saja.

Masalahnya, persewaan kostum menjelang malam tirakatnya sudah habis terpesan. Jikapun ada, harganya sudah menembus Rp200.000,- per kostum. Mubazir jika menyewanya. Maka kami sepakat menggunakan kardus dan berbagai barang daur ulang sebagai kostum.

Dua malam kami lembur mengerjakan properti untuk pertunjukan. Memotong, menggambar motif, dan mengecat.

























Dalam pembagian peran, Pak Asep bertindak sebagai dalang yang sepenuhnya bertugas mengatur jalannya pertunjukkan dan mengingatkan aktor akan garis besar cerita. Pak Doni menjadi Rama. Pak Nanang menjadi Shinta yang memiliki tubuh tambun. Pak Heri menjadi Hanoman si Kera Putih. Pak Ryan menjadi Jatayu. Dan sayamenjadi Rahwana.

Pribadi saya cocok dengan peran ini. Meskipun dikenal jahat dan buruk rupa karena memiliki wajah sepuluh (dari sinilah Dasamuka berasal). Rahwana yang suka membawa lari istri orang lain yang cantik dalam beberapa sudut pandang adalah tipe pria setia.

Dalam kisah aslinya, Rahwana bersedia menunggu agar Shinta berkenan menerima cintanya. Tidak hanya hadiah-hadiah mewah sesuai keinginan Shinta maupun ruang dan taman indah yang dipersembahkan. Demi cinta Shinta, Rahwana bersedia menyambung nyawa asalkan Shinta bahagia.

Mungkin seperti itulah saya. Tapi sifat membawa lari istri orang tidak termasuk. Saya adalah tipe suami setia.

Babak pertama dimulai dengan adegan Rama-Shinta bermadu kasih di hutan. Kemudian Rama meninggalkan Shinta sendirian karena mengejar kijang emas atas permintaan istri tercinta.

Babak kedua, Rahwana muncul. Memakai helm yang ditempeli tiga topeng di sisi kanan kiri dan belakang, saya dengan pede bertelanjang dada dan hanya menyelewangkan selendang putih milik istri saya sebagai penutup dada. Singkat kata, Rahwana menculik Shinta untuk dibawa ke Alengka.

Masuk babak ketiga, Rama yang kehilangan istrinya meminta tolong Jatayu dan Hanoman pergi mencari dimana keberadaannya. Mereka berdua sukses mendapatkan informasi valid bahwa Shinta berada di Negara Alengka yang dikuasai Rahwana.

Di babak akhir, semua aktor bertemu dalam satu panggung dan terjadilah pertarungan. Jatayu yang maju pertama kalah menderita patah lengah. Hanoman yang maju berikutnya, sebelum bertanding sudah menyerang karena songokan pisang oleh Rahwana.

Terjadilah pertarungan Rama vs Rahwana. Pertarungan yang lucu dan menghadirkan gelak tawa penonton. Anak-anak tertawa lepas termasuk putri saya. Saya pribadi dan mungkin bapak-bapak yang turut tampil juga merasakan hal yang sama.

Persis seperti cerita. Rama menang dan Shinta kembali ke pelukan. Cerita selesai.

Ternyata tampil di panggung dengan improvisasi total menghidupkan cerita ternyata sulit. Terlebih lagi saya baru dua kali manggung dalam pementasan drama. Biasanya sih menyanyi.

Untungnya kami terbiasa sehari-hari dengan guyonan. Sehingga improvisasi dialog yang kami lakukan tidak menemui kendala. Bahkan beberapa dialog, khusunya pemeran Rama dan Shinta berhasil memancing gelak tawa.

Maklum Rama adalah penguasa pentas dan merupakan pekerjaan tetapnya. Jadi dia mampu menguasai pentas dengan sempurna. Sedangkan Shinta, adalah parodi tentang wanita cantik yang mengalami obesitas. Masih menarik dan tentu saja diperebutkan banyak orang.

Jatayu dan Hanoman tampil sempurna. Mampu menyembunyikan kekakuan dan menghadirkan gerak lucu.

Sedangkan Rahwana. Saya tidak berani memberikan penilaian. Karena saya yakin saya masih pemula.


Tapi apapun yang kami tampilkan malam itu ternyata bisa membuat penonton tertawa sebelum pulang sudah menjadi kepuasan pada kami.

Bahkan putri saya sudah dua kali meminta saya menceritkan Rama-Shinta sebelum tidur. Sebuah pekerjaan yang menyenangkan menghadirkan imajinasi yang seakurat-akuratnya di kepala putri saya untuk selanjutnya menjadi kenangan bahwa bapaknya bisa tampil drama dan pernah bercerita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak