Meski Kalah, Prabowo-Sandi Menang Banyak
Konstelasi politik pemilihan Presiden 2019 yang kembali
mempertemukan Joko Widodo melawan Prabowo Subiyanto sudah diperkirakan lama
oleh pengamat politik. Menariknya, hingar bingar pilpres kali ini berada pada
kursi calon Wakil Presiden yang akan mendampingin keduanya.
Ditentukan dalam hitungan jam menjelang penutupan
pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden. Kedua kubu yang di depan publik
selalu dikaitkan dengan permusuhan seperti menunggu siapa yang terlebih dulu mengumumkan
Cawapresnya. Strategi ini sudah jamak dilakukan di perpolitikan Indonesia.
Saya melihat Jokowi berani mengambil keputusan
mengumumkan Cawapresnya terlebih dahulu karena dia berada di atas angin. Klaim-klaim
keberhasilan yang disebarkan begitu masif oleh pendukungnya menjadi dasar bahwa
sebagai petahanan Jokowi berpeluang besar melanjutkan tampuk kepemimpinan.
Tidak peduli dia berpasangan dengan siapa saja, banyak
survei yang memberikan harapan pada kemenangannya.
Terpilihnya Ma’arif Amin sebagai pendampingnya dalam lima
tahun kedepan begitu mengejutkan banyak orang termasuk Prabowo. Sebuah langkah
masuk akal dari Jokowi ditengah kampanye SARA dan radikalisme agamis yang
cenderung merusak kesatuan bangsa.
Mengangkat ulama besar dan tokoh dulu pernah dekat dengan
pihak lawan untuk melancarkan isu-isu berbau agama. Menjadikan Jokowi memiliki
benteng kokoh melawan serbuan kampanye hitam. Tinggal sekarang bagaimana
strategi timnya untuk mengaet pemilih muda modern yang cenderung menyukai kalangan
tua yang konservatif.
Lima jam usai pengumuman Cawapres Jokowi. Menjelang
tengah malam Prabowo mengebrak dunia politik Indonesia dengan mengandeng Wakil
Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno sebagai Cawapresnya. Isu politik uang
menyeruak dari pengumuman itu.
Seperti jamak diketahui, Prabowo yang didukung dua partai
oposisi lainnya, PKS dan PAN, merekomendakan nama-nama hasil Itjima Ulama yang
tidak jauh jatuh dari kalangan agamawan yang selama ini menjadi pengkritik
keras Jokowi.
Namun Prabowo sang politikus ulung. Ditengah tekanan
partai pendukungnya, dia merapat ke Demokrat yang sejak tersingkir dari
pemerintahan menjadi partai oposan yang cenderung tidak bersuara dan menunggu.
Hasilnya, sempat terjadi kesepakatan bahwa Cawapres Prabowo berasal dari partai
berlambang Mercy. Kandidat terkuat jatuh pada anak pertama Ketua Umum dan
Pendiri Demokrat, Agus Harimukti Yudhoyono.
Sama seperti Jokowi. Prabowo berani menjalankan strategi
yang keluar dari pakem politik dan hasil survei. Dengan lantang dia menjatuhkan
pilihan ke Sandiaga yang notabene masih menjadi Wakil Ketua partainya.
Apa yang dilakukan Prabowo saya ibaratkan solusi jalan
tengah yang bijaksana. Ditengah desakan dua partai oposisi yang ingin
orang-orangnya menjadi orang nomor dua republik ini, Prabowo menyodorkan orang
dari partainya sendiri yang sangat mungkin diterima oleh kedua partai karena
kesamaan visi dan misi.
Sandiaga juga menjadi kunci bagi Prabowo untuk lepas dari
jeratan kepentingan Demokrat yang diketahui memiliki hasrat kuat melanjutkan
kekuasaan melalui trahnya. Hadirnya Sandiaga maka peluang Demokrat mengembosi
gerakan kampanya bagi Prabowo di tengah jalan berkurang.
Terlepas bagaiamanapun kondisi perpolitikan Indonesia,
kehadiran Prabowo-Sandiaga melawan Jokowi-Amin sangat penting. Prabowo-Sandiaga
menjadi penjawab yang tegas bahwa masih ada lawan untuk Jokowi.
Ditengah gencarnya kampanye tentang keberhasilan
kepemimpinan Jokowi selama empat tahun
terakhir baik dari infrastruktur, penghematan anggaran, meningkatnya
penangkapan koruptur, turunnya angka kemiskinan, dan lain-lain. Prabowo harus
dihadir untuk menjadi anomali bagi Jokowi.
Nama Jokowi-Prabowo dalam gelanggang pilpres sejak 2014
lalu seperti ‘dua musuh yang saling menyayangi’.
Sejak kalah pada 2014, hanya nama Prabowo yang paling
santer diposisikan sebagai Capres 2019. Nama lain sempat muncul. Namun ketidakseriusan
insan politik mengarap nama-nama itu kemudian tenggelam hingga akhir waktu
pendaftaran. Sempat berdamai pada tahun-tahun awal kepemimpin Jokowi, Prabowo
terkesan tidak banyak bersuara. Jikapun bersuara, hanya kritik universal yang
semua orang bisa sampaikan. Tanpa tendesi dan tanpa isi.
Menjelang 2018, Prabowo semakin berani bersuara terlebih
lagi dengan dukungan partai oposisi. Kritik yang dilancarkan Prabowo semakin
pedas dan akhirnya mendapatkan masa yang cukup besar. Strategi kampanye yang
cantik.
Meski diterpa berbagai isu-isu yang cenderung menyerang
secara personal dan terhubung dengan masalah keuangan dirinya, sempat muncul
isu belum dibayaran gaji pegawai pabrik kertasnya. Namun Prabowo dengan percaya
diri masih tetap menyatakan ingin maju sebagai Capres melawan Jokowi.
Jokowi membutuhkan Prabowo. Karena sebagai anomali,
keberhasilan dia dalam memimpin harus ada yang memberikan kritik nyata dengan
menjadi lawan tanding dalam Piplres. Jokowi sadar, bahwa keberhasilan apapun
yang sudah dibangun tanpa ada yang memberikan kritik maka itu adalah pekerjaan
sia-sia.
Munculnya berbagai kritik pedas dari lawan yang nyata
maka semua informasi tentang keberhasilannya akan begitu cepat disebarkan oleh
pendukungnya sebagai perlawanan terhadap informasi dari sebelah. Disertai bukti
dan pengakuan dari orang-orang yang mengalamiya, Jokowi menocba mendapatan
simpati untuk kedua kalinya.
Lantas bagaimana nantinya jalannya pertarungan?
Diatas kerja, pasti Jokowi-Amin yang menang. Namun
Prabowo akan mendapatkan hal setimpal dari yang sudah dikeluarkan jikapun
kalah.
Logika saya mencoba mencerna jalannya politik
Jokowi-Prabowo. Pertama, sejak 2014 lalu hanya ada satu nama yang dirasa kuat
menjadi lawan tanding bagi Jokowi. Prabowo saja. Yang lain hanya manisan gula
politik.
Meski dimata masyarakat Prabowo adalah orang super kaya.
Namun dengan segala aktifitasnya, bisa jadi Prabowo kekurangan pendapatan dari
usahanya. Jika isu belum terbayarnya gaji karyawan pabrik kertasnya benar, maka
satu kesimpulan yang bisa ditarik bahwa Prabowo dalam kondisi pailit.
Dugaan saya, semoga tidak benar. Dari sinilah muncul
transaksi politik antara Jokowi dan Prabowo. Dimana satunya membutuhkan lawan
dan di sisi satunya membutuhkan pendapatan. Jika Prabowo menang akan
mendapatkan banyak. Jika kalah maka ada penganti atas kerugiannya karena
bersedia berkorban menjadi lawan dengan posisi akan selalu kalah.
Saya tidak tahu apakah nantinya transaksi politik antara
keduanya dalam bentul material atau berupa kebijakan saja. Karena bisa saja,
jika nantinya Jokowi yang menang, dia akan membuat sebuah kebijakan yang tidak
diketahui publik untuk memberikan bantuan kepada Prabowo dengan memberikan
proyek negara kepada perusahaan miliknya.
Toh begitu mudah dilakukan Jokowi di masa kepemimpinannya
yang kedua. Belajar dari masa Presiden sebelumnya. Dengan batas dua periode
saja sebagai batas kepemimpinan Presiden. Biasanya di periode pertama akan
digunakan untuk bekerja keras dan mencari simpati rakyat untuk bisa terpilih
kembali di periode selanjutnya.
Jika nantinya terpilih kembali, maka lima tahun adalah
tahun mengabdi untuk mendapatkan nama di masa tua. Berbagai program tetap
dijalankan, namun kecenderungannya biasanya program itu sebagai timbal balik
bagi para pendukung yang telah memenangkannya.
Prabowo adalah lawan yang bersedia bertarung dengan
Jokowi tanpa biaya. Ini adalah pertarungan terakhirnya sebagai Presiden. Jika
menang dia mendapatkan cita-cita. Jika kalah tidak apa-apa karena ada
pendapatan yang masuk dari kebijakan Presiden langsung.
Pertanyaannya sekarang, jika memang Prabowo pailit lantas
dari mana uang kampanyenya? Jelas dari Sandiaga Uno.
Saya melihat kebenaranya tentang isu uang mahar Rp500
miliar dari Sandiaga. Kabarnya uang itu dibagi rata untuk PKS dan PAN dengan
dalil dana kampanye.
PKS membutuhkan dana besar karena lima tahun tidak
mendapatkan pemasukkan dan uang itu bisa membayar denda senilai Rp30 miliar kepada
Fahri Hamzah yang dimenangkan pengadilan. PAN juga dalam kondisi yang sama.
Tapi kemungkinan sebagai uang, entah Rp50-100 miliar akan dilarikan kepada
keluarga besar pendiri partai. Salah satu tebakan saya adalah Amien Rais.
Bagi orang sekaya Sandiaga, Rp500 miliar itu tidak ada
artinya. Sebagai seorang pedagang, Sandi jelas pintar dalam melihat peluang dan
mendapatkan laba dari sana. Sebagai Wagub DKI Jakarta, Sandi tidak memiliki
relasi kekuasaan yang kuat dibandingkan Gub. Dengan usia yang masih muda, Sandi
pasti memiliki ide-ide cemerlang yang tidak bisa wujudkan karena perbedaan
pandang dengan Anies.
Karena itulah, meskipun dalam hatinya dia yakin akan rugi
karena kehilangan uang Rp500 miliar. Saya menduga dia menganggap itu adalah
biaya termurah yang dia keluarkan guna mengkampanyekan dirinya sebagai calon
pemimpin bangsa pada 2024. Sehingga selama masa kampanye pilpres 2019 nanti,
saya pastikan Sandi akan mengebrak dengan berbagai kampanye yang tidak biasa
dan cenderung berada di awan-awan. Seperti yang dia lakukan saat pilkada DKI
Jakarta lalu.
Tapi namanya tetap dikenal. Tetap diingat. Tetap memiliki
peluang maju di pilpres 2024. Untung-untung nantiny Jokowi memilihnya menjadi
Staff Khusus Presiden, Menteri Perdagangan, atau Menteri Koperasi dan UMKM.
Pasti namanya akan lebih moncer lagi untuk maju.
Dan ketika Jokowi menjadikan Sandi sebagai menteri, dia
tidak memiliki hubungan lagi dengan partai pendukungnya soal kebijakan. Termasuk
partai yang membesarkan namanya, PDI Perjuangan.
Catatan saya, dan sudah sering saya sampaikan ke banyak
teman. Prabowo-Sandiaga bisa menang melawan Jokowi jika mampu menghadirkan
isu-isu perekonomian terkini, isu pemulihan sumber daya alam, isu penggunaan
teknologi terbarukan untuk energi, dan isu ekonomi kreatif. Bukannya isu SARA
dan radikalisme.
Komentar
Posting Komentar