Politik Dalam Rokok dan Anti Rokok


Muhammadiyah Tobacco Control Center Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (MTCC UMY) pada Selasa (22/8) merilis bahwa kenaikan harga rokok yang optimal adalah cara tepat kampanye anti rokok di Indonesia. Kenaikan harga rokok optimal merupakan cara ampuh mengurangi jumlah perokok.

Praktisi Kedokteran Keluarga dan Kesehatan Global, MTCC UMY, April Imam Prabowo menyatakan dalam laporan yang dirilis Kementerian Kesehatan pada 2017 lalu. Terjadi pertumbuhan perokok pemula dengan kisaran usia 15-19 tahun menembus angka 23,1 persen dari total jumlah perokok aktif di Indonesia. Angka itu naik hampir dua kali lipat dari 15 tahun sebelumnya yang berkisar pada 12,7 persen.

Dengan kondisi ini, jumlah perokok remaja laki-laki menembus angka lebih dari separuh dari jumlah total perokok di Indonesia yang diperkirakan mencapai 90 juta orang. Angka persentasi jumlah perokok remaja laki-laki sebesar 54,8 persen.

MTCC UMY memastikan terjadinya peningkatan jumlah perokok pemula di Indonesia salah satu faktor dominannya adalah harga rokok yang masih terjangkau, terutama oleh kalangan masyarakat kelas bawah. Ketergantungan masyarakat akan rokok menjadikan 22 persen pengeluaran keluarga menjadi asap.

Selain harga rokok yang terjangkau, MMTC memastikan bahwa perokok pemula menjadikan orang tuanya yang perokok aktif sebagai contoh pertama bagi mereka mengenal dunia rokok. Selanjutnya lingkungan pergaulan yang tidak sesuai menjadi faktor pendukung.

Tidak hanya itu, periklanan perusahaan rokok yang begitu masif, menjadi biang keladi beredarnya rokok di kawasan pedalaman yang notabene kelangan pemuda belum mengerti tentang dampak buruk asap tembakau.

Bersama dengan Muhammadiy Economy Tim, MMTC memastikan biaya atas kesehatan akibat dampak merokok lebih besar dibandingkan dengan penerimaan negara akan cukai rokok. Di 2017, sebesar Rp235 triliun yang dikeluarkan oleh perorangan maupun pemerintah melalui jaminan kesehatan untuk merawat penderita akibat rokok. Di tahun yang sama, penerimaan akan cukai negara dikisaran Rp170 triliun. Dua kali lebih kecil dibandingkan dana kesehatan.

Naiknya harga rokok hingga harga optimal seperti di negara maju. MTCC memakai ukuran harga Rp50.000 perbungkus. Adalah langkah manis dalam membendung peningkatan jumlah perokok. Tingginya harga ini juga dinilai tidak akan merugikan negara dari pemasukkan cukai rokok.

MTCC juga berkeyakinan, bahwa tingginya harga rokok akan memberikan dampak nyata pada peningkatan perekonomian petani tembakau karena mendapatkan harga tinggi dari penjualan.

Namun perlawanan terhadap kenaikan harga rokok dinyatakan Sekertaris Jenderal Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) Ketut Budiman. Seperti termuat di kanal http://mediaindonesia.com/read/detail/173473-kampanye-antirokok-berimbas-ke-petani-tembakau-dan-cengkeh.html

APCI melihat kampanye antirokok yang masih digalakkan oleh beberapa lembaga kesehatan dan akademi, khususnya soal harga Rp50.000 per bungkus, memberikan dampak negatif kepada petani tembakau dan cengkeh.

Sebagai salah satu sumber pendapatan APBN yang berkisar 10 persen per tahunnya, APCI melihat pemerintah tidak pernah bersikap adil kepada seluruh petani tembakau dan cengkeh. Salah satunya adalah membuka kran impor untuk kedua komoditas itu.

Sebagai gambaran saja, dengan kebutuhan tembakau produksi rokok yang mencapai 176 ribu ton pertahun. Petani Indonesia sebenarnya bisa memenuhi kebutuhan itu karena produk tembakau di tingkat petani per tahunnya mencapai angka 350-400 ribu ton per tahun.

Demikian juga dengan cengkeh. Dengan kapasitas produksi per musim mencapai 110 ton. Bila dibandingkan dengan kebutuhan cengkeh untuk rokok yang hanya 90 ribu sampai 100 ribu ton. Pemerintah seharusnya tidak membuka kran impor tembakau maupun cengkeh karena produksi dalam negeri sudah bisa mencukupi.

Dengan kenaikan harga rokok, APCI memperkirakan tingginya harga bahan baku rokok hanya akan dinikmati oleh negara pengekspor tembakau dan cengkeh ke Indonesia. Sedangkan kalangan petani dalam negeri tidak akan menikmati karena hasil panenan mereka tidak terserap pabrik rokok.

APCI juga melihat bahwa impor tembakau dan rokok yang dibuka pemerintah menyalahi ‘Peta Jalan Produksi Industri Hasil Tembakau 2015-2020 yang dibuat Menteri Perindustrian

Ditargetkan pada 2020, Indonesia bisa 524,2 miliar batang rokok yang bila dikalkulasikan kasar, maka akan membutuhkan sekitar 225-300 ton tembakau per tahun. Maka dengan kondisi produksi tembakau, pemerintah secara tidak langsung mematikan kehidupan petani tembakau.

Padahal secara internasional, hasil panen tembakau maupun cengkeh asli Indonesia memiliki kualitas nomor satu dibandingkan produk negara lainnya seperti Tiongkok, Turki, dan India.

Tidak terserapnya hasil panen ini, diperkirakan lebih dari separoh pekerja yang bekecimpung di industri rokok dari hulu sampai hilir akan kehilangan mata pencaharian. Saat ini diperkirakan 6 juta orang mengandalkan hidup dari industri rokok dalam negeri.

Jamak diketahui, jika ada sebuah pertentangan di masyarakat maka ada politik kekuasaan yang bermain. Demikian juga dengan apa yang terjadi pada dunia perokokan dunia. Politik ekonomi turut hadir.


Meski tidak mengetahui secara panjang dan lengkap, namun saya melihat bahwa pertentangan dalam dunia rokok terlibat aktif politik ekonomi di sana. Tidak hanya kepentingan politik ekonomi dari para produsen tembakau dan cengkeh dunia. Namun juga institusi kesehatan dunia yang mencoba mengeruk untung.


Semasa menjabat sebagai sebagai Ketua Komisi VI DPR RI Airlangga Hartarto sempat menyatakan bahwa banyak aliran dana asing ke dalam negeri dalam rangka memerangi industri hasil tembakau. Hartanto yang sekarang menjabat sebagai Menteri Perindustrian saat itu mengingatkan kampanye tersebut harus dilihat seimbang apakah tujuan murni dari kepentingan kesehatan atau terselip kepentingan industri rokok putih.

Keberhasilan industri rokok putih menurutnya akan menghilangkan kesempatan rokok kretek meraih pasar. Padahal industri rokok kretek adalah industri berbasis warisan budaya.
Untuk ini saya menyarankan menenggok artikel di kanal https://www.suryaden.com/brainstorming/anti-tembakau-dan-sesat-pikir.
Dalam artikel itu, pemilik kanal suryaden.com mengcungkil hasil riset Wanda Hamilton yang ditulis dalam buku ‘Nicotin War’, yang menyatakan, bahwa ada sesuatu dibalik kampanye anti tembakau ada kepentingan besar yang dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT).

Wanda mengambarkan NTC ini merupakan permulaan dari kemenangan-kemenangan korporasi-korporasi farmasi internasional dengan suksesnya kampanye global anti tembakau yang mendapat dukungan penuh dari badan internasional kesehatan dunia dan para antek-anteknya.

Prakarsa Bebas Tembakau (Free Tobacco Inisitiative) yang menjadi kebijakan badan dunia WHO dalam kebijakan meraih ‘Kesehatan untuk Semua di Abad 21’. Disinyalir  mendapatkan dukungan dana dari tiga korporasi farmasi besar manufaktur produk-produk Nicotine Replacement Treatment (NRT), yakni Pharmacia & Upjohn, Novartis dan GlaxoWellcome.
Secara umum dalam bukunya Wanda ingin menunjukkan bahwa kepentingan bisnis dari korporasi-korporasi farmasi internasional ada dalam agenda pengontrolan tembakau ini. Ada tiga keuntungan yang didapatkan dari kampanye anti rokok.
Pertama, lewat proyek, prakarsa ini industri tembakau dapat dibunuh, setidak-tidaknya dapat dihambat perkembangannya. Kedua, saat bersamaan industri farmasi dapat leluasa mempromosikan produk-produk therapi penggantian nikotin.
Ketiga, pertama dan kedua di atas dapat dilakukan melalui dan dengan dukungan badan dunia WHO melalui kebijakan dan regulasi yang mematikan industri tembakau dan menghidupkan industri farmasi yang menghasilkan dan menjual produk-produk therapi penggantian nikotin.
Dengan dukungan WHO ini juga dua hal di atas dapat dilakukan secara global dan menerobos batas-batas kedaulatan suatu negara dan menembus batas administrasi negara dengan dukungan keuangan yang kuat.
Semangat baru tentang kesehatan ini, pemerintah didesak menghadirkan peraturan-peraturan dan menghadapkan antara orang perokok dan anti rokok dengan sebutan perokok pasif. Tidak hanya itu, melalui aturan-aturan itu pemerintah didesak menghadirkan sebuah kebijakan yang dinilai bermanfaat bagi masyarakat seperti tersedianya ruang merokok dan lain-lain.
Perlawanan terhadap anti rokok juga diperjuangkan oleh Robert A. Levy adalah Ketua Dewan Direksi Cato Institute di Georgetown University dan Rosalind B. Marimont, ilmuwan dan pakar matematika di National Institute of Standards and Technology di Amerika.
Melalui artikel yang mereka tulis Lies, Damned Lies & 400.000 Smoking-Relating Deaths, Levy dan Marimont mengungkapkan bahwa kebenaran adalah korban pertama dalam perang melawan tembakau. Simak di http://www.politikindonesia.com/index.php?k=politisiana&i=17152
Levy-Marimont menyatakan bahwa ada kebohongan besar dalam kampanye anti rokok yang digagas oleh badan-badan kesehatan dunia. Mereka berdua menyajikan fakta bahwa pernyataan 400.000 kematian prematur setiap tahun di Amerika akibat merokok merupakan kebohongan besar.
Hal ini hanya merupakan mantra untuk menjustifikasi semua tindakan regulasi dan legislasi tembakau. Propaganda diparadekan sebagai fakta.
Angka kematian ini merupakan estimasi dari sebuah program perhitungan yang mengabaikan semua aturan mengenai epidemiology, secara cepat menyimpulkan efek rokok terhadap kematian.
Perang terhadap rokok yang menyebar di dunia, dari penelitian mereka, dimulai dari setitik kebenaran bahwa rokok itu memiliki suatu faktor risiko kanker paru-paru. Setitik kebenaran ini kemudian dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi suatu monster kebohongan dan ketamakan, serta mengikis kredibilitas pemerintah dan men-subversi rule of law.
Levy-Marimont melihat dalam kampanye anti rokok terselip paradigma penerapan ilmu sampah (junk science) yang menggantikan ilmu pengetahuan yang jujur (honest science). 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak