Memancing Adalah Detoksifikasi Gawai
Seorang kawan berkata, memancing adalah hobi orang-orang
yang tidak memiliki pekerjaan. Pemancing adalah orang-orang yang suka membuang
waktu memandang pelampung bergerak saat umpan dimakan ikan. Tidak memberikan
manfaat sama sekali dalam kehidupan.
Sebagai anak yang tumbuh besar dengan menghabiskan waktu
bermain di sungai, ada dua pelajaran penting yang harus dikuasi. Berenang dan
memancing.
Berenang, kemampuan bertahan hidup agar tidak tenggelam.
Memancing kemampuan bertahan hidup mencari lauk.
Sekarang, ditengah kesibukan kerja. Memancing adalah hobi
yang mampu mengosongkan pikiran dari kekalutan. Sebuah relaksasi yang murah atau
mahal, tergantung tempat mengkail ikannya.
Namun, entah berapapun uang yang dikeluarkan. Tarikan ikan,
sekecil apapun memberikan getaran yang membuat adiktif. Ketagihan untuk melakukannya
lagi.
Dalam sebulan, saya hanya mendapatkan dua kali kesempatan
memancing di akhir pekan. Kesempatan saya berangkat ‘uncal’ bertambah
frenkuensinya jika ada tanggal merah di hari kerja. Saya bebas berkelana
menyusuri sungai.
Ketika memancing ada dua tas yang saya bawa. Tas besar
untuk peralatan. Tas kecil selempang untuk menyimpan dompet, rokok, air minum dan
telepon pintar (gawai).
Bagi saya ketika fokus memandang pelampung, saya tidak
ingin terganggu dengan dering maupun getaran gawai. Barulah di masa istirahat,
perpindahan tempat, atau usai memancing gawai itu akan saya perhatikan. Membalas
semua pesan atau telepon yang masuk.
Karena sehari-hari saya tidak bisa lepas dari gawai
karena pekerjaan. Memancing adalah detoksifikasi saya atas kecanduan gawai. Bagi
saya itu penting.
Di tengah ketergantungan manusia pada gawai,
detoksifikasi saya katakan adalah kebutuhan. Tidak hanya menjadi median utama
berkomunikasi dengan kolega. Gawai adalah pintu masuk berbagai informasi yang
entah kita sukai atau tidak.
Dari gawailah, terkadang muncul kesalahpahaman. Terlebih di
sebuah negara yang memiliki tingkat literasi rendah. Gawai menjadi alat menghadirkan
isu-isu yang mematik permusuhan dan memecah belah kerukunan.
Dengan tata bahasa yang saling menyerang, pengguna
internet saling menghujat, saling menghina, dan saling menyalahkan. Kita tidak
bisa lepas dari situasi itu saat ini.
Ketidakbisaan terlepas dari gawai sempat dilaporkan media
Inggris The Guardian dalam artikelnya tentang berapa sering seseorang melihat
gawainya. Tingkat tren kecanduan gawai di Inggris mencapai 12 menit. Artinya seseorang
akan selalu mengecek gawainya maksimal 12 menit.
Kenapa ini terjadi?
Dalam artikelnya ‘Relaks Dengan Gawai’ Budi Hardiman
melihat kecanduan berasal dari kesalahan individu dalam memposisikan gawai, yang
seharusnya menjadi alat tapi diposisikan sebagai bagian kehidupan.
Gawai adalah alat, sarana untuk mencapai tujuan. Sama seperti
cangkul, sebuah alat yang ditempatkan mansuia di luar dirinya. Sehingga cangkul
hanya digunakan sebagai alat saja.
Tidak dengan gawai, manusia tidak mempermainkannya, tapi
bermain dengannya. Bersama gawai manusia berpikir bahkan tidak jarang
menjadikannya sebagai sebuah bagian dari diri yang turut merasakan hal-hal yang
dialami.
Manusia membiarkan gawai mengambil bagian dari diri mereka.
Entah isi pikiran, ungkapan perasaan, keyakinan, penilaian, gambar diri, dimbil
dan diolah oleh peranti itu.
Manusia bahkan rela menyerahkan rahasia dan kehidupan
privat kepadanya untuk dibagikan ke khalayak umum atas seizinnya. Gawai telah
menjadi alter ego. Gawai menjadi penganti dari orang tua, guru, sejarahwan,
atau peran-peran yang selama ini tidak pernah mengisi ruang hampa dalam dirinya.
Dari kondisi ini, semakin sering manusia memnggunakan gawai
guna pamer diri, maka gawai akan menghadirkan keengganan manusia memakai
pikiran sendiri.
Kepada gawai manusia menyimpan semua relasi-relasi,
komunikasi-komunikasi, dan bahkan uangnya. Semakin kecanduan, manusia semakin
takut kehilangan gawai. Tanpa gawai manusia gelisah karena takut ketinggalan
informasi atau kehilangan kontak. Manusia semakin mendelegasikan banyak pada gawai.
Hubungan manusia dengan gawai tak pernah lagi relaks atau
santai tapi tegang.
Sebagai upaya detoksifikasi akan gawai. Manusia harus
memiliki kesadaran bahwa ini hanyalah sebuah alat. Manusia harus mampu bersikap
ikhlas, sebuah sikap yang tidak tidak muncul dari pemikiran kalkulatif. Tetapi ikhlas
adalah sifat yang muncul dari pemikiran meditatif, fokus, dan peduli dengan
keberadaan manusia di dunia ini.
Melihat tingkat kecanduan dan bahaya tersembunyi dari
gawai, terkadang saya berpikir piranti ini adalah racun sosial yang membuat manusia
lebih beringas, merasa sedih berlebihan, dan terisolasi.
Padahal kondisi ini bisa kita atasi dengan salong berkomunikasi
langsung dengan manusia lainnya atau menjalankan kegiatan tanpa berhubungan
dengan piranti ini barang sehari saja.
Karena itulah, sebagai detoksifikasi gawai saya memilih
memancing sebagai pelarian. Seharian memandang pelampung tanpa sekalipun
menyentuh gawai adalah sebuah pelarian yang tepat. Tanpa membahayakan diri
sendiri.
Jadi kapan dirimu ada waktu, saya bersedia menemani dan
mengajarimu memancing wader.
Komentar
Posting Komentar