Sebuah Tulisan Pendek Dari Senior
Pada suatu malam saya
kehilangan inspirasi melanjutkan proyek dua cerita pendek yang mengambarkan
kehidupan perumahan sekarang dan kehidupan jalanan dulu. Semua jalan inspirasi buntut.
Otak ini membutuhkan
asupan alkohol di tengah menipisnya uang. Akhirnya dihentikan dulu semua.
Sebuah pesan masuk via
WA. Menarik. Sambil menikmati Dji Sam Soe jatah dari kawan, membaca kiriman
tulisan ini cukup menarik.
Sebenarnya inti tulisan
ini sudah pernah saya baca dua tiga tahun lalu di halaman fanpage. Namun saat
saya ulang, tidak ketemu lagi.
Berhubungan berita
kematian di Bandung akibat alkohol (baca: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43715119)
sedang naik daun. Soal ini saya bohong, sebenarnya berita “Al-Quran Itu
Karya Fiksi” sedang ramai dibicarakan.
Namun tulisan wartawan
senior ini tepat. Intinya mengenai tradisi dan pelajaran tentang bagaimana
aturan seorang pemabuk dalam kebudayaan Jawa. Sedikit menukil apa yang
dituliskan di BBC;
Menurut Antropolog Universitas
Indonesia Iwan Meulia Pirous mengkonsumsi alkohol bagaimanapun adalah sebuah
tradisi di Indonesia. Dalam masyarakat agrikultur seperti Indonesia kerap
mengkonsumsi alkohol yang berasal dari surplus pertanian seperti beras.
"Surplus itu di
banyak kebudayaan tidak bisa habis dimakan atau dijual. Disimpan pun masih
terlalu banyak. Akhirnya difermentasi untuk makanan, sebagian untuk
minuman," terang Iwan Pirous.
Jjadi kebiasaan untuk
minum di Nusantara itu berawal dari tradisi surplus yang sangat biasa di masa
lalu. Tapi menjadi problem karena bertentangan dengan norma sesudahnya yaitu
Islam.
Alkohol sulit dijangkau
oleh konsumen lewat peraturan pemerintah yang ketat dan harga yang tinggi. Ini
akibat adanya regulasi terlalu ketat.
Ironisnya, ketatnya
peraturan minuman keras justru mendorong orang-orang mengkonsumsi miras
oplosan, seperti yang terungkap lewat penelitian Center for Indonesian Policy
Studies pada 2016 lalu.
Pemerintah pada 2015 lalu
melarang penjualan minumal beralkohol di minimarket dan convenient store yang
ditetapkan. Kondisi ini mengakibatkan pengawasan penjualan minuman beralkohol
secara tidak resmi menjadi lebih sulit dibandingkan sebelumnya.
Toh lebih mudah mengawasi
toko-toko resmi daripada warung-warung tak berizin yang menjual bebas alkohol
tidak resmi," kata Sugianto.
Selama 10 tahun, dari
tahun 2008 sampai 2018, total korban tewas akibat miras oplosan mencapai 837
orang dengan sekitar 300 orang tewas selama tahun 2008 dan 2013. Angka ini melonjak
tajam sepanjang tahun 2014 hingga 2018 dengan jumlah korban mencapai lebih dari
500 orang.
"Kemungkinan ada
hubungannya dengan pelarangan penjualan alkohol di minimarket. Aturan ini menghasilkan
harga tinggi minuman beralkohol akibat pajak yang terlalu besar," katanya.
Melihat kondisi ini Sugianto
merekomendasikan sagar pemerintah mempertimbangkan penurunan pajak atas minuman
beralkohol karena penelitian menunjukkan sejumlah pelanggan akan terus
mencarinya.
Pernyataan ini didasarkan
pada Asumsi bahwa masyarakat tidak akan menjauhi alkohol meski dibuat mahal. Tetapi
kenyataannya orang tetap ingin minum dan pelariannya adalah minuman beralkohol
berharga murah.
Dan lagipula, Iwan Pirous
berpendapat, tradisi meminum alkohol tidak akan bisa dikubur karena sudah
menjadi kebutuhan hiburan orang akan tetap melakukannya.
Baiklah, saya tidak akan
menulis panjang dikali lebar. Saya persembahkan tulisan berjudul “Budaya Minum
Minuman Keras” karya Agus Utantoro,Wartawan Senior Media Indonesia;
DI Yogyakarta sebagai
daerah yang tua, juga mengakui adanya orang-orang yang minum minuman keras.
“Diakui pula,
mimum-minuman keras itu dapat menyebabkan berbagai permasalahan. Karena itu,
ada pembatasan-pembatasan agar orang yang mabuk itu tidak menyusahkan orang
lain,” kata Kukuh Setyono.
Budayawan asal Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta ini mengemukakan, hal itu terbukti dalam berbagai
buku primbon yang ada, selalu menampilkan adanya catatan mengenai minum-minuman
keras itu.
Ia menyebutkan, budaya
Jawa mengenal adanya ‘candrane tiyang inum’ atau kondisi seseorang terpengaruh minuman keras
dari yang paling kecil hingga terbesar. “Disebutkan ada sepuluh kondisi yang
disebabkan oleh banyaknya minuman keras yang dikonsumsi pada satu saat,”
katanya.
Menurut Dhe Kukuh –
demikian biasa disapa – budaya Jawa menyebut orang yang minum satu sloki (gelas
khusus untuk minum minuman keras), akan ada pada kondisi yang disebut atau
dicandra eka padma sari.
“Eka artinya satu, padma
adalah kembang. Artinya orang yang minum satu sloki ibarat orang yang riang
sebagaimana setelah meminum sari bunga atau madu,” katanya.
Jika ia menambah dengan
satu sloki lagi atau minum dua sloki, katanya, maka orang pada posisi dwi
amartani. Meminum sloki kedua ibarat masih serba enak untuk diajak komunikasi,
menyenangkan dan gembira.
“Minum sloki ketiga, ibarat
tri kawula busana; tri: tiga atau sloki, ibarat kawula atau pembantu atau abdi
yang mendapat hadiah busana baru, dan mulai ngelunjak, pembantu yang ingin
sejajar dengan bendara,” katanya.
Namun, jika masih
melanjutkan, ujarnya, sloki keempat atau catur. Maka kemudian dicandra sebagai
catur wanara rukem. Catur berarti empat, wanara berarti kera, rukem berarti
buah-buahan.
“Diibaratkan orang sudah
seperti kera yang berebut buah-buahan. Ramai dan sesekali sudah saling
mengejek, saling berebut dan bahkan mulai muncul saling ancam,” katanya.
Minum sloki kelima diibaratkan
panca sura panggah atau orang yang terpengaruh miras itu mulai berani dan
mengaku apa pun siap melaksanakan. “Sloki keenam diibaratkan sad guna weweka,
orang mulai curiga dengan orang lain. Menganggap orang lain membicarakan, dan
menggunjingkan dirinya.
Disusul yang sloki ketujuh
adalah sapta kukila warsa, yakni mulut si peminum yang sudah terpengaruh mulai
banyak bicara tak karuan, badan sering tergetar ibarat burung yang kehujanan.
Kukila artinya burung, warsa artinya hujan. Seperti burung yang kehujanan.
Terpengaruh sloki kedelapan,
imbuhnya, orang mulai sering berbuat semena-mena kepada orang lain, atau
disebut astha sacara-cara.
Sedangkan keadaan
kesembilan, disebut nawa gra lapa, atau badan seseorang yang mengkonsumsi miras
itu mulai lemas dan bahkan kehilangan kekuatan dan kemampuan berbicara yang
bernalar.
“Akhirnya pada tingkatan
tertinggi adalah dasa yaksa mati atau sudah seperti raksasa yang tewas. Diam,
dan memerlukan pertolongan penyelamatan,” katanya.
Menurut Dhe Kukuh,
pengetahuan semacam ini sudah tidak banyak diperhatikan. Orang hanya mencari
miras untuk mabuk hingga tidak tahu batasan hingga banyak yang terenggut
nyawanya, atau masih dapat diselamatkan tetapi sudah kehilangan
pengelihatannya.
Kebiasaan minum yang
dapat membahayakan itu, imbuh Mbah Giek, budayawan Lembah Code, juga telah
menginspirasi KGPAA Paku Alam IV.
Penguasa Kadipaten
Pakualaman ini menciptakan tarian jenis beksan, yang disebut Beksan Inum. Beksan
ini menggambarkan orang yang minum minuman keras.
Penyajian Beksan Inum
imbuhnya, ditarikan oleh empat orang
penari laki-laki dengan gerakan madya.
Menurut dia, gerakan
dalam Beksan Inum ini sangat khas dan memiliki gerakan khas tari Pura
Pakualaman yang disebut gerak pajek sabetan.
“Tarian ini pada dasarnya
terdiri dari enam bagian. Adegan meminum minuman keras itu sendiri ada pada
bagian keempat, yaitu gerakan minum atau
toast yang diiringi dengan gending Ladrang Inum,” katanya.
Catatan: Nama
narasumber adalah khayalan. Tetapi aturan minum adalah produk kebudayaan Jawa
dan Bali .
Komentar
Posting Komentar