Infobesity
Saya tertarik tentang
kata ini ketika pertama kali membacanya dalam sebuah artikel di satu situs
berita. ‘Infobesity’.
Dari beberapa pencarian,
barulah saya mengetahui bahwa arti kata ini menyangkut tentang kejenuhan
informasi yang dialami manusia di era digital sekarang ini. Kata infobesity ini
berasal dari dua kata terpisah yaitu ‘informasi’ dan ‘obesitas’. Ini mengacu
pada kelebihan berat badan akibat konsumsi cepat saji yang tidak terkontrol.
Terus terang saya agak
ragu, dengan kapasitas dan kemampuan saya membahas masalah ini. Meski pada
dasarnya ini termasuk dalam kajian studi yang begitu saya minati. Saya memutuskan
memberanikan diri karena saya nekad.
Infobesity pertama kali
muncul dalam ‘The Shock Future’ Alvin Tofller yang bercerita tentang kondisi
masa depan manusia dengan perkembangan teknologinya termasuk komunikasi.
Berbagai bentuk media massa, diramalkan akan hadir dalam bentuk yang sangat
mudah didapatkan dalam dalam satu kemasan (Kovergensi media). Dan ini sudah
terjadi.
Dari satu perangkat saja,
kita bisa menikmati berbagai informasi yang dulu harus disajikan dalam kertas,
radio, dan televisi. Saat ini semuanya menjadi satu dan murah.
Mudahnya mendapatkan
informasi setiap saat, menjadikan kondisi otak manusia mengalami kejenuhan
informasi. Dimana kemampuan otak sudah melewati batas maksimumnya dalam
mengelolah informasi yang didapatkan.
Infobesity ini
mengambarkan manusia dalam situasi yang mencerna berbagai informasi sampah yang
sebenarnya tidak mereka butuhkan. Informasi sampah ini kemudian mengendap di
otak, sehingga kemampuan otak dalam bekerja terutama untuk mengulang sebuah
informasi menjadi berkurang.
Dampaknya, manusia
membutuhkan alat bantu dalam mencari berbagai informasi yang dia inginkan. Akhirnya
kehadiran mesin pencari di dunia maya seperti Google menjadi pembenaran. Tulis kata
yang kau mau, lalu semua muncul dengan sekali klik. Sim salabim.
Terlalu mudah memang
prosesnya. Tapi ingat, setiap yang memudahkan pasti berdampak pada sesuatu yang
tidak menyenangkan. Gambarannya dan ini bisa anda buktikan, semua informasi
yang disajikan oleh mesin pencari lebih banyak tidak berguna.
Jika kalaupun itu kita
butuhkan, kita harus mengoreksi dan menyusun ulang apa yang ingin disampaikan
dalam informasi yang diberikan.
Sudut pandang lain,
infobesity yang terjadi sekarang ini mengambarkan bagaimana manusia dipaksa
membaca ratusan halaman koran setiap harinya tanpa sadar. Lewat dunia sosial, lewat situs langganan, maupun saluran
informasi digital lainnya.
Ini berbeda dengan
dahulu. Ketika kita membutuhkan sebuah informasi tentang satu kata, kamus
menjadi referensi utama dan itu diakui secara ilmiah. Bahkan jika kita ingin
memahami sesuatu permasalahan, kita tinggal datang ke perpustakaan dan meminta
pustakawan memberikan referensi buku yang tepat tentang apa yang kita inginkan.
Infobesity menjadikan
manusia manja bergerak dalam menentukan informasi apa yang ingin mereka
inginkan. Mereka menelan mentah-mentah tanpa melakukan konfirmasi ulang
terhadap sebuah informasi.
Jadi apa yang harus
dilakukan?
Dulu saya tidak begitu
tertarik dengan teori penjaga gawang yang dulu diajarkan dalam mata kuliah
teori-teori komunikasi. Saya lebih tertarik pada teori simbol dan kedekatan
jarak.
Dalam teori penjaga
gawang, digambarkan bahwa setiap manusia sebagai penerima pesan adalah penjaga
gawang otaknya. Mereka sepenuhnya memiliki kontrol dan kuasa akan sebuah
informasi yang bagi mereka penting untuk disimpan.
Berbeda dengan penjaga
gawang di sepakbola yang harus menjaga gawangnya dari gol lawan. Penjaga gawang
informasi bertugas menyeleksi mana saja informasi yang dirasa perlu dan menolak
informasi yang tidak berguna.
Ini sulit, karena seorang
penjaga gawang diwajibkan memiliki referensi akan ketertarikan pribadinya akan
sebuah informasi.
Dalam mengkonsumsi
informasi dunia digital, saya membatasi informasi tentang sepakbola, komunikasi
politik, kajian media, flora fauna, dan tantangan manusia di masa depan yang menjadi
perhatian saya. Informasi lainnya saya anggap sepintas lalu tanpa perlu
didalami lebih lanjut.
Saya tidak akan menyebut
kehadiran Google menjadikan bodoh manusia. Tetapi kehadirannya memang membuat
manusia malas melakukan pencarian informasi ulang.
Komentar
Posting Komentar