Menimang-nimang Presiden 2019
Perjumpaan saya dengan Taufik Rahma seorang Peneliti Centre for Presidential Studies, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada berawal dari ajakan Arief Koes rekan wartawan dari majalah nasional. Toh acara yang akan saya datangi berada dalam satu area.
Berbicara santai dengan
Taufik, rasanya saya belajar dasar ilmu politik yang fokus membaca pergerakan
perebutan kekuasaan kursi Presiden. Terlebih lagi tahun pesta demokrasi akan memanas.
Sejauh ini, hanya dua
orang saja yang sudah mendeklarasikan dirinya maju dalam Pemilihan Presiden
2019. Pertama tentu saja Joko Widodo yang ingin mempertahankan dua periode
kekuasaan dengan dukungan partai-partai PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, PSI,
Perindo, dan Hanura.
Kemudian di pihak
lawannya, Prabowo Subianto Ketua Umum Gerindra mencoba membalas kekalahan di
2014 lalu dengan mengandeng PKS sebagai mitra koalisinya.
Untuk kubu Demokrat dan
PAN masih adem ayem tanpa ada gerakan yang mencolok.
Membahas pertarungan
Jokowi vs Prabowo, ini seperti Pilpres
2014. Bedanya saat ini banyak partai yang berubah haluan sehingga terkesan di
pihak lawan Jokowi lemah.
Tapi semua bisa berubah
dalam hitungan jam kedepannya. Di politik ada saat menjadi kawan, ada saat menjadi lawan. Kepentingan adalah tujuan utama.
Sesuai judulnya, mencoba
menulis ulang apa yang sudah saya obrolkan dengan Mas Taufik sambil menikmati
kopi cappucino. Menurutnya, sampai Agustus nanti hanya akan ada dua calon yang bakal
maju mendaftarkan diri sebagai Presiden. Entah Jokowi-Prabowo atau Jokowi-Agus
Harimurti Yudhoyono (AHY).
“Jangan menganggap kubu
Demokrat tenang-tenang saja. SBY dengan road shownya ke berbagai daerah saat
ini adalah bentuk penggalangan dukungan yang nantinya akan menjadi daya tawar
AHY maju. Jika opsi Jokowi-AHY yang bertarung. Ini akan menjadi seru, karena
AHY akan tampil semaksimal mungkin meraih pemilih muda. Persis seperti yang
dilakukan bapaknya pada 2004 lalu,” urai Taufik.
Baiklah mari kita
bicarakan opsi Pilpres Jokowi-Prabowo. Tentu saja, kemenangan Anies-Sandi di
DKI Jakarta akan menjadi role mode bagi kubu Prabowo memenangkan pemilu. Sentimen
negatif SARA akan menjadi ujung tombak selama kampanye menurut Taufik.
Tantangan inilah yang
bagi Taufik harus bisa dijawab Jokowi dengan memilih calon Wakil Presiden yang
mampu meredam atau minimal tidak membuat kampanye sentimen negatif SARA ini
berkembang lebih luas.
Kita mulai dari Jokowi
dulu sebagai petahanan.
Dari sudut pandang
Taufik, ada beberapa nama yang bisa dipilih Jokowi menjadi pendampingnya guna
melawan Prabowo. Tapi perlu diingat, pemilihan nama Cawapres bagi Jokowi ini
dilandasi dua pokok kepentingan yang kiranya tidak banyak orang bicarakan.
Pertama, secara internal
kepartaian PDIP sebagai partai besar menginginkan pendamping Jokowi adalah
calon Presiden 2024 nanti. Jika nanti menang, mendampingi Jokowi adalah
sebuah proses belajar menjadi pemimpin negara. Jika sudut pandang ini yang
dipakai, maka hanya ada nama Puan Maharani yang muncul.
Kepentingan kedua, pemilihan Cawapres untuk mendampingi Jokowi selama lima tahun ke depan adalah katup
pengaman dari politik balas budi yang selama ini terjadi menjelang pemilihan untuk melanjutkan periode kedua kekuasaan.
Langkah SBY pada 2009
lalu dengan mengandeng Boediono dari kalangan birokrat layak ditiru Jokowi di
Pilpres 2019. Pemilihan Boediono oleh SBY menurut Taufik memiliki dua tujuan,
yaitu menghindari politik balas budi dari partai pendukungnya.
Kedua, Boediono adalah
kunci pengaman bagi SBY meraih kekuasaan untuk kedua kalinya karena meminimalisir
gerakan perlawanan dari partai yang mendukungya. Serta keberadaan Boediono
menjamin bahwa tidak ada penerus bagi rezim SBY jika selesai memimpin. Dan
fakta di lapangan menunjukkan kebenaran.
Kita pakai narasi
kepentingan yang nomor dua, Jokowi harus menggandeng Cawapres yang mampu
menangkal kampanye sentimen negatif SARA dari pihak lawan serta mengamankan
kekuasaannya di periode kedua dari kubu-kubu pendukungnya. Inilah beberapa yang
bagi Taufik berpeluang oleh Jokowi dan partai politik pendukungnya.
Satu, Muhaimin Iskandar. Sebagai
satu-satunya tokoh nasional yang pertama kali mendeklarasikan dirinya siap
menjadi Cawapres, Cak Imin memiliki basis massa dari kalangan Islam tradisional
yang cukup kuat. Keberadaan Cak Imin secara pasti menjadi jaminan bahwa isu
sentimen negatif SARA yang akan dihembuskan musuh Jokowi akan layu sebelum
berkembang.
Dua, Sri Mulyani. Bagi
Taufik, Menteri Keuangan ini adalah orang pintar yang mampu menyajikan data
secara detail dalam debat publik. Kelebihan lainnya, Sri sama seperti Boediono
yaitu berasal dari kalangan birokrat. Sehingga pemilihan nama Sri akan menumpulkan
tuduhan politik balas budi. Tapi keberadaan Sri ini masih bisa dimaanfaatkan
kubu lawan menyerang dari sisi SARA.
Ketiga, Mahfud MD. Manta Ketua
MK yang sekarang menjabat sebagai Staff Ahli Gubernur DI Yogyakarta menurut
Taufik adalah sosok ideal. Mahfud memiliki basis massa yang sama kuat seperti
Cak Imin, bahkan kalangan GusDurian memberikan hormat kepadanya. Belum lagi,
secara intelektual, saya kira semua sepakat bahwa Mahfud adalah cendekiawan yang
diakui kematangannya dalam menyampaikan buah pemikirannya.
Sebagai cendekiawan, memilih
Mahfud sebagai Cawapres oleh Jokowi menjadi senjata hebat saat melawan Anies,
andaikata dipilih Prabowo menjadi pendampingnya. Dialektika Mahfud tentang
negara akan mampu melawan berbagai argumen-argumen tanpa dasar terkait agama
yang kemungkinan dilontarkan pihak lawan.
Terakhir, Susi
Pudjiastuti. Nama Menteri Kelautan dan Perikanan ini sempat muncul dari
beberapa survei. Namanya menjadi besar dan dinilai layak mendampingi Jokowi
karena ketegasanya menerapkan aturan. Sama seperti Sri Mulyani, Susi
mendapatkan berbagai pujian dunia internasional. Tetapi hitungan matematika
politiknya, peluang terpilihnya Susi sangatlah kecil sebab kehadirannya sebagai
Wapres tidak banyak membantu jalannya pemerintahan.
Beralih ke Prabowo.
Sampai saat ini partai
Gerindra dan koalisinya belum mengumumkan siapa nama yang akan mendampingi mantan Danjen Kopassus ini. Bahkan PKS, satu-satunya partai yang menyatakan
dukungannya malah menyodorkan nama sembilan kadernya sebagai Capres. Ini
dilema.
Meski memiliki latar
belakang yang buram akibat tragedi 1998, nama Prabowo masih layak dijual guna
mendapatkan suara dari pemilih muda. Pemilih muda tidak akan mempermasalahkan
siapa Prabowo karena tertutupi berbagai informasi dari dunia digital yang mewacanakan
narasi seperti siapa pemimpin yang dibutuhkan Indonesia ke depan.
Taufik melihat dua nama
yang kemungkinan digandeng Prabowo menjadi pendampingnya melawan Jokowi. Anies
Baswedan dan Gatot Nurmantyo.
Meski Anies berjanji akan
menyelesaikan masa tugasnya sebagai Gubernur DKI, namun tawaran sebagai orang
nomor dua di negeri ini kemungkinan besar tidak akan dilepaskannya. Ini satu-satunya
peluang yang bisa didapatkan sekarang.
Anies memiliki kelebihan intelektual
yang mampu menghipnotis pendukungnya dengan argumen-argumen keilmuan yang
hebat. Anies mendapatkan dukungan penuh dari kalangan agama yang dianggap handal
dalam melakukan kampanye di media sosial.
Kelebihan Anies yang bisa
dimaanfatkan Prabowo yaitu pernah menjadi tim pemenang Jokowi. Sehingga Anies
dinilai tahu sepak terjang dan langkah-langkah tim pemenang Jokowi.
Lantas bagaimana jika
Anies memang terpilih sebagai Cawapres Prabowo. Dalam hitungan politik, Taufik
menyatakan hal itu mungkin saja dan jabatan kursi Gubernur akan diberikan ke
Sandi. Namun Sandi tidak akan begitu saja melepas Anies. Ada beberapa tuntutan
yang dia ajukan ke partai Gerindra jika ini terjadi.
Seperti yang diketahui,
Prabowo sudah tidak sekuat dulu lagi dari sisi material. Demikian juga Anies.
Maka di sinilah Sandi hadir. Dia akan menjadi penyandang dana utama pencalonan
kedua orang ini. Asalkan syaratnya kursi Ketua Umum Gerindra menjadi miliknya. Daya
tawar yang seimbang.
Gatot Nurmantyo, Jenderal
AD yang baru pensiun Maret lalu namanya muncul menjadi pesaing Jokowi karena
wacana Indonesia membutuhkan pemimpin dari berlatar belakang militer untuk
menjadi kuat. Sama-sama satu korps, Prabowo-Gatot akan mampu meraih suara besar
dari pemilih yang masih rindu pada kepemimpinan Soeharto selama Orde Baru.
Kelemahannya, 20 tahun
reformasi, rakyat telah menikmati banyak kebebasan berekspresi. Ada kemungkinan,
jika Prabowo-Gatot terpilih sebagai pemimpin negeri ini, kekuatan semi militer
akan diterapkan untuk mengatur negara.
Naman AHY juga berpeluang
maju dan ini akan semakin memperbesar koalisi partai pendukung Prabowo. Sosok
pemimpin muda akan menjadi nilai jual AHY di mata pemilih muda. Energi,
kreatif, berani menjawab tantangan, komunikatif, dan fashionable menjadi
referensi pemilih muda menyerahkan suaranya ke AHY.
Jika memang terpilih
sebagai Wapres Prabowo, AHY memiliki kesempatan belajar dan membesarkan namanya
sebagai modal maju menjadi Presiden baru pada 2024.
Jadi siapa yang nanti
akan dipilih Jokowi atau Prabowo menjadi Cawapresnya, kita tunggu pada Agustus
nanti saat dibuka pendaftaran Capre-Cawapres Pilpres 2019.
Seperti itulah peta
politik dalam pilpres yang saya, Arief dan mas Taufik obrolkan di kafe itu.
Semua hanya perkiraan saja. Semua hanya analisa saja. Semua belum tentu menjadi
kenyataan meskipun beberapa faktor akan menjadikan analisa itu nyata.
Akhirnya, untuk mendalami
lebih lanjut tentang politik yang sejak 28 tahun lalu saya sama sekali tidak
tertarik. Saya memutuskan belajar politik kembali dan membeli ‘Sistem Politik
Indonesia; Menjelajahi Teori & Praktik’ karya Yoyok Rohaniah dan Elfriza
yang diterbitkan Intrans Publishing pada 2007.
Salam karena saya akan
membaca.
Komentar
Posting Komentar