Tertawalah Dan Bahagialah Bila Ditertawakan

Konon seorang ilmuwan kuno Mesir pernah menulis hubungan antara Tuhan dan tertawa. Sebuah tulisan yang membuat marah kalangan agamawan.

Literatur naskah yang ditulis dalam bahasa Arab itu dianggap hanya ucapan orang tolol. Pendapat pribadi para penyembah berhala yang dianggap hanya pintar berkomentar tanpa ada bukti yang jelas.

Tulisnya secara terbuka menghubungkan penciptaan dunia dengan tawa suci.

“Pada saat Tuhan tertawa, lahir tujuh dewa yang menguasai dunia. Saat Ia tertawa terbahak-bahak, muncul cahaya. Saat Ia tertawa pada hari ke tujuh muncullah jiwa,”.

Dari hipotesa yang dianggap agamawan itu ngawur muncullah berbagai sudut pandang tentang kehadiran dunia dengan tawa.

Dalam buku pertama, kita membicarakan tragedi dan melihat bagaiamana, dengan membangkitkan rasa kasihan dan takut, tragedi menghasilkan kartasis, pemurnian perasaan-perasaan tersebut. Seperti sudah dijanjikan, sekarang kita akan membicarakan komedi (begitu pula satire dan lawak) dan melihat bagaimana, dengan merangsang kenikmatan dari kelucuan, komedi sampai pada pemurnian kegemaran itu.

Bahwasanya, kegemaran semacam itu pasti ada gunanya dipikirkan, selalu dibicarakan dalam buku tentang jiwa, karena sendirian di antara hewan, manusia mampu tertawa.

Kemudian kita akan menjabarkan tipe aksi yang dari itu komedian adalah mimesis, lalu kita akan memeriksa cara-cara dengan apa komedi merangsang dewa, dan cara-cara ini adalah gerak gerik dan cara bicara. Kita akan menunjukkan bagaimana gerak gerik yang lucu itu lahir dari persamaan dari yang terbaik dengan yang terburuk dan sebaliknya, dari perangsangan kejutan lewat tipuan, dari yang mustahil, dari pelanggaran hukum alam, dari yang tidak relevan, dan tidak konsenkuen, dari peredahan derajat tokoh-tokoh, dari penggunaan pantomin yang vulgar dan lucu, dari ketidakharmonisan, dari pilihan benda yang paling tidak berharga.

Lalu, kita akan menunjukkan bagaimana kelucuan cara bicara lahir dari kesalahpahaman kata-kata yang serupa untuk benda-benda yang berbeda, dan kata-kata yang berbeda untuk hal-hal yang serupa, dari omelan dan pengulangan, dari permainan kata, dari kata-kata yang memperkecil, dari kesalahan ucapan, dan dari barbarisme.

Isidore dari Sevilla mendefinisikan komedi sebagai suatu yang menceritakan tentang ‘strupa virginum et amores meretricum’, permerkosaan perawan dan cinta para pelacur.

Komedi berasal dari kata komai yang artinya suatu perayaan gembira setelah makan-makan atau pesta. Komedi tidak menceritakan orang kuat atau terkenal, tetapi tentang mahluk-mahluk lucu dan kecil, meskipun tidak jahat dan ini tidak berakhir dengan kematian para protagonis. Ini mencapai efek kelucuan dengan menunjukkan kelemahan dan kejahatan orang biasa.

Aristoteles juga melihat kecenderungan tawa sebagai kekuatan untuk kebaikan, yang juga mempunyai nilai intruktif, lewat teka teki cerdik dan metafora tak terduga. Meskipun menceritakan kepada kita hal-hal yang dengan cara yang berbeda dari yang seharusnya, seakan berbohon. Sebenarnya ini mengharuskan kita memeriksa hal-hal itu secara lebih cermat, dan membuat kita mengatakan; ah ini sekadar bagaimana hal itu dan aku tidak mengetahuinya.

Kebenaran sesungguhnya tercapai dengan menceritakan manusia dan dunia sebagai bentuk buruk daripada yang sebenarnya atau daripada yang kita duga.

Kenapa kita harus takut dengan tawa?

Tawa adalah kelemahan, pengrusakan, ketololan dari daging kita. Ini hiburan kaum rendah, surat izin bagi pemabuk, bahkan dalam kebijaksanannya pemuka agama mengizinkan adanya pesta dan membebaskan humor yang memisahkan hasrat serta ambisi lainnya. Tawa adalah resep rendah suatu pertahanan kaum miskin.

Namun banyak manusia yang menentangnya.

Tawa membuat penjahat tidak takut kepada iblis karena pesta yang diselenggarakan penuh tawa iblis semakin tanpa tolol dan miskin, karena mereka bisa dikuasai.

Namun yang perlu digaris bawahi, bahwa buku ini membebaskan diri dari ketakutan akan iblis adalah kebijaksanaan.

Tawa untuk sesaat membuat penjahat melupakan rasa takut. Bagi penjahat yang tertawa, saat itu, mati bukan masalah, tetapi kemudian jika surat izin tertawa itu sudah habis ia kembali berhadapan dengan rencana suci. Ketakutan akan kematian. Buku ini mengajarkan pengetahuan baru bahwa manusia bisa menghancurkan kematian lewat penebusan rasa takut.


Tuhan menciptakan iblis bukan sebagai pangeran kejahatan, iblis adalah kesombongan jiwa, imam tanpa senyum, kebenaran yang tak pernah direnggut oleh keraguan. Iblis itu murung, karena ia tahu ke mana ia akan pergi dan kalau berjalan, ia akan selalu kembali ke tempat dari mana ia datang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak