Menjadi Priyayi Jawa
Sedikit menyambung apa
yang pernah dituliskan Senopati Wirang dalam suratnya kepada saya. Dia merasa
sangat prihatin, bahwa sekarang ini kebudayaan Barat maupun Timur berusaha mendapatkan
pengaruh di masyarakat kita. Masyarakat yang sejak dulu dikenal memiliki
kebudayaan tinggi dan diakui dunia.
Perlahan-lahan tanpa disadari, sejak kejatuhan Majapahit
kebudayaan barat dan timur terus berusaha menjadi kebudayaan tunggal yang dipeluk
warga nusantara. Tidak masalah. Namun alangkah disayangkan, kebudayaan yang
begitu hidup, selaras dengan manusia dan alam harus hilang tak berbekas.
Kebudayaan yang mampu melahirkan keajaiban dunia. Kebudayaan
yang mampu menghadirkan berbagai tata bahasa komunikasi untuk membedakan
hubungan tua, dewasa, dan muda.
Menjadi Jawa bukanlah sebuah pilihan. Namun harus diakui,
sebagai salah satu suku budaya yang mampu menaklukan angkernya bumi Java, para
keturunan Ajisaka adalah manusia-manusia unggul.
Ilmu alam, ilmu kanuragan, ilmu logika, ilmu budaya, ilmu
bahasa, ilmu tata bangunan, dan ilmu spiritual menjadi warisan yang tiada
nilainya. Berbeda dengan bangsa lain, yang harus menguasai dengan darah dan
dendam. Kekuasaan di Jawa dipenuhi dengan drama kemanusian yang terkadang
mengurai air mata.
Kebudayaan Jawa membagi manusia dalam dua kategori besar
yang sejatinya salin terikat. Priyayi dan kawula. Priyayi adalah sekelompok
orang yang memiliki kekuasaan politik, kekuasaan pengetahuan, dan kekuasaan
wilayah yang dianggap sebagai pemimpin masyarakat. Kawula hanya pengikut saja
dan siap mati membela pemimpinnya.
Di jaman sekarang, pengertian priyayi dan kawula bergeser
dari arti sebenarnya. Semuanya tergantung dari kerja keras dan usaha. Ada priyayi
yang menjadi kawula, ada kawula yang menjadi priyayi.
Bahkan pemimpin kecil dalam suatu kelompok masyarakat
yang mampu memberikan pengaruh, meski tanpa jabatan dan kekayaan, bisa dianggap
priyayi asalkan mampu membawa kemajuan dan kedamaian.
Seorang priyayi sejatinya sejak dulu haruslah memenuhi
beberapa falsafat kehidupan agar laku kehidupannya sebagai priyayi sempurna.
Maspicisrojobrono, Wanodya, Turangga, Curigo, dan Kukilo adalah syarat yang
dulu harus dipenuhi setiap individu yang ingin mendapatkan perhatian dari
masyarakat sebagai priyayi.
Maspicisrojobono adalah harta kekayaan, dan sekarang
sangatlah wajar siapa yang yang kaya maka dialah yang berkuasa. Tidak bisa
dipungkiri tidak.
Wanodya. Perempuan pendamping hidup. Syarat utamanya
adalah cantik dan tentu saja menjadi rebutan dari banyak kalangan, ketika
memenangkan hatinya maka gelar priyayi akan lebih sempurna. Bagi kehidupan
priyayi, wanita adalah permata dunia yang harus senangtiasa dijaga agar
melahirkan keturunan yang hampir sempurna.
Turangga, kendaraan. Kuda pada jaman dahulu adalah simbol
kekuatan seseorang penguasa. Semakin kuat, semakin besar, dan semakin unggul
larinya adalah kebanggaan tak terkira. Kendaraan bermesin saat ini menjadi
pengantinya. Siapa cepat dialah orang yang terkuat.
Curigo, senjata pelindung diri. Sebuah keris setiap
menusuk musuhnya akan semakin ampuh dan sakti merupakan bukti semakin
berkuasanya seseorang. Pistol saat ini sebagai pengantinya.
Kukilo. Hewan peliharaan. Perkutut hingga sekarang adalah
simbol peliharaan seorang priyayi yang bersuara menenangkan. Dipelihara sebagai
hobi dan kesenangan, perkutut mendapatkan tempat yang tinggi dibandingkan
peliharaan kawula. Tapi saat ini sudut pandang ini berbeda. Semakin mahal
peliharaan, semakin wibawa seseorang.
Tidak sekedar memahami falsafah kehidupan priyayi yang
penuh dengan simbol-simbol. Keberadaan priyayi pada dasarnya adalah memimpin
rakyatnya, melindungi rakyatnya, dan meneruskan tradisi yang sudah mendarah
daging di rakyatnya.
Orang Jawa mengenal wewarah (nasehat) untuk generasi penerusnya. Eling,
Nrimo ing pandum, dan ngumbar kanepson.
Eling. Selalu diingatkan atau terus sadar bahwa manusia tidak akan bisa
terputus hubungannya dengan Gusti Kang Murbeng Dumadi. Tuhan Yang Mengawali
Segala Ujud.
Sikap ini sepenuhnya didasari pada filsafat bahwa setiap orang sejatinya
harus membatasi keinginan sepanjang hal yang benar-benar menjadi kebutuhan
nyata. Bila orang tidak membatasi keinginan sebatas kebutuhan, apalagi
mengembangkan keinginan menjadi kebutuhan, orang itu tidak bisa tenang.
Hidupnya akan selalu dikejar-kejar oleh keinginan itu sendiri yang terus
meningkat tanpa tutugan, tanpa batas.
Kejawen tidak melarang orang punya keinginan asal baik dan sakmadya.
Atau itu tadi, tidak melewati batas kebutuhan. Bila tidak diberi batas,
keinginan sangat mudah berubah menjadi nafsu.
Sikap priyayi Jawa yang utama bukan masalah Maspicisrojobrono, Wanodya, Turangga,
Curigo, dan Kukilo. Namun harkat martabat hidup dijunjung tinggi dengan tidak
menjadi maling.
Hal yang wajar priyayi Jawa melakukan empat perbuatan dosa; main
perempuan, mabuk, judi, dan madat. Tapi mencuri adalah tindakan yang merusak
reputasi kehidupan.
Komentar
Posting Komentar