Kawan, Masih Ingat Ria Genteng?
(Foto; menunggu kiriman kawan di sana)
Sekarang. Gedung megah itu terlihat kusam tak terawat. Sulur-sulur
tanaman liar tumbuh tanpa rawatan di celah-celah dinding batu yang menjadi fondasinya. Saya sudah lama tidak masuk ke sana. Hampir dua puluh tahunan
lebih.
Bahkan keberadaanya semakin tidak terlihat karena
ditutupi lapak-lapak pedagang kaki lima. Namun generasi yang lahir di bawah
1990-an memiliki kenangan sendiri akan gedung yang berada di pusat perekonomian
kota Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur.
Dulu orang menyebutkan “Gedung Bioskop Ria”. Siapa Ria? Ngak
usah dicari tahu, karena pasti banyak orang-orang tua di Genteng yang tidak
tahu. Apalagi generasi mudanya.
Namun, berdasarkan ilmu cocoklogi yang saya anut, Ria
berasal dari kata ‘gembira ria’ yang artinya bersuka-suka, penuh kegembiraan, atau
bersenang-senang.
Bioskop Ria pada era saya masih berseragam putih-merah
dan awal-awal seragam putih-biru tua adalah tempat mencari hiburan. Terutama film.
Di jaman itu televisi belum banyak yang punya. Persewaan kaset video hanya ada
dua yang yang meminjam pasti orang kaya.
Wajarlah Bioskop Ria menjadi tempat berkumpulnya
orang-orang setiap malam. Saat ini tempat ini digantikan ruang terbuka hijau
(RTH) Maron yang dulu adalah lapangan gelap gulita dan hanya ramai saat Agustus
saja.
Mengenang Bioskop Ria adalah mengenang kegembiraan.
Kegembiraan saat menikmati film di ruang gelap gedung tua. Tempat duduknya
adalah kursi panjang berbahan baku rotan dan sebagian rusak. Jika penuh, maka
tepi-tepi kanan kiri kursi adalah tempat lesehan dan berdiri yang sempurna
menikmati film.
Saya ingat. Gedung ini menghadap selatan. Sisi barat
adalah loket pembelian tiket masuk, kemudian pintu masuk yang dibatasi dua
pagar besi sebagai pemecah antrian. Sisi timur sendiri adalah display film-film
terbaru yang akan tayang.
Film utama yang saat itu tayang dipajang dalam spanduk
besar buatan tangan di atas pintu masuk. Tepat di tengah. Bahkan untuk menarik
minat penonton, pengumuman film-film yang diputar banyak dilakukan dengan mobil
bak terbuka berkeliling sekitar kecamatan Genteng.
Ah, jalanan masih sepi dan ketika mobil itu lewat suasana
ramai karena banyak orang berdiri untuk mendengarkan film apa yang diputar
nantinya.
Sesudah membeli karcis di loket maupun makelar yang
berada di depan gedung, sekitar Rp750-an per karcis. Kita akan masuk lewat
pintu utama dan diarahkan untuk masuk ke ruang layar utama dari sisi kiri dan
kanan.
Kamar mandi terletak di sisi timur ruang utama
pertunjukan. Ruang proyektor tepat di belakang kursi penonton. Lampu-lampu penerang
di dindingnya, saya ingat sangat berseni.
Bola lampunya berada di dalam wadah tabung panjang yang
memedarkan warna kuning kemerahan. Itu ada di sepanjang dinding dan mati ketika
film mulai diputar.
Seingat saya, iya seingat saya. Pemutaran di hari biasa
ada dua sesi. Sesi pertama pukul 19.00 WIB sampai 21.00 WIB. Kemudian film
tengah malam diputar pukul 22.00-00.00 WIB.
Jika hari minggu, pemutaran bisa sampai empat kali
tergantung bagus tidaknya film.
Pertama pukul 10.00-12.00 WIB. Kemudian jika antusias
penonton masih tinggi dilanjutkan pukul 14.00-16.00 WIB. Istirahat untuk
kemudian diputar tiga jam kemudian.
Saat itu perekonomian sekitar Bioskop Ria hidup. Ada rumah
yang digunakan sebagai area parkir kendaraan. Toko-toko di sisi timur dan barat
masih buka sampai pukul 22.00 WIB. Depan seberang jalan, penjual makanan ringan
seperti kacang dan jagung bakar bertahan hingga pertunjukan terakhir.
Ini belum lagi dengan para makelar. Saya dulu punya
tetangga yang menjadi makelar karcis bioskop. Dia berkata pendapatan setiap
malamnya bisa mencapai Rp5.000 per malam, tergantung bagus tidaknya film yang
diputar.
Terus terang saya tidak ingat film apa yang sudah saya
tonton di sana. Hanya ada tiga yang pasti saya ingat. “Kungfu Master 2: Wong Fe
Hung’ yang dibintangi Jet Lee, ‘Cobra” yang dibintangi Sylvester Stallone, dan “Satria
Bergitarnya’-nya Bang Haji Rhoma Irama.
‘Cobra’ ini film yang membikin saya enek. Stallone
digambarkan sebagai jagoan yang identik dengan kacamata hitam Rayban dan
sebatang korek api di mulutnya. Jagoan jaman lama yang dibuat-buat Amerika.
Oh ya, beberapa film legenda komedi Indonesia ‘Warkop DKI’,
sempat saya lihat. Dan terus tertawa sepanjang jalan pulang membayangkan
kelucuan mereka.
Dua atau tiga tahun mendekati ‘Kasus Dukun Santet
Banyuwangi’ Bioskop Ria mulai kehilangan peminat. Televisi adalah faktor
utamanya.
Sejak saat itu kebanyakan film yang diputar adalah
film-film erotis yang didominasi gambaran kawasan ‘Sekwilda” atau sekitar
wilayah dada dan paha. Jadi film yang diputar lebih banyak berbau seks.
Karena belum akil baliq, saya tidak mau menonton.
Tapi ada cerita menarik yang tersebar di masyarakat
Genteng. Entah benar entah tidak. Jika Bioskop Ria memutar film India, terutama
yang dibintangi Amithan Bacha maka ramailah. Bahkan orang-orang Genteng Etan,
kawasan Cangga’an tidak mau dimasukkan, pasti menjual piring atau barang kecil
yang bisa diuangkan untuk membeli karcis.
Mungkin tidak hanya mereka, bahkan masyarakat Genteng
semuanya yang menjual piring. Ttapi yang cerita yang populer bagi angkatan saya
adalah warga Genteng Etan maniak film India.
Setelah tutup, maka satu-satunya tujuan saya jika ingin
menonton film adalah ke Jember. Dua jam dari Genteng. Memang ada satu biokop di
Jajag, 12 km dari Genteng, namun saat itu film yang diputar juga beraroma ‘Sekwilda’.
Malam ini kenangan akan Bioskop Ria kembali. Wong Feng Hu
beraksi dengan tendangan tanpa bayangan. Sedangkan saya berdiri dari awal
sampai selesainya film karena kehabisan tempat duduk.
Malam ini saya kembali merindukan bioskop rakyat. Murah meriah,
sedikit jorok dan tanpa kipas pengusir asap rokok. Tapi di sanalah masyarakat
kelas bawah menikmati kegembiraan.
Meski hanya dua jam saja, saya yakin beban hidup
berkurang.
Ada bintang jatuh. Saya berdoa, semoga ada orang-orang
berduit yang menghidupkan Bioskop Ria lagi. Dan siap menjadi kurator filmnya.
Komentar
Posting Komentar