Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2017

Sekedar Bicara Literasi

Gambar
Saya dan, kemungkinan anda, masih ingat tentang tugas pembuatan kliping dari guru saat masih sekolah dulu? Tugas yang ringan sebenarnya, namun mengerjakannya dibutuhkan pengorbanan waktu dan dana yang tidak sedikit. Mudah. Ya bisa dibilang penugasan kliping ini sangat mudah. Kita hanya mencari koran/majalah/tabloid yang memuat atau memaparkan gagasan hal atau sesuatu yang sudah ditentukan. Setelah dapat, dipotong kemudian ditempel di kertas kerja. Jika memungkinkan, sambungan berita sebisa mungkin dijadikan satu. Jika tidak, tidak apa-apa. Bisa dilakukan sendiri-sendiri. Namun untuk mengasah rasa sosial dan kerjasama, biasanya penugasan khusus mencari ide/gagasan yang besar dikerjakan secara berkelompok. Sederhana dan mudah. Penilaian diberikan guru terhadap kliping yang memiliki kelengkapan data lebih bagus, tampilannya, serta sumbernya. Menjadi tidak mudah. Adalah saat penugasan ini diharuskan mencari berita-berita yang dimuat di tanggal dan koran tertentu. Jika k...

Beda T dan N

Gambar
Setelah mengangkat sembah kepada Gurunya, Dharma tidak berani memandang mata orang tua yang duduk dengan tenang di depannya. Baginya, semua persoalan yang sebenarnya ingin disampaikan ke Gurunya sama sekali luntur tidak berbekas. “Apa yang ananda pikirkan? Jalani saja semuanya dengan tekad. Karena tekad itulah yang menjadi api semangat kehidupan,” kata Guru kepada Dharma. Dharma begitu malu dengan ucapan Gurunya. Karena memang itulah yang hendak ditanyakan. Apa sejatinya hidup ketika tanpa ada tekad? Tanpa bertatap muka, Guru yang telah membimbing Dharma sepuluh tahun di padepokan berujar dengan suara tegas namun penuh pengertian. Makna dalam Sansenkerta disebut Adhitthana. Tekad diperlukan sebagai landasan dasar menuju keberhasilan. Tekad adalah keputusan awal yang dilakukan seseorang untuk menghancurkan keragu-raguan. Jika masih ada keraguan untuk kehidupan, itu sama artinya tidak ada tekad dalam jiwanya. Dharma masih tetap dia membisu. Baginya tekad inilah yang s...

Gawai dan Kelahiran Ide Besar

Jadi, sekarang adalah puncaknya era internet. Dengan gawai, setiap orang menemukan dunia sempit yang setiap waktu terus berputar dengan hal baru. Mereka dekat tapi jauh dan jauh tapi dekat. Tapi bisakah dengan kemajuan sekarang ini, manusia dapat melahirkan ide besar yang berpengaruh dalam kehidupan seperti masa lalu? Membaca tulisan Timothy Egan di nytimes.com (7/7/2017), saya terperanjat dengan gambaran yang disampaikan. Baginya, sekarang dan kedepan, lahirnya ide besar dalam kehidupan manusia tidak akan pernah ada lagi. Berbeda dengan belum munculnya ketergantungan akan internet. Buku dan semua media baca cetak adalah mesin utama untuk mencari pengetahuan. Kelahiran kebudayaan manusia baru dimulai dari mesin Gutenberg pada abad 13 yang sampai sekarang masih tersimpan utuh di Old Town, Jenewa, Swiss. Mesin ini mampu mengubah dunia dengan penemuan-penemuan dan ide besar yang mencengangkan. Bermula dari mencetak satu buku dalam setahun, perlahan-lahan dalam dua abad kemudian mes...

Bisa Dibayangkan

Berawal dari status seorang kawan yang menyatakan “Apakah kemunduran media cetak, khususnya koran dalam lima tahun terakhir diakibatkan mismanajemen atau berakhirnya era koran?”. Dalam lima tahun terakhir, Serikat Perusahaan Pers Indonesia (SPSI) mencatat hampir 400 media cetak nasional maupun lokal memilih mengundurkan diri dari publik karena rendahnya penjualan dan pemasukan dari iklan. Padahal secara umum, media cetak mengandalkan pemasukan dari penjualan 40% dan iklan 60%. Perubahan tingkat konsumsi masyarakat akan informasi kiranya menjadi aspek utama kemunduran media cetak. Dengan kecepatan sajian informasi dan lebih memudahkan mengakses, media digital saat ini menjadi pilihan utama masyarakat. Bahkan ketika informasi yang disajikan adalah informasi yang belum tentu kebenarannya. Namun karena terus-menerus diinduksi ke khalayak tanpa mengenal waktu. Maka informasi itu dijadikan pembenaran. Kembali ke pertanyaan awal tadi. Untuk menjawab kedua pertanyaan tadi kiranya ...

Menyelam Di Kedinginan, Otak Sulit Berpikir

Gambar
Bagaimana rasanya ketika harus menyelam di perairan yang terletak di bongkahan es Laut Antartika. Dengan suhu minus 1,8 derajat, rasanya tidak akan banyak manusia yang akan melakukannya. Meskipun dia berasal dari Siberia, rasanya menyelam di lautan bawah es adalah salah satu jalan menuju kematian. Sebagai manusia yang hidup di wilayah yang memiliki dua musim saja. Cuaca dengan suhu pada kisaran 16-24 derajat saja rasanya seperti tusukan jarum tajam pada seluruh kulit. Saya tidak berani membayangkan hidup di kawasan memiliki musim dingin hingga di bawah 10 derajat. Saya memang wong ndeso. Tapi menilik pengalaman dari Laurent Ballesta, ahli biologi dan fotografer dari Perancis rasanya saya tidak usah bepergian ke Antartika untuk merasakan dinginnya air laut bawah es. Selama 36 hari, Ballesta dan timnya mengadakan penelitian tentang kehidupan seperti apa yang mampu bertahan di sana. Berbekal baju selam seberat 90 kg dan dibantu tali kuning panjang berpedar, Ballesta melak...

Percaya Akan Suatu Hal

Atau lebih tepatnya, aku menyesal karena selama ini mudah percaya. Aku menyesal telah membiarkan diriku dikendalikan oleh gairah pikiran. Seperti itulah kecenderungan mudah percaya.           Orang yang tidak mudah percaya bukannya tidak mempercayai apa pun. Hanya saja, dia tidak percaya akan segala sesuatu. Atau, ia percaya akan suatu hal setiap kali. Ia percaya pada hal kedua hanya jika hal kedua itu, entah bagaimana, menjadi kelanjutan dari hal pertama. Ia rabun dekat dan metodis, sementara menghindari horizon yang lebar. Jika dua hal yang tidak cocok, tetapi kau percaya akan keduanya, sambil berpikir bahwa di suatu tempat, tersembunyi, pasti ada hal ketiga yang menghubungkan keduanya, yaitu kecenderungan untuk mudah percaya.           Kau hidup di permukaan. Kadang-kadang kau terlihat kuat, tetapi itu hanya karena kau mengabungkan potongan-potongan permukaan tersebut untuk memunculkan kesa...

Menghidupkan Impian Revolusi

Saat Soekarno mewacanakan pemindahan Ibu Kota Jakarta ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada 1950-1960 an. Ada tiga pemikiran utama yang melandasinya.             Pertama, Soekarno berkeinginan membuat  Ibu Kota Indonesia dari tangan pemuda-pemudi negara yang baru saja meraih kemerdekaan. Sebab Jakarta bagi Soekarno adalah ibu kota buatan kaum penjajah Belanda yang dipaksa keberadaannya untuk melegitimasi kekuasaan atas nusantara. Kedua, berada tepat di titik tengah negara Indonesia, Palangkaraya dinilai mampu menjadi pusat penyebaran kekuasaan karena semuanya dapat dijangkau. Tidak jauh dari titik terjauh dan tidak terlalu dekat dengan titik terdekat. Semua sama. Semua bisa merasakan. Ketiga, Palangkaraya dengan posisinya yang begitu strategis ini ternyata merupakan kawasan bebas gempa dan bencana alam lainnya. Berada jauh dari laut. Berada jauh dari pegunungan. Palangkaraya bagi Soekarno adalah cikal bakal pengaturan ...