Tuhanmu-Tuhanku Tos

Sore ini istriku bercerita tentang jeritan ibu tetangga satu kompleks. Ibu yang sama-sama muda itu menceritakan tentang pengalaman bermain anaknya dengan rekan yang berbeda agama. Mereka masih sekolah dasar.
            Ibu itu menceritakan bahwa saat bermain itu, rekannya yang menjalankan ibadah setiap hari minggu berujar kepada anak yang orang tuanya memiliki hari besar jumat. Bahwa Tuhan mereka pernah melakukan tos tangan. Ketika hal ini diceritakan kepada ibunya sewaktu menjemput petang, ibunya dengan tegas berkata.
            “Jangan pernah dengarkan temanmu itu. Tuhan dia yang menciptakan adalah Tuhan kita,”.
            Saya hanya tertawa saja mendengar cerita istri. Tapi dalam hati kecil, saya sebenarnya miris melihat kondisi pendidikan sekarang ini. Dimana nilai keagamanan menjadi prioritas untuk diajarkan ke anak didik. Menginggat, ketika 80-90, pendidikan agama tidak mendapatkan prioritas di sekolah. Sehingga ketika bergaul dengan berbagai kalangan, saya tidak pernah menanyakan dan membahas tentang Tuhannya maupun Tuhanku. Yang penting bermain dan saling tertawa bahagia.
            Jadi seperti apa sejatinya pendidikan kita?. Saya tidak menuduh pendidikan agama menjadi faktor utama hadirnya paradigma pertentangan yang sekarang ini berkembang pesat. Tapi karena pembiaran tanpa kontrol ketat dari pemerintah kondisi ini terjadi. Dan sekarang pemerintah berusaha keras untuk membatasi ruang pergerakan agama yang cenderung menghadirkan aksi radikalisme yang mengacam persatuan bangsa di tengah perbedaan yang hadir sebelum negara kepulauan ini memiliki agama.
            Penghuni nuswantara dahulu kala adalah para animisme yang percaya bahwa selain kehidupan nyata ada kehidupan roh yang juga berjalan berdamping di dunia yang sama. Antara kehidupan nyata dan roh, jika mampu berhubungan, akan saling mempengaruhi serta memberi daya hidup lebih.
            Ketika agama dari timur dan utara hadir, maka ritual menghormati Tuhan, menghormati sesama, dan menghormati alam perlahan-lahan luntur. Berbagai macam media komunikasi digunakan para utusan untuk bisa merangkul masyarakat lawas untuk memeluk agama mereka.
            Kebudayaan adalah pintu masuk pertama yang digunakan untuk memasukan ajaran. Terkadang gagal, namun lebih banyak hasilnya. Dengan merubah kebudayaan, maka seluruh sejarah masyarakat ke depannya bisa dikontrol dengan mudah. Bagaiamana merubah budaya itu yang kita pikirkan sekarang.
            Termudah adalah dengan menyisipkan pesan tentang kebaikan agama yang mau diajarkan dan menilai buruk kebudayaan maupun agama yang diserang. Kedua adalah melalui pendidikan.
            Jelas secara manusia sepenuhnya berisikan pengajaran tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Lewat pengajaran ini adalah agama diberikan secara perlahan-lahan dan terus menerus. Terkadang memang kebaikan yang diajarkan. Namun hal-hal jelek juga disampaikan dan bahkan beberapa ancaman yang dirasa menghancurkan agama diberikan tanpa melihat dampaknya. Agama adalah alat politik terpenting untuk menguasai dunia. Agama menjadi jalan tercepat meraih kekuasan. Dengan satu pandangan sama tentang agama, maka semua bisa dikondisikan.

            Jadi, bagaimana jika Tuhanmu dan Tuhanku Tos. Aku selalu setuju, karena Tuhanmu dan Tuhanku subtansinya sama. Tuhan adalah representatif dari sifat sejatinya manusia. Kebaikan keburukan kesombongan keserakahan ketakutan kegembiraan kedengkian kemarahan kepasrahan dan akhirnya semuanya menuju kekosongan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak