Sel Tidur Radikalisme VS Gerilya

Membaca pernyataan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo bahwa sel tidur penjuang radikalisme keagamanan tersebar luas di beberapa kota besar di Indonesia. Mereka setiap saat bisa bergerak saat ada kesempatan. Terlebih lagi, kondisi di wilayah ASEAN Tenggara ditengarai sebagai area baru perjuangan menegakkan negara agama setelah kawasan Timur Tengah.

Membicarakan radikalisme agama, seluruh dunia dalam lima tahun terakhir ini menyoroti sepak terjang ISIS yang dinilai tidak sesuai dengan Islam. Seperti diketahui mereka menerapkan berbagai hukuman kekerasan dengan mengatas namakan agama. Siapa berseberangan. Dia ditumpas.

Kembali ke pernyataan Panglima TNI yang dikeluarkan ketika ancaman teroris sudah di depan pintu Indonesia. Dengan jumlah penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia adalah lahan subur untuk menabur benih-benih radikalisme agama. Terlebih, ketika membicarakan ekonomi, penanaman benih-benih seperti mendapatkan pupuk yang berfungsi dengan cepat menyuburkannya.

Marawi adalah proses pertama menguasai Asia Tenggara. Selanjutnya Indonesia yang secara tersembunyi diakui sebagai kekuatan besar yang sedang tidur. Baik dari segi potensi masyarakat maupun alamnya. Semua kapitalis tiada pernah sekalipun memalingkan muka untuk mencari celah menguasainya.

Dalam kepemimpinan Joko Widodo, gerakan radikalisme pemurnian agama mendapatkan perlawanan cepat dan tepat. Tidak ada tempat untuk merusak persatuan bangsa yang sejak lampau begitu terbuka dalam toleransi antar manusia. Semua budaya, agama, dan golongan diterima masuk serta diberi kesempatan untuk berakulturasi dengan masyarakat lokal.

Dengan kondisi ini, tindakan nyata untuk dengan tujuan mengantikan dasar agama tidak diberi kesempatan tumbuh subur. Sebagai solusi untuk terus hidup, pembawa radikalisme pemurnian agama ini mencoba melawan dengan dimensi berbeda dari sebelumnya. Penanaman ideologi sejak dasar adalah cara yang tepat. Sehingga ketika sudah siap. Sel-sel tidur yang dibuat sejak lama dapat dengan mudah digerakkan.

Radikalisme pemurnian agama bekerja dibawah tanah dengan cara merusak pikiran. Mereka sadar, aset berharga yang harus selalu dijaga bukan lagi senjata atau uang, namun individu-individu yang sepemikiran dan satu visi yang suatu saat bisa digerakkan tanpa pernah diperintah. Hanya dengan pemicu yang tepat.

Sel-sel tidur ini adalah individu yang sudah dicuci dan dirusak otaknya dengan pemahaman bahwa apa yang diajarkan agama adalah pengajaran yang paling baik di muka bumi. Pengajaran lainnya adalah sesat dan berhak untuk dimusnahkan.

Perbedaan mencolok pada agama adalah pemicu tepat. Dibangun dengan ketimpangan ekonomi yang sudah lama terjadi, perbedaan agama bagai api yang siap disiram minyak. Begitu cepatnya menyebar dan membangkitkan semua sel tidur yang ada.

Dalam kehidupan sosial, sel-sel tidur dapat terlihat begitu mencolok meskipun mereka membaur dengan banyak orang. Salah satunya adalah pendirian fundamentalis mereka yang merasa terserang ketika ada seseorang yang membicarakan gerakan pemurnian agama yang didukungnya. Mereka juga sering kali memberi sudut pandang pada suatu masalah dengan ilmu agama yang terkadang hal itu tidak melibatkan hati. Padahal, umumnya pemikiran orang Indonesia lebih banyak menggunakan hati ketika akal tidak lagi berfungsi.

Bagaimana melawannya?

Dalam sudut pandang pemikiran saya, cara efektif melawan sel tidur ini agar layu sebelum bekembang adalah dengan melakukan perang gerilya. Bervisi misi menegakkan Bhinneka Tunggal Eka, maka setiap warga negara wajib melakukan perang gerilya minimal di lingkungannya sendiri. Berbaur, bersosialisasi, dan tidak sembunyi adalah cara tepat menangkal kehadiran radikalisme pemurnian agama.

Bagaimana melakukannya?

Perang gerilya pada dasarnya perang yang didasarkan pada semangat gotong royong. Dalam ‘Soekarno Penyambung Lidah Rakyat’, Soekarno mendefinisikan perang gerilya merupakan jenis perang yang memusatkan strategi serang pada unsur dadakan dan cepat. Penyerangan dilakukan karena ini adalah solusi terbaik untuk bertahan.

Dalam dogma perang gerilya, jangan sekali-kali menyerang dengan kekuatan besar jika keadaan tidak siap atau memungkinkan. Melainkan serangan dilakukan frontal sekedar cukup untuk memberikan perasaan bangga pada prajurit.

Perang mental sangat menentukan dalam strategi ini. Ketika pasukan musuh merasa berhasil memenangkan perang, maka ketegangan pikiran personel akan berkurang dan mereka akan bersantai saat perjalanan pulang. Diposisi inilah serang secepat kilat dilakukan karena musuh tidak siap.

Dengan tetap membaur dan bersikap seperti tidak ada masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Strategi ini dapat dijalankan secara mulus dalam memerangi sel-sel tidur gerakan radikal pemurnian agama. Tidak usah banyak orang.

Disaat mereka merasa bahwa sebuah Rukun Tetangga (RT) sudah berhasil dikuasai, maka serangan dari nasionalis harus dilakukan segera. Salah satunya adalah dengan memberikan mereka peringatan dan sanksi sosial yang berat. Seperti mengusir mereka dari lingkungan sekitar. Dan ketika mereka sudah menetap di wilayah baru, sebarkan informasi tentang latar belakang mereka kepada tokoh nasionalis sekitar. Sehingga ketika mereka bergerak lagi, maka penjuang nasionalis bergerak kembali.

Efektifitas dari perang gerilya memerangi sel-sel tidur ini adalah tidak memberikan mereka waktu dan peluang untuk tumbuh maupun berkembang di wilayah yang baru. Saya pikir tidak butuh waktu lama, karena mereka hanya punya pilihan kembali menjadi normal dan menerima perbedaan. Atau pergi dari tanah air tercinta.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak