Tidak Mampu dan Tidak Bisa, Sebelas Dua Belas Dengan Tidak Mau
Menjadi pemimpin itu sulit. Dia harus mendengarkan, merasakan, dan melakukan sesuatu yang terkadang tidak disenangi demi kebahagian semua orang.
Pemimpin
yang terpilih oleh banyak orang di luar lingkarannya adalah orang yang
mendapatkan kepercayaan dari sebagian besar orang-orang di lingkungannya.
Mencalonkan
atau tidak mencalonkan, jika sudah dipilih maka dia harus menerima karena itu
sudah menjadi tanggung jawabnya.
Banyak
orang enggan menjadi pemimpin. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Namun
alasan terbesar yang selalu dikemukakan oleh orang-orang yang akan dijadikan
pemimpin adalah ‘tidak siap’ dan ‘tidak mampu’.
Alasan
klasik untuk menghindari memimpin masyarakatnya. Tidak siap dan tidak mampu itu
sangat beda tipis dengan alasan ‘tidak mau’.
Masalahnya
kondisi ini selalu muncul pada lingkungan paling bawah. Strata sosial paling
awal dari kehidupan bermasyarakat. Bisa dikatakan contoh lingkungan itu adalah
sebuah kampung atau perumahan.
Mencari
pemimpin yang mau memimpin warganya untuk lebih baik seperti mencari kecap
manis Cap Lele di pasar Bantul. Padahal kecap produksi Kabupaten Pati ini enak
rasanya dan selalu saya dapatkan di pasar manapun di Magelang.
Menjelang
pemilihan ketua baru, semua warga diam. Semua warga tidak memberi ide ketika
ditanya bagaimana sistem pemilihan yang akan dijalankan. Ketika satu ide
dilontarkan mereka mengangguk bersama-sama setuju namun keberatan untuk
menjalankan.
Menjadi
ketua paguyuban ataupun ketua RT memang tidak ada bayaran. Tidak kebanggaan
saat menjabat, tidak ada hak-hak istimewa yang didapatkan dari warga
lingkungannya.
Tetapi
dengan menjadi ketua. Seseorang diberi kesempatan untuk merealisasikan
ide-idenya demi kemajuan masyarakat dan lingkungannya. Dia memiliki kuasa untuk
memaksakan idenya diterima. Ini lebih baik, bahkan sangat baik dibandingkan
saat ide-ide disampaikan ketika menjadi orang biasa.
Ketika
semua merasa tidak mampu dan tidak bisa, padahal itu adalah kata-kata manis di
mulut. Rasanya memilih ketua paguyuban seperti memasuki medan perang besar.
Kita harus mengorban tetangga dekat untuk menjadi ketua.
Saat
pencalonan untuk dipilih tidak berhasil mendapatkan calon-calon yang diinginkan
untuk beberapa waktu. Sistem pemilihan ketua diganti dengan penunjukkan dan
kerelaan. Namun ini ada syarat, jika sewaktu-waktu pergi tampuk kepemimpinan
kosong.
Cara
ketiga coba ditawarkan dengan memilih bebas. Setiap orang bebas memilih setiap
orang yang belum pernah menjadi ketua. Hasilnya satu nama unggul namun memilih
untuk mundur.
Menjadi
ketua paguyuban atau ketua RT itu penuh perjuangan dan ketidaksenangan. Tapi
itu wajar, seorang pemimpin itu wajib dikritik untuk menjadi lebih baik.
Pemimpin
di tingkat bawah itu tidak seharusnya dipegang oleh satu orang saja atau
kelompok-kelompok orang-orang tertentu. Jika ini terjadi maka perpecahan yang
timbul karena ketidakpuasan akan memecah rasa persaudaraan antar tetangga.
Berbeda
jika di tingkat pedukuhan, desa, camat, kabupaten, provinsi, dewan perwakilan
sampai presiden.
Menjadi
pemimpin membutuhkan modal. Tidak hanya material, namun juga waktu, pikiran
serta keluarga. Tapi hasilnya sepadan jika berhasil meraih kursi pimpinan.
Derajat
terangkat. Pendapatan meningkat, rasa hormat muncul dari banyak kalangan. Yang
terpenting, nama akan tetap masuk sejarah sebagai salah satu pemimpin yang
berhasil memimpin rakyat dalam periode tertentu.
Tetapi
pemimpin di tingkat atas lingkungan rumah, rasanya tidak akan pernah mau
menjadi pemimpin di perumahan atau kampungnya. Tanpa bayaran, tugas yang
diemban sama.
Tapi
sisi baiknya, menjadi pemimpin di lingkungan perumahan atau perkampungan. Nama
kita tetap dijaga oleh tetangga meski kita berbuat nakal sewajarnya. Semisal
hobi minuman keras dan karaokean. Itu dianggap wajar.
Berbeda
jika sudah melakukan tindak pidana kriminal. Tapi tetap saja ketika keluar
namanya tetap dijaga karena pernah menjadi pemimpin mereka. Rasanya itu.
Komentar
Posting Komentar