Soal Seragam Sekolah Negeri, Tinggal Kemauan Gurunya (II)
Padahal dibalik pengajaran moral, beberapa guru melakukan hal-hal yang tak bermoral.
Contoh kecil jamak dilakukan sekarang. Memaksa para orang tua untuk membeli seragam
ketiga setelah warna putih dan pramuka. Seragam batik yang memuat identitas
sekolah. Jumlahnya mencapai ratusan ribu rupiah. Tergantung nilai yang
ditentukan sekolah.
Memang sekolah di negeri itu tidak bayar. Tapi juga perlu dipikirkan, bahwa masuk
sekolah negeri itu penuh persaingan. Kecuali SD. Karena tidak berbayar dan
lebih murah dari swasta, namun itu bukan berarti para wali murid bisa
dibebankan dengan biaya-biaya yang tak bermanfaat itu. Seragam cukul putih,
pramuka dan olahraga.
Identitas sekolah bisa ditempelkan pada seragam. Toh itu tidak menghilangkan nama sekolah selama prestasi anak membanggakan.
Kenapa, kenapa pendidik melakukan itu?
Sebenarnya saya sulit untuk menemukan penyebab kenapa pendidik melakukan hal-hal sepele yang diluar tugasnya mengajar. Terlebih lagi sekarang mereka dituntut
menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar. Yang oleh Kemendikbud benar-benar
diMerdekakan.
Tanpa arahan, tanpa bekal, hanya modul-modul yang berisi perintah-perintah yang tak
memerdekakan cara mengajar para guru dari atas ke bawah.
Namun membaca Kompas yang menurunkan laporan ‘Orang Tua Indonesia Makin Sulit Biayai Kuliah Anak’. Saya menemukan korelasi yang pas untuk menggambarkan kenapa para pendidik melakukan itu.
Pada laporan hari kedua, “Keguruan Paling Cepat, Kedokteran Paling Lama’, dikatakan
ternyata profesi para guru adalah yang paling cepat dalam proses pengembalian
biaya kuliah.
Dengan rata-rata biaya empat semester total Rp57,16 juta. Lulusan yang langsung
menjadi guru, terutama di sekolah-sekolah negeri dan bukan guru honorer.
Ternyata mampu Break Even Point (BEP) pada saat menjalani profesinya di 12
bulan pertama.
Mengagumkan!!! Baiklah bagaimana korelasinya.
Saya kembali ke sifat orang yang berprofesi sebagai pedagang, pengusaha atau
investor. Pemikiran mereka sederhana, jika modal yang kamu keluarkan sudah
kembali. Maka carilah laba setinggi-tingginya dan sebanyak-banyaknya.
Prinsip ini saya kira juga digunakan para pendidik yang sudah BEP. Bersamaan dengan
proses penerimaan gaji yang diluar modal kuliah. Mereka mencoba mencari sumber
pendapatan lain dengan cara-cara yang dilegalkan. Mewajibkan siswa membeli
seragam yang sudah didesain khusus.
Pemikiran ini berdampak jauh pada keberlangsungan tugas mereka. Para pendidik sudah
berpikir untung rugi dari pekerjaan mereka. Padahal mencerdaskan anak didik
adalah yang utama dan ini dilupakan.
Para pendidik melihat siswa adalah pangsa pasar yang harus terus dikeruk lewat
berbagai program yang tidak memberatkan, namun menghasilkan nilai besar
karena rutin dilaksanakan.
Para pendidik membawa gaya hidup hedonisme di lingkungan sekolah tanpa sadar.
Selayaknya seperti orang kaya, ketika mereka mendapatkan uang banyak mereka
meningkatkan taraf hidup mereka. Membeli barang-barang mewah untuk kemudian
dipamerkan kepada rekan sejawat.
Pemandangan ini, sedikit demi sedikit pasti menular pada muridnya. Bahwa orang yang sukses itu bukan orang yang pintar yang dihargai karena karyanya. Orang pintar itu
adalah orang yang kaya dengan segala cara.
Karena mendapatkan uang dari jalur hitam yang tak jelas. Para pendidik ini seperti
merasa berdosa. Di Tengah terus melakukan dosa tersebut, mereka juga memikirkan
agama untuk bertobat. Karena tekunnya beragama, mereka memaksa juga wajib
dilakukan anak didiknya.
Mengakhiri tulisan ini. Perkenankan saya menceritakan Kakek Nenas dari Dadanya yang dulu
berprofesi guru dan menjabat kepala sekolah.
Puluhan tahun menjadi pengajar di sekolah-sekolah Magelang. Kakeknya Nenas selalu
bersepeda ke sekolah. Dia mengajarkan keteladanan kepada keenam anaknya dan
bagaimana memiliki empati di kala gaji hanya cukup untuk 15 hari dari sebulan.
Sepengetahuan saya, baginya mendapatkan ilmu bisa dari mana saja. Karenanya dia membebaskan anak-anaknya menempuh berbagai macam profesi kehidupan.
Beliau sama seperti bapak saya. Baginya semua pekerjaan apa saja itu baik, asal tidak
mencuri dan menadahkan tangan meminta.
Bapak mertua saya adalah yang paling terakhir pergi diantara rekan-rekan sejawatnya.
Dirinya lebih banyak dikenal dan dikenang oleh mantan anak-anak didiknya.
Para mantan muridnya berkata, ‘Bapak mengajar kami dengan hati. Tak peduli
senakal-nakalnya kami, beliau hanya meminta kami berjanji untuk menjadi orang
yang memiliki empati,”.
Komentar
Posting Komentar